Sebelum pergi remaja pria itu mengucapkan sepatah kalimat dengan lirikan tajam, “Nak buduh!”
“Eh, ngomong apaan lo?” kata Rafan sedikit berteriak.
Remaja pria itu menjulurkan lidahnya dengan mata yang terbuka separuh, walau sudah dewasa Rafan masih suka tersinggung dengan sikap anak kecil.
Erli menggenggam pergelangan tangan suaminya, “Sudah Mas, malu dilihat orang!” cegah Erli.
“Enggak! Aku enggak terima lihat bocah itu pegang-pegang kamu. Lagian kenapa kamu diam saja, hah? Terus, itu ... dia ngomong apa tadi?” Rafan memberondong istrinya dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Mas yakin mau tahu artinya?” tanya Erli pelan.
“Iya!” jawab Rafan singkat.
“Serius mau tahu, Mas?”
Rafan mendekatkan wajahnya dan tatapan tajam yang membuat Erli sedikit tidak nyaman.
"Kalau disuruh jangan banyak membantah, Erliana Sameira!" Rafan sedikit berteriak memanggil nama istrinya.
Erli menggaruk kepalanya seraya berkata, “Dia bilang ... 'Orang gila'.”
“Katakan yang kencang! Aku tidak bisa mendengar,” ucap Rafan dengan kesalnya.
“Orang gila ....”
“Yang benar saja. Masa, iya? Arti kata ‘nak buduh’ orang gila! Tahu dari mana kamu?” Mendengus kesal.
“Ya sudah kalau tidak percaya,” lanjut Erli, “ayo, kita masuk! Nanti keburu magrib,” ajak Erli sembari menarik suaminya masuk ke toko pusat oleh-oleh.
Rafan tidak mampu berkata-kata lagi, tetapi hatinya masih bertanya-tanya arti kalimat yang diucapkan oleh remaja tadi. Selagi Erli sibuk memilah baju dan syal, Rafan mendekati seorang pelayan yang tengah sibuk menata sendal di rak.
“Ehm,” Rafan berdeham, “permisi Mbak!” Rafan menyuguhkan senyuman tipis.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” sapa pegawai toko.
“Ada Mbak. Namun, ini bukan masalah barang yang ada di toko ini,” ujar suami Erli.
Karyawan itu menatap penuh heran, tetapi dia masih menyuguhkan senyuman manis.
“Iya, silakan. Anda mau bertanya tentang apa?”
“Arti dari kata ‘nak buduh’ itu apa, ya?” bisik Rafan karena dia takut ketahuan Erli.
“Maaf, Tuan. Kata-kata itu sedikit kasar!” jawab karyawan tersebut dengan logat yang sedikit kaku. Iya begitulah masyarakat pulau Dewata, logat Balinya sangat melekat dan itu menjadi ciri khas bagi masyarakat di sana.
Perbedaan yang membuat keunikan tersendiri, tetapi tidak memberi cela untuk kita menjadi bangsa Indonesia. Oke balik ke cerita kita.
“Tidak apa-apa. Mbak tidak perlu khawatir, katakan saja apa artinya! Saya tidak akan tersinggung atau marah,” tutur Rafan tegas.
“Orang gila itu artinya, Tuan. Kata itu semacam bahan candan atau olokkan. Maaf Tuan!" Karyawan itu menelisik wajah Rafan sebentar, “memang ada apa, Tuan bertanya soal itu?”
Dari mana dia tahu, arti kata-kata itu? tanya Rafan dalam hati.
“Tuan, permisi!"
“Ah ... maaf Mbak! Terima kasih atas bantuannya,” pungkas pria bertubuh kekar tersebut.
Karyawan wanita yang bernama Nyoman Dwi Tari itu mengangguk dan kembali dengan pekerjaannya, sedangkan Rafan bergegas menghampiri Erli yang berdiri di sebelah manekin.
“Kamu dari mana saja, Mas?” ketusnya, “dari ujung sana sampai ke sini aku mencari kamu, ternyata kamu malah asyik mengobrol sama cewek Bali!” ujarnya penuh amarah.
Rafan mengelus punggung tangan Erli sembari menjelaskan kejadian barusan. Namun, wajah istrinya itu masih cemberut.
"Cemburu, ya?" Rafan menyipitkan matanya.
"Ih, apaan?"
"Ngaku aja! Wajahmu sudah berkata jujur, kalau kamu cemburu," tutur Rafan dengan wajah yang sumringah.
“Ayo, pulang. Aku sudah selesai membeli oleh-oleh buat mereka,” pungkas Erli sambil tersenyum lebar melihat kedua tasnya penuh dengan baju dan yang lain-lainnya.
“Tunggu!" cegah Rafan, “aku mau menanyakan sesuatu hal,” ucapnya pelan.
