Bola mata Rania bergolak dan gadis itu berdeham untuk mengalihkan perhatian semua orang dan Dewi berceloteh menimpali aksi keponakannya agar suasana kembali hangat.
“Kalian berdua mau bulan madu ke mana? Jika di rumah terus, kasihan Erli nanti dia bosan.” Dewi menatap wajah Rafan sebentar.
“Hmm, belum ada rencana Tan. Ada rekomendasi tempat yang tenang jauh dari kebisingan?" tanya Rafan sambil mengambilkan rendang untuk Erli.
Rania buru-buru menelan makanannya dan dengan cepat dia menyambar ucapan Rafan.
"Puncak ...." Ucapan Rania terhenti.
"Ajak saja Mbak Erli ke sana, Mas! Udara yang dingin pemandangan yang indah, pasti Mbak Erli suka. Iya 'kan Mbak?” Kedua alis gadis itu terangkat.
Erli mengernyitkan keningnya dan wanita itu menendang pelan kaki Rafan. Seketika Rafan menatap Erli dengan mata yang sayu. Kedua alis pria itu terangkat, secara tidak langsung Rafan memberi pertanyaan dengan bahasa wajahnya.
Erli tersenyum kecut dan kedua alisnya hampir menyatu, gestur tubuhnya mengisyaratkan tidak setuju dengan semua rencana Rania dan Dewi. Zulaika yang terkenal pendiam tiba-tiba ikut nimbrung di obrolan anak beserta adik iparnya.
“Bawa saja Erli pergi ke Bali, Nak! Itu juga tempat impian kamu sejak dulu, lagi pula puncak terlalu dekat dengan rumah ini. Kamu tahu sendiri 'kan, di sini ada banyak penghambat yang akan menghalangi kebahagiaan kalian,” sahut Zulaika lembut, sindiran yang lumayan pedas buat Marlita.
"Jangan biarkan lebah mengusik ketenangan bunga yang hendak merekah!" sambung Zulaika penuh penekanan.
Marlita yang semula tenang Menikmati makannya tersedak sesaat mendengar ucapan Zulaika. Dewi menyodorkan gelasnya pada Matlita, tanpa basa-basi lagi gadis bermata sipit itu meminum air yang diberikan Dewi.
"Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Dewi seraya mengelus punggung Matlita.
"Lita baik-baik saja, Tan." Marlita tersenyum tipis selepas menjawab pertanyaan Dewi.
Dasar kolot! Sebenarnya aku ini calon menantu mu yang asli. Andai saja wanita genit itu tidak merebut kekasih anakmu dari pelukanku! gerutu Marlita dalam hatinya.
Disaat Marlita berusaha keras menahan amarahnya, Rafan terlihat senang dengan saran ibunya. Pria yang memiliki model rambut bak oppa-oppa Korea itu mengangguk seraya menikmati sarapannya.
Selepas melahap tempe bacem suami Erli tersebut meraih ponselnya mengecek jadwal penerbangan pesawat dan tempat wisata yang terkenal di Bali.
Rafan tersenyum simpul setelah menatap layar ponselnya, "Alhamdulillah ...."
Semua orang menatap Rafan penuh penasaran, wanita yang paling cerewet di rumah itu pun angkat bicara.
"Kamu kenapa?"
"Enggak apa-apa, Tan." Rafan menyesap jus apel yang ada di sebelah piringnya.
Dewi memalingkan pandangannya ke arah lain dan mulutnya terus komat-kamit tidak jelas.
“Marlita permisi dulu Tante. Sudah waktunya Lita hadir dipertemuan kantor cabang papa, ucap Marlita seraya mengelap bibirnya dengan tisu.
“Silakan,” jawab Zulaika tanpa menatap wajah teman kerja anak laki-lakinya.
Marlita menggigit bibir bawahnya dan dia tersenyum tipis sembari mengangguk ke arah Dewi yang duduk di sebelahnya.
"Terima kasih atas sarapan pagi ini," pungkas gadis itu sambil menepuk bahu Rafan.
"Hmm ...." Jawaban yang diberikan Zulaika untuk Marlita.
Sarapan yang penuh tragedi dan siasat telah usai, kini Erli membereskan piring semua orang. Setelah selesai dengan pekerjaannya, menantu Zulaika tersebut berjalan masuk ke kamar. Terlihat Sang suami tengah duduk tegang di sofa, perlahan dia mengawali pembicaraan.
“Hmm ... tolong maafkan saya yang telah lancang! Saya terpaksa melakukan hal itu. Saya takut semua keluarga Anda akan curiga, jika saya biasa saja menghadapi sikap teman wanita Anda,” tuturnya ragu-ragu.
Rafan yang tengah sibuk mempelajari dokumen keuangan restorannya terdiam dan menatap intens Erli. Pria bertubuh kekar tersebut memperhatikan kedua tangan Erli yang memainkan ujung kaos yang dia kenakan.
“Tidak perlu minta maaf, wajar saja jika kamu melakukan hal itu. Karna ....” Rafan menghentikan perkataannya dan dia menutup pembukuan restoran.
“Karna apa?” tanya Erli penasaran.
“Lupakan! Besok kita akan berangkat ke Bali. Usahakan bangun lebih awal jangan seperti tadi!” tukas Rafan.
Kening Erli mengerut sampai-sampai kedua alisnya hampir menyatu, wanita yang memiliki tahi lalat di bawah bibir itu melontarkan pertanyaan kepada sang suami, “Mendadak sekali? Apa tidak bisa kita undur kepergian kita?”
“Tidak perlu protes!” Rafan menelisik wajah istrinya, “ingat, jangan terlalu banyak bawa barang!” tegas Rafan.
Erli menghela napas panjang nan berat, wanita itu menatap sekilas wajah suaminya dan berlalu menuju kamar mandi.
\*\*\*
Embusan angin di malam hari, membuai rambut panjang Erli. Rambut hitamnya itu melambai bak selendang bidadari yang turun dari langit. Wanita bermata hitam kecoklatan itu menatap hamparan langit yang dihiasi cahaya bintang dan rembulan yang bersinar terang. Entah apa yang bersarang dalam pikirannya saat ini, yang pasti Erli tengah duduk melamun di teras rumah.
Di keheningan dunia Erli, Rania muncul tiba-tiba dan hal tersebut membuat Erli terkejut bukan main.
"Allahu Akbar ...," tutur Erli sambil mengelus dadanya berulang kali.
Rania yang merasa bersalah langsung meminta maaf dan menanyakan hal yang dipikirkan oleh kakak iparnya tersebut.
“Apa yang Mbak pikirkan saat ini?” Rania duduk disebelah Erli, gadis itu mendongakkan kepalanya menatap langit.
langit malam yang tampak biasa saja, tetapi langit gelap itu tampak istimewa di mata Erli.
“Tidak ada,” sahut Erli seraya memundurkan tubuhnya di sandaran kursi.
Rania menoleh kebelakang melihat sang kakak yang masih berdiri dibalik korden. Rania melaksanakan pendekatan karena Rafan tidak tahan melihat Erli murung sejak tadi sore.
“Lalu, kenapa Mbak bengong sendirian di sini? Apa Mbak bertengkar sama Mas Rafan?” tanya Rania penuh penasaran.
Erli menggeleng dan tangannya menyelipkan rambut panjangnya ditelinga.
“Kalau Mbak butuh teman cerita panggil saja Rania. Insya Allah Rania bersedia menemani dan mendengar keluh kesah Mbak,” pungkas Rania sembari tersenyum tipis.
“Beneran mau mendengar cerita Mbak? Nanti kamu bosan lagi dengan kisah hidup Mbak.” Erli mengatupkan rahangnya.
“Rania berjanji sama Mbak! Jika Rania ingkar, Mbak boleh pukul Rania semau Mbak!” ujarnya dengan mata yang mengerling.
"Hidup Mbak itu dipenuhi semak berduri, jadi tidak menarik jika diceritakan!" ungkap Erli kalem.
"masa iya tidak ada kisah manis-manisnya, Mbak?" jawab Rania cepat.
Erli tertawa dan dia melingkarkan tangan kirinya di bahu adik iparnya. Rania mengacungkan jempol ke atas memberi tanda kepada sang kakak yang masih memantau pergerakan kedua wanita yang ia sayang.
“Oh iya, besok mau berangkat jam berapa Mbak? Kalau pulang Rania dibelikan baju yang super bagus, ya!” pinta Rania dengan suara yang mendayu-dayu.
“Sekitar jam sembilan pagi. Kamu mau warna apa? Nanti Mbak carikan yang banyak,” ujar Erli seraya menyuguhkan senyuman manis.
“Cocoknya warna apa Mbak? Kulit Rania ‘kan tidak putih.” Terlihat bibir Rania yang mengerut.
Erli tersenyum dan dia mengangkat dagu adik iparnya, “Coba lihat Mbak! Cantik itu tidak memandang paras wajah atau kulit, Sayang. Kecantikan akan terpancar dari berperilaku yang baik dan sopan,” tutur Erli kalem.
Adik iparnya itu masih manyun dan terlihat tidak ceria lagi. Erli menghela napas beratnya dan memeluk Rania penuh kasih sayang, dielusnya kepala Rania.
"Jadilah gadis yang percaya diri! Coba lihat para model, tidak semua model berkulit putih atau kuning langsat. Ada 'kan yang berkulit sawo matang dan yang berkulit hitam? Kecantikan akan terpancar jika hati dan pikiranmu berdamai dan kamu wajib percaya diri tidak insecure," ucap Eri menyemangati Rania.
Perhatian Istri Rafan teralihkan saat mendengar suara mesin mobil yang berhenti.
“Itu siapa Nia?” tanya Erli dan jari telunjuknya mengarah kesebuah mobil yang terparkir di depan rumah mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
auliasiamatir
rafan.... 🙄🙄🙄
2023-02-03
0
Dhina ♑
Nah...... siapa yang datang
2022-12-25
0
Dhina ♑
Hembusan angin malam........
2022-12-25
0