"Alasannya apa, Om?" Citra tampak binggung. Wajar saja, dia baru pertama kali mendapatnya kartu ATM yang pasti berisi uang. Tetapi itu bukan dari ayahnya.
"Kita 'kan sudah menikah. Jadi aku berhak memberikan itu padamu, bahkan apa pun itu."
"Oh, ya sudah terima kasih, Om."
"Sebentar ...." Steven bangkit dari duduknya, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Setelah beberapa menit, dia kembali dengan memakai setelan jas berwarna biru nevy. Sepertinya dia berganti pakaian, aroma minyak wangi yang maskulin itu langsung semerbak masuk ke dalam rongga hidung Citra.
"Om wangi sekali," puji Citra.
"Kamu juga harus pakai hape dariku. Hapemu yang lama jangan dipakai lagi." Steven memberikan benda pipih yang terlihat mengkilap berwarna putih. Ponsel dengan keluaran terbaru dan sangat mahal.
"Hape baru juga? Padahal aku baru seminggu yang lalu ganti hape lho, Om." Citra mengambilnya dengan senang hati.
"Iya, itu untukmu. Ada nomorku, Gugun dan pengacara Harun. Jangan berikan nomormu ke orang asing, dan kepada kedua Ommu juga, ya?"
"Kok begitu? Kenapa?"
"Nanti Ommu akan terus menganggu dan membahas masalah warisan. Aku mau pergi ke kantor dulu, kalau kamu mau pergi tinggal telepon Gugun. Dia akan mengantarmu."
"Tapi kenapa Om-omku membahas masalah warisan? Dan ini aku ditinggal sendirian di apartemen?" Citra berlari mengejar Steven sampai pria itu telah berhasil keluar dari apartemen.
Steven berbalik badan, lalu menggeleng cepat. "Masalah Ommu aku juga nggak tahu. Tapi jangan pedulikan mereka. Dan ya ... kamu sendirian di apartemen karena aku harus kerja. Mending kamu belajar saja, besok 'kan sudah masuk kuliah. Aku yang akan mengantarkanmu nanti."
"Aku mau ikut ke kantor Om saja."
"Ngapain ikut ke kantorku? Kamu di sini saja. Lagian ini pagi, masa kamu takut?" Alis mata Steven bertaut.
Citra menggeleng cepat. "Aku nggak takut, tapi aku kesepian, Om. Aku nggak mau kesepian."
Steven membuang napasnya kasar, masih pagi. Dia tidak boleh emosi. "Aku 'kan sudah bilang kalau kamu belajar saja. Kalau nanti bosan kamu bisa nonton film atau apa, kata Ayah Danu kamu suka nonton film. Di sini juga ada WiFi, kamu bias pakai sepuasnya," jelas Steven panjang lebar.
"Ya sudah, deh. Om hati-hati kerjanya." Citra mengangguk sambil tersenyum. Dia tak berani membantah sebab takut Steven marah.
"Setelah ini kunci pintu, kalau ada yang kamu butuhkan dariku tinggal telepon saja. Dan nggak usah takut ... karena ada satpam yang berjaga." Steven melirikkan matanya ke arah seorang pria berotot yang tengah berdiri tegak dengan pakaian serba hitam. Setelah berpamitan, dia lantas pergi.
***
Terdengar suara deringan ponsel lama Citra yang berada di atas nakas, dia rupanya lupa untuk mematikan ponsel lamanya itu.
"Halo," ucap Citra saat mengangkat sambungan telepon itu. Panggilan itu dari Rosa.
"Halo, Cit. Aku turut berdukacita atas meninggalnya Ayahmu, ya. Semoga kamu diberi ketabahan."
"Terima kasih, Ros." Citra tersenyum manis.
"Sama-sama. Oh ya, kamu sedang apa? Aku ingin mengajakmu karaokean dengan Lusi juga. Mau apa nggak?" tawar Rosa.
"Boleh, kebetulan aku juga bosan nih." Citra menutup bukunya lalu meletakkannya atas kasur, di sampingnya.
"Ya sudah. Kita bertemu di mall tempat biasa, ya? Aku tunggu."
"Oke."
Setelah mematikan sambungan telepon, Citra langsung bersiap-siap dan mengganti pakaian. Dia memakai dress kotak-kotak hitam putih di bawah lutut, dengan lengan pendek. Juga dengan sepatu high heels berwarna hitam dan tas selempang berwarna putih.
Rambut pirangnya terurai panjang, tak lupa dengan polesan make up sederhana. Bedak tipis dan sedikit lipstik berwarna pink. Dia memang tipe perempuan yang tak suka memakai make up menor, baginya itu terlalu berlebihan dan tak sesuai dengan umurnya.
