Sore ini tepat delapan belas hari Mas Reyhan pergi dari rumah, aku sedang menemani Khanza belajar mengaji bersama ibuku. Tak lama kemudian kudengar pintu rumahku diketuk dengan keras, setengah berlari segera kubuka pintu rumahku. Betapa terkejutnya aku saat kuketahui tamu yang datang dengan raut muka yang tidak bersahabat.
Mencoba tersenyum dan kuraih tangan mertuaku tapi tanganku langsung ditepis dengan kasar, yaaa allah cobaan apa lagi yang engkau berikan kali ini. Ibu ida ------Ibu mertuaku datang dengan Reyna-----adik Mas Reyhan.
"Langsung saja yaa kinara, kamu apakan reyhan sehingga pulang kerumah kami dalam keadaