“Iya, dia siapa?” Erli kembali melontarkan pertanyaan.
“Dia Om saya, Kak.”
Erli menelisik penuh curiga gadis yang membantunya berjalan tersebut.
“Lalu, kenapa kamu terlihat susah begitu? Ada sesuatu yang terjadi?” Erli memberondong gadis muda yang memapahnya.
Tiba-tiba gadis itu menangis kecil dan berkata lirih, “Saya disuruh mencuri, Kak. Hampir saja tadi saya ketahuan, untungnya Kakak tadi terjatuh. Jadi saya ada kesempatan pergi dari sana,” jelasnya seraya menunjukkan barang curiannya di balik jaket yang dia kenakan.
Netra Erli terbelalak, melihat beberapa barang yang ada di saku dalam jaket bulu-bulu yang terbuat dari kulit domba yang dikenakan Wati.
“Masya Allah, Nak. Kakak bantu melaporkan dia ke polisi, ya! Supaya kamu bebas dari dia,” ujar Erli sembari melihat ke arah pria tua yang masih memperhatikan mereka dari kejauhan.
Disela kegeramannya Erli menanyakan nama gadis muda tersebut, “Siapa nama kamu?”
“Nama saya, Wati. Jangan, Kak! Saya takut.” Wati menatap Erli dengan air mata yang berlinang.
“Tenang Sayang, ada Kakak yang akan melindungimu! Yang penting sekarang kamu mau tidak melaporkan pria jahat itu?” tanya Erli penuh semangat.
Sejenak Wati terdiam, terlihat kegelisahan di wajah gadis muda itu.
“Jangan ragu dan cepat putuskan! Jangan dianggap enteng masalah ini. Coba kamu bayangkan! Jika kamu terus diam, mau sampai kapan kamu mencuri? Beruntung jika tidak ketahuan, jika ada seseorang yang lihat terus kamu dimasa bagaimana?” pungkas Erli, dia mencoba meyakinkan Wati yang masih lugu.
Perlahan kepala gadis itu mengangguk dan dibantunya Erli membuka pintu mobil.
“Jangan buru-buru pergi, kamu diam dulu di sini! Kakak mau bangunkan dia dulu,” pinta Erli seraya mengoyok tubuh suaminya.
Tangan Rafan mengusap-usap kedua matanya dan berdecap kesal, “Kamu ini tidak suka ya, lihat aku tenang? Apa mau mu?” Menatap istrinya penuh tanya.
“Lah, ini siapa?” Netra Rafan melihat seorang gadis yang berdiri di sebelah Erli.
“Jangan banyak tanya!” bentak Erli.
“Berani kamu membentakku?" Rafan menatap tajam Erli.
Sedikitpun Erli tidak menggubris ucapan suaminya, bahkan dia malah berbicara dengan sopir taksi.
“Kantor polisi terdekat di mana, ya Pak?” Tangan Erli meraih tasnya yang ada di sebelah Rafan duduk.
“Lumayan jauh, Nyonya. Memang ada apa?” Sopir taksi tersebut memalingkan pandangannya ke arah istri Rafan yang masih berdiri di sebelah pintu.
“Gadis ini ditindas oleh Om-nya. Bahkan dia dipaksa mencuri demi kepentingan pria brengsek itu,” ujar Erli seraya menoleh pria bertubuh bongsor.
“Coba kamu cerita lagi, Sayang!” pinta Erli.
Gadis itu pun bercerita semua yang dia alami sejak usia sembilan tahun. Mirisnya Denis—Om-nya Wati tega melakukan pelecehan seksual terhadap keponakannya sendiri, saat Wati masih duduk dibangku kelas enam SD.
Kejadian itu telah terjadi berulang kali semenjak orang tua Wati meninggal dalam kecelakaan, dia juga tidak bisa mengadukan tragedi tersebut karena Denis selalu mengancam akan membunuh adik laki-laki Wati yang masih berusia sembilan tahun.
“Saya teleponkan adik ipar saya saja, kebetulan dia seorang polisi.” Sopir taksi segera meraih ponselnya yang terletak di saku celana.
Erli terus mengelus kepala Wati, dengan tidak sadar istri Rafan itu ikut menangis mendengar kisah pahit yang dialami oleh Wati, ABG cantik yang mengenakan baju tebal.