"Ah iya, aku sampai lupa untuk mengganti warna rambut. Apa sekalian aku ke salon juga, ya?" Citra meraba ujung rambutnya sambil menatap cermin di depan meja rias. "Tapi Om Ganteng nggak pernah komplen masalah rambut. Ah tapi ... rambut Om Ganteng 'kan sangat hitam. Lebih baik aku hitamkan saja rambutku biar kita couplelan."
Setelah selesai, Citra keluar dari apartemen Steven dan tak lupa mengunci pintu.
"Nona Citra mau ke mana?" tanya seorang pria yang mana membuat gadis itu terperanjat dan langsung menoleh. Pria itu seorang satpam yang berjaga di depan apartemen.
"Ah, Om mengagetkanku saja." Citra mengusap dadanya yang berdebar. "Aku mau pergi bersama teman-temanku, Om."
"Kenapa Nona nggak telepon Pak Gugun? Minta jemput padanya saja," saran pria itu. Dia berjalan membuntuti Citra sampai di depan jalan raya.
"Nggak Om, aku mau naik taksi. Dah!" Citra langsung masuk ke dalam mobil taksi yang baru saja berhenti saat tangannya melambai menyetopkannya.
Pria itu masih berdiri, tetapi tangannya cepat-cepat merogoh kantong celana untuk menghubungi Steven. Dia ingat pesan pria tampan itu, jika harus memberi informasi kalau Citra pergi.
"Halo, siang Pak Stev," ucapnya saat panggilan itu diangkat oleh seberang sana.
"Ya, kenapa?"
"Tadi Nona Citra pergi katanya mau ketemu teman-temannya. Apa saya sekalian mengikutinya?" tanya Satpam itu.
"Boleh, tapi dari kejauhan saja, ya."
"Ah tapi, Pak. Masalahnya Nona Citra sudah pergi daritadi naik taksi. Saya nggak tahu perginya ke mana."
Terdengar suara hembusan napas Steven begitu berat. "Terus ngapain tadi menawarkan diri? Aneh."
"Iya, Pak. Maafkan saya."
Tanpa menjawab, Steven langsung mematikan sambungan telepon.
*
*
Di tempat berbeda, lebih tepatnya di kantor Steven. Dia tengah duduk dan langsung membuka gps pada ponselnya. Untuk melacak keberadaan Citra.
"Dia ke mall. Mungkin sedang belanja," gumamnya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu dari ruangannya.
Tok ... tok ... tok.
"Masuk!" pekiknya.
Ceklek~
Seorang pria masuk ke dalam ruangannya, dia adalah Gugun. Pria tersebut membawa beberapa berkas di tangannya yang berisi data perusahaan Danu. Untuk sementara Steven yang memegang perusahan itu, sebelum Citra bisa memegangnya sendiri.
"Saya mau minta tanda tangan Bapak," kata Gugun seraya meletakkan berkas itu ke atas meja kerja Steven. Pria tampan itu lantas membacanya dan kemudian menandatanganinya.
"Oh ya, aku ingin kamu pergi ke mall center yang berada dipusat ibukota, Gun," pinta Steven.
"Mau apa memangnya, Pak?"
"Itu, si Citra ...." Ucapan Steven mengantung kala terdengar seseorang memanggilnya.
"Siang, Stev." Seorang wanita paruh baya yang mungkin berusia 60 tahun tiba-tiba datang dan masuk ke dalam ruangan itu. Dia bersama seorang perempuan cantik berambut hitam, panjang sebahu. Bentuk tubuhnya mirip gitar spanyol. "Apa Mama menganggumu?" tanyanya.
"Ah nggak, Ma." Steven menggeleng cepat. Dia mengambil berkas di atas meja lalu memberikan pada Gugun. "Ambil ini, tentang tadi nanti kuberitahu lewat pesan saja."
"Iya, Pak. Kalau begitu saya permisi." Gugun membungkuk sopan, lalu tersenyum pada kedua perempuan itu dan selanjutnya berjalan keluar dari ruangan.
"Ini Safira Ayunda, panggil saja Fira. Dia anak teman Mama dan sekaligus akan jadi sekertaris baru kamu," ujar wanita yang dipanggil mama itu, mengenalnya perempuan yang berada di sampingnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 481 Episodes
Comments
Wirda Wati
mungkin mau dijodohkan dgn steven
2024-01-23
0
Sarini Sadjam
ular.. keket..jelmaan manusia
2023-08-25
1
p
Duhhh maless banget nich kali Citra dibikin kecewakan 😈
2023-02-14
0