“Apa lagi?” sahut Erli.
“Kamu tahu dari mana arti kata-kata itu?” Rafan menatap Erli dengan tatapan sendu.
"Kepo amat." Erli menahan tawanya.
"Kenapa harus berputar-putar. Cepat jawab!"
“Dulu aku pernah memiliki teman kuliah yang berasal dari Denpasar. Dari dialah aku belajar sedikit bahasa Bali,” jelas Erli sedikit. "Memang kenapa?"
"Enggak apa-apa, hanya penasaran saja. 'Kan kelihatan mana cewek berkelas dan mana cewek yang biasa saja." Rafan mencuri pandang wajah sang istri.
***
Keesokan harinya Erli dan Rafan telah bersiap meninggalkan umanaya Village, seorang staf membawa koper-koper mereka dan yang lainnya memberi sofenir kenang-kenangan dari umanaya Village.
“Bakalan kangen sama tempat ini,” ucap Erli yang kini masuk ke dalam mobil.
"Apa yang kamu kangenin? Kita aja enggak anu," pungkas Rafan dengan suara dalamnya.
"Adalah momen di mana kita cocok dan sering jalan bareng!" seru Erli sambil menyelipkan rambut panjangnya.
“Kita akan ke sini lagi, tapi ketika dia sudah lahir.” Rafan menyentuh perut Erli yang sedikit buncit.
Erli menatap Rafan penuh dengan rasa gembira. Di sepanjang perjalanan Erli terus berbicara sampai Rafan tertidur dengan kepala yang bersandar di jendela.
“Ya Allah, dia malah molor! Hmm, rugi dong aku bercerita panjang lebar.” Gadis itu memalingkan pandangannya keluar jendela.
“Pak, tolong berhenti di ujung jalan ini ya! Saya perlu membeli sesuatu di minimarket,” pinta Erli.
Sopir taksi hanya mengangguk mengerti setelah mendengar permintaan Erli.
Tiga menit telah berlalu, sopir taksi pun membelokkan mobilnya di depan minimarket. Erli segera keluar dan memasuki kawasan minimarket yang dipadati pembeli, hanya untuk mengantre minyak goreng yang sedang langkah nan mahal saat ini.
“Akhirnya aku kenyang juga,” ucap Erli seraya melangkahkan kakinya keluar.
Istri Rafan itu memborong sosis bakar yang ada di Rahayu Market, ketika Erli sedang berjalan hendak keluar ada seorang ibu-ibu yang menyerobot masuk sehingga menabrak Erli sampai terjatuh. Bukannya membantu atau meminta maaf, wanita itu hanya menatap sebentar dan meninggalkan Erli yang masih terduduk di lantai.
“Anda baik-baik saja, Kak?” tanya seorang gadis muda yang kini mengulurkan tangannya di hadapan Erli.
“Enggak apa-apa kok!” jawab Erli dengan tangan yang mengelus kedua lututnya yang terbalut laging hitam.
“Kakak yakin tidak apa-apa? Bagaimana kalau Kakak saya antar pulang,” kata gadis berkulit putih tersebut.
“Tidak perlu repot-repot! Taksi saya sudah menunggu di depan sana.” Jari telunjuk Erli mengacung ke arah mobil berwarna biru langit yang parkir di bahu jalan.
“Mari Kak saya bantu.”
Erli tersenyum tipis melihat gadis muda yang memapahnya berjalan menuju taksi yang membawanya ke sini.
“Ferly ...!” teriak seorang laki-laki tua dari pojok minimarket.
Sontak gadis yang membantu Erli menoleh ke arah pria tua yang mengenakan kaos hitam yang berdiri tak jauh dari mereka.
“Tunggu sebentar!” pekik gadis berkulit putih.
Erli memberhentikan langkahnya dan berkata kalem, “Itu ayahmu, ya? Sudah sana hampiri ayahmu!” perintah Erli.
“Dia bukan ayahku,” sahut Wati dengan wajah yang ketakutan.
Erli mengernyitkan keningnya sampai-sampai kedua alisnya hampir menyatu.
“Apa maksud ucapanmu itu?” tanya Erli keheranan.
“Dia ....”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
lanlan
wkwkwk Rafan kepo dengan arti kata nak buduh
siapa pri tua yg memanggil Wati sampai buat dia ketakutan
2022-11-19
0
🍭ͪ ͩ✹⃝⃝⃝s̊S𝕭𝖚𝖓𝕬𝖗𝖘𝕯☀️💞
Nak buuduh........ wahhh. boleh ini othor ajarin bahasa Bali...
othor y kan darah campuran...🤣🤣
2022-11-19
2
ℛℚ
akhirnya kebohongan akan terungkap
2022-11-07
1