Tiba-tiba Denis menarik kasar tangan keponakannya, membuat Erli terkejut dan berteriak kencang. Sontak orang-orang yang ada di sekitar sana berkerumun dan menanyakan hal apa yang sedang terjadi.
“Jelemeh ne, kal nyulik keponakan tiang! Orang ini, mau menculik keponakan saya!” tuduh Denis—orang yang menindas Wati.
Wati yang menangis tidak bisa berkata-kata, walaupun gadis itu telah menggelengkan kepalanya, tetapi para warga tidak menghiraukan dia. Bahkan, warga ebih percaya dengan ucapan Denis—sang penindas.
Semua orang berteriak ingin menghakimi Erli. Melihat istrinya dalam bahaya Rafan keluar dan mencoba membela Erli. Namun, masa tidak mendengarkan penjelasan Rafan. Bahkan mereka menuduh Rafan dan sopir taksi sebagai komplotan Erli yang berprofesi sebagai penculik.
“Kalau kamu tidak menuruti omonganku, Putra akan aku bunuh!” bisik pria tua itu di telinga Wati.
“Jangan Om, jangan sakiti Putra. Wati mohon ...," pinta Wati dengan Isak tangis.
“Bilang sama masyarakat kalau mereka itu mau menculik kamu!” titah Denis menyeringai.
Wati mangut-mangut, gadis muda itu masih menangis. Di lubuk hatinya yang paling dalam dia tidak ingin melakukan ini, tetapi dia juga tidak ingin melihat adiknya meninggal.
Maafkan Wati, Kak! Wati melakukan ini demi Putra, gumamnya dalam hati.
Tidak lama kemudian adik ipar sopir taksi datang dengan dua polisi lainnya.
“Ada apa ini?” tanya Andika—adik sopir taksi.
“Mereka ini mau menculik keponakan Bapak ini, Pak,” tutur pria bertubuh kurus.
“Jangan asal menuduh! Kalian ada bukti kalau mereka akan melakukan penculikan?” Andika kembali bertanya.
Semua masyarakat terdiam dan beberapa dari mereka berbisik-bisik.
“Jika tidak ada bukti atau saksi tidak bisa main tangkap atau mengeroyok orang. Kalian bisa dijerat pasal penganiayaan, bahkan kalian bisa di kenakan denda ratusan juga,” ujar Andika dengan suara yang lantang.
Seketika masyarakat mundur dan melonggarkan lingkaran mereka. Andika mendekati Wati dan menanyakan peristiwa yang terjadi, Wati yang ketakutan menatap Denis sebentar dan kembali melihat wajah Andika.
“Kamu jangan takut! Ayo, katakan semua yang terjadi tadi!” perintah Andika kalem, “apa benar kamu akan diculik mereka?” Andika menimpali omongannya.
“I-iya Pak!” jawab Wati gagap.
“Bapak bisa dengar sendiri 'kan, mereka itu memang gerombolan penculik yang selama ini meresahkan warga Ubud!” ungkapnya menutupi kekhawatirannya.
“Jika kamu berbohong, kamu akan dipenjara loh,” ancam Andika.
Denis mendekat menarik tangan Wati dan berseru, “Jangan mengancam anak kecil, Pak! Jika diancam seperti itu dia akan ketakutan terus akan memberi kesaksian bohong,” tandas Denis dengan mata yang melotot.
“Cepat katakan! Siapa mereka dan apa maunya?” Tangan Denis mencengkeram bahu Wati sekuat tenaga.
Hal itu membuat gadis itu meringis kesakitan, sekuat-kuatnya Wati menahan dan melontarkan pernyataannya tentang Erli.
Jari telunjuk Wati mengacung ke arah Erli dengan lantangnya dia berbicara, “Dia penculik, Pak! Tadi dia membujuk saya untuk pergi bersama.”
Andika dan kedua rekannya menatap ke arah Erli, di keheningan masyarakat Erli tertawa terbahak-bahak mendengar tuduhan Wati yang tidak mendasar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞
Jangan takut Wati .. lawan atau km ngk kan pernah bebass....
2022-11-27
1
lanlan
astaghfirullah dasar om gk ada akhlak melecehkan ponakan sendiri bahkan masih duduk di sekolah dasar.laporin polisi aja biar di penjara bila perlu di suntik kebiri sekalian 😤😤
2022-11-19
1
𝓓𝓮𝓪
jangan susah dong sabar aja
2022-11-10
0