MNEMONICS
Di sebuah pemakaman yang sunyi dan senyap. Seorang wanita tengah berjongkok di samping makam sambil menyatukan kedua telapak tangannya. Matanya terpejam erat, begitu khidmat dalam doanya.
Surai merah mudanya berayun pelan seiring angin berhembus. Bunga lili putih disandarkan olehnya pada batu nisan. Selesai berdoa, wanita itu berdiri dengan tetap di posisi yang sama.
Kelopak matanya terangkat, memperlihatkan iris matanya yang berwarna lilac. Wanita itu menarik sudut bibirnya dengan lembut, sebuah senyuman penuh kehangatan pun tercipta.
"Aishia."
Merasa namanya dipanggil, wanita itu berbalik dan menemukan sosok pria dewasa yang tengah menggenggam tangan anak kecil yang punya wajah mirip dengannya. Wanita itu tampak bahagia ketika mereka berdua datang.
"Kalian seharusnya tidak datang kemari. Bukankah sudah kukatakan untuk menunggu saja di luar?" Kata Aishia setengah merengut. Namun sedetik kemudian dia tersenyum penuh makna. "Apa kau merindukanku?"
"Kau terlalu percaya diri. Shane 'lah yang menarikku paksa untuk menemuimu." Kata pria dewasa itu dengan tenang.
Aishia merajuk mendengarnya, suaminya memang tak pernah mampu untuk bersikap romantis padanya kalau ada Shane di antara mereka. Tapi entah kenapa, jika Shane ada di sekolah, suaminya selalu menempel padanya.
Mungkin, dia hanya berusaha menjadi ayah yang keren.
Aishia hanya senyum - senyum tak jelas saat melihat wajah tenang suaminya. Kemudian Aishia berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan anaknya.
"Apa Shane merindukan Mama?" Tanya Aishia, menyampirkan senyuman bertabur gula di wajahnya.
Anak kecil bernama Shane itu pun mengangguk semangat, lalu memeluk Aishia dengan eratnya. Kedua tangan mungilnya telah melingkari leher Aishia. Tak tahan akan kegemasan anaknya, Aishia juga turut memeluk Shane.
"Papa mau dipeluk Mama juga?" Tanya Aishia sedikit menggoda.
"Tidak, terima kasih. Kita harus segera ke mansion, sebentar lagi mereka akan kembali. Kepulangannya sudah sangat dinanti oleh kita semua."
Senyum penuh godaan Aishia memudar. Lirikan matanya menatap penuh pada makam yang baru saja didoakan olehnya. Warna putih dari lili begitu mencolok sehingga mematikan cokelatnya tanah. Ada kehidupan yang telah berakhir di dalam sana.
"Apa kau menyesal?"
"Hm?"
Aishia kembali menatap suaminya.
"Menjadi bagian dari Shceneider."
Angin berhembus kencang sampai membuat ranting pohon melambai - lambai. Kuatnya angin tak dipedulikan Aishia, pikirannya masih melalang buana.
Ia melepaskan pelukannya pada Shane, lalu memandang lamat - lamat figur wajah anaknya. Jujur saja, Aishia nyaris tidak mendapat bagian disana. Mulai dari mata, hidung, hingga warna rambut, itu semua dari suaminya. Shane hanya mewarisi sikap hangatnya dari Aishia.
"Pertanyaan yang lucu. Jika aku menyesal, aku sudah meninggalkan Mansion Shceneider sejak hari pertamaku bekerja di sana."
Seketika Aishia terkekeh, wajahnya penuh rona kebahagiaan. Tangannya bergerak untuk mengangkat Shane ke udara lalu menggendong anak pertamanya itu.
"Biar aku saja yang menggendongnya." Ujar Aishia ketika suaminya bergerak mengambil alih Shane dari tangannya.
"Terserah."
Pria itu berjalan lebih dulu dari Aishia. Meski begitu, langkah kakinya begitu pelan agar Aishia bisa menyamainya. Hal itu membuat rasa bahagia dalam diri Aishia bertambah. Keluarga kecil yang ia bangun dengan susah payah ini menjadi sumber kebahagiaannya.
Aishia tersenyum simpul kala melihat Shane yang mulai menguap. Anak ini pasti kelelahan setelah bermain - main selama seharian dengan sepupunya. Aishia membiarkan kepala Shane bersandar pada bahunya.
"Kau memang bukan cinta pertamaku. Tapi, kau adalah seseorang yang ingin kucintai hingga akhir hidupku."
Aishia sedikit kecewa melihat suaminya itu tak menghentikan langkahnya meskipun sekarang dirinya sudah bersusah payah menyatakan perasaannya.
"Seseorang yang kau pikirkan ketika sedang tak terjadi apa pun. Pasti dia adalah orang yang paling berharga untukmu." Aishia terdiam sejenak. "Itu adalah ucapanmu yang takkan pernah kulupakan."
Kini pria yang telah menjadi suami Aishia selama tujuh tahun itu berhenti melangkah. Namun dia tak sedikitpun menoleh pada Aishia. Seperti biasa, dia selalu bersikap aneh di luar rumah. Aishia heran, ke mana semua keromantisan itu pergi?
"Aku mencintaimu. Jangan tanyakan alasannya karena aku tidak tahu." Ucap Aishia lagi, volume suaranya semakin merendah.
"Aku tahu."
"He?"
"Aku tahu kalau kau mencintaiku. Kuharap kau tidak pernah menyesal karena telah jatuh cinta padaku. Soalnya aku itu begini..."
Tawa Aishia terdengar begitu lembut, dia melangkah agak cepat dan berhenti ketika sudah sejajar dengan suaminya.
"Ada apa denganmu? Setelah tujuh tahun pernikahan kita dan kau masih memikirkan persoalan penyesalan? Ckck!"
Pria itu mendengus kesal dan kembali melanjutkan langkahnya, sementara Aishia memperlihatkan ekspresi penuh kebingungan.
"Aku juga mencintaimu."
Mata Aishia melebar sempurna ketika telinganya menangkap suara samar dari arah depannya. Kemudian wajahnya memerah, rasanya seperti hatinya meletup.
"Jarang - jarang kau mengatakannya..." Bisik Aishia.
Aishia berjalan cepat menyusul suaminya. Dengan malu - malu dia memegang kelingking pria itu. Jantungnya semakin dibuat berdetak kencang ketika suaminya membalas pegangan itu dengan mengaitkan jari - jari mereka.
Aku senang telah dipertemukan denganmu.
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments