Rafan—pria dingin yang penuh perhatian itu selalu melirik isrinya berulang kali. Demi menutupi perilakunya, Rafan mengajak sopir taksi berbincang santai.
“Berapa lama perjalanan menuju Umanaya Village, Pak?” tanya Rafan seraya melepas jaket yang ia kenakan.
“Kurang lebih setengah jam, Tuan."
Rafan mengangguk seraya melepas jaketnya dan diberikan jaketnya utama kepada Erli.
“Tidurlah!” tutur Rafan lembut.
Erli meletakkan jaket suaminya disisi jendela untuk bantalan kepalanya.
"Tadi kamu tidak mau bawa boneka beruang milik Rania," keluh Rafan lirih.
"Malu." Erli menjawab ucapan suaminya dengan sesingkat mungkin.
Rafan menatap tajam sang istri, "Enggak sopan banget kamu, ya."
"Enggak denger saya sudah tidur," kata Erli mengalihkan pembicaraan.
Kedua tangan Rafan mengepal sesaat mendengar jawaban Erli yang tidak nyambung dengan perkataannya. Rafan memejamkan matanya sebentar dan kembali berbincang dengan sopir taksi yang dia tumpangi saat ini.
“Setelah pandemi berakhir, banyak bule yang datang ke sini, ya Pak?” cakap Rafan dengan dada yang condong ke depan.
Sopir taksi tersenyum dan menjawab pertanyaan Rafan, “Iya Tuan, kami sangat bersyukur pulau kami bisa beraktivitas kembali. Tapi ... perekonomian kami masih belum stabil,” ungkap sopir taksi tersebut.
“Wajar Pak. ‘Kan Negara kita juga banyak pengeluaran demi memenuhi kebutuhan masyarakat dari Sabang sampai Merauke,” jelasnya secara terperinci.
“Tetapi kami tetap merasa kesulitan, Tuan.” Gimik wajah sopir itu berubah serius.
“Pemerintah juga merasa susah, Pak. Mereka juga harus mengawasi dan meneliti banyak hal, dari pangan yang cukup buat warga yang kurang mampu dan masyarakat yang terkekang akan virus yang melanda seluruh dunia.”
Perbincangan ringan mereka berubah menjadi perbincangan serius dan dari hal kecil mengarah dan berdampak menjadi besar. Dari sinilah Rafan mendapat pelajaran, tidak semua keputusan pemimpin dapat di terima oleh bawahan dan tidak semua tindakan yang tepat berdampak baik juga, banyak keputusan yang keliru dan mengabaikan pendapat orang sekitar.
Apa yang menurut kita baik dan benar belum tentu orang lain sependapat dengan kita, bahkan keputusan kita kadang menyelipkan rasa sakit buat sebagian orang. Sopir taksi tersebut membuyarkan lamunan Rafan.
“Kita sudah sampai Tuan.”
“Terima kasih ya, Pak dari obrolan kita tadi, saya dapat wawasan baru.” Rafan tersenyum sembari memberikan ongkos transportasi.
“Sama-sama Tuan.”
Rafan menarik kedua kopernya masuk ke dalam Umanaya Village.
Terlihat beberapa staf berdiri di depan pintu masuk menyambut kedatangan mereka berdua dan pengunjung lainnya.
“Selamat siang Tuan, selamat datang di Umanaya village. Ada yang bisa saya bantu?” tanya resepsionis penuh ramah-tamah.
“Siang. Saya mau menginap Mbak,” kata Rafan pelan.
Resepsionis tersenyum dan kembali bertanya, “Baik, apa sebelumnya Tuan telah melakukan reservasi?”
“Saya telah melakukan booking ditanggal lima kemarin,” ucap Rafan seraya menunjukkan bukti pemesanan secara online di village tersebut.
“Baik Tuan, staf kami akan mengantarkan Tuan dan Nyonya.” Resepsionis Umanaya Village memberi breakfast coupon, guest card dan kunci village yang akan mereka tinggali selama di Bali.
Erli tersenyum lebar melihat pemandangan yang asri dan pelayanan staf yang baik, dia sangat gembira bisa datang ke Umanaya village. Suasana yang sejuk menambah kenyamanan tinggal di village tersebut.
“Tentunya Anda mengeluarkan banyak uang untuk menginap di villa ini.” Netra Erli masih mengembara memperhatikan setiap sudut Villa yang akan dia tempati.
“Hanya empat juta,” ucapnya santai.
Mata Erli terbelalak menatap wajah Rafan yang datar.
“Saya tidak salah dengar ‘kan? Tiga hari empat juta. Sungguh luar biasa,” celetuknya sembari meletakkan tas jinjingnya di atas ranjang.
“Sudah jangan banyak drama. Cepat bereskan barang bawaan mu! Aku sudah lapar. Setelah selesai kita makan di luar,” tegas Rafan sambil memasukkan semua bajunya ke lemari.
“Saya mandi dulu, boleh?” Erli melirik Rafan yang masih sibuk menata pakaian.
“Hmm, tapi jangan lama-lama!” ucap Rafan.
Erli melangkah pelan menuju kamar mandi yang terletak di ujung ruangan. Gadis itu menatap heran kamar mandi di dalam villa tersebut, setelah puas memandangi kamar mandi dia kembali menemui suaminya yang tengah santi bermain dengan ponselnya.
“Itu ... kenapa kamar mandinya seperti itu?” tanya Erli kalem.
“Memangnya kenapa dengan kamar mandinya?” sahut Rafan, dia memberhentikan aktivitasnya dan menatap sang istri.
“Coba Anda lihat sendiri! Saya tidak bisa menjelaskan,” tutur Erli, jari telunjuk gadis itu mengarah ke ujung villa.
Rafan segera melihat kamar mandi yang di permasalahkan oleh Erli. Awalnya pria itu terkejut melihat kamar mandi yang terbuka tanpa ada pembatas atau tembok, setelah beberapa saat memperhatikan Rafan mulai tersenyum jahat dan dia menghampiri Erli yang berdiri di sebelah tiang bale bengong.
“Aneh bukan? Bagaimana saya akan mandi jika model kamar mandinya seperti itu?” keluh Erli dan kedua alisnya hampir menyatu.
“Itu sudah biasa di sini. Kalau mau mandi, ya mandilah. Jangan banyak protes melulu!” pungkas Rafan seraya tersenyum miring.
Lagi-lagi kening Erli mengerut mendengar ucapan Rafan, sedikit tidak percaya dengan pernyataan sang suami yang terkenal pendiam.
“Anda sadar dengan ucapan Anda barusan?” kata Erli, “jika ada staf masuk dan melihat saya, bagaimana? Apa Anda tidak malu menyaksikan saya sebagai tontonan gratis?” Ucapan Erli terdengar sangat emosi, nada yang ditekan menambah kenyataan bahwa gadis itu tidak menerima dengan perkataan suaminya.
Rafan mendekati Erli secara perlahan-lahan, semakin lama wajah mereka semakin dekat. Hanya berjarak sepuluh cm saja, tatapan tajam Rafan mampu membuat detak jantung Erli berdegup kencang dan aliran darah gadis itu semakin deras. Bisa dibilang Erli sangat nervous saat ini, bagaimana tidak? ini kali pertamanya Rafan bertindak seperti ini.
Biasanya Rafan bertindak datar dan dingin hanya sesekali dia berkata, bisa dibilang kalau suami Erli itu hemat suara dan tenaga ketika mengajar.
Apa yang hendak dia lakukan? Dan kenapa jantungku tak terkendali? Perasaan apa ini? batin Erli.
Gadis itu sangat gugup, berulang kali dia memalingkan pandangannya berharap Rafan bisa menghentikan aksinya saat ini. Namun, pria itu semakin mendekatkan diri sampai Erli bersandar di tembok.
“Jangan mengkhawatirkan hal itu! Ada suamimu di sini,” bisik Rafan di telinga Erli.
Angin berdesir dan burung-burung berkicau seakan-akan menjadi alunan musik bagi mereka berdua, sentuhan tangan Rafan yang lembut membuat Erli terlena sejenak. Namun, bayangan dimasa lalu datang tiba-tiba membuat Erli menghempaskan tangan Rafan dengan kasarnya.
Gadis itu bergerak menjauh dari suami sahnya. Butiran air mata jatuh bercucuran dengan isak tangis Erli berkata, “Aku sangat menghormati Anda. Tolong jangan sentuh aku dulu! Aku tidak ingin merasakan hal itu lagi saat ini.”
Rafan memasang wajah datar seperti sebelumnya dan dia melangkahkan kaki maju mendekati Erli.
“Aku tahu batasan ku dan aku juga tidak punya hasrat ingin menyetubuhimu. Walau kau menyuguhkan tubuhmu ini dihadapanku sekalipun!” katanya pelan tapi tajam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
👑Ria_rr🍁
begitulah kecanggungan Erli saat bersama Rafan kk, thanks ya udah baca karya acak Adul ini
2023-02-08
0
auliasiamatir
yang benar rafan... tar bucin loh
2023-02-08
0
auliasiamatir
erli manggil suami itu yah, mas, sayang, Hanny, suamiku.. gitu kek, ni malah manggil anda .. hum.. kamu terlalu
2023-02-08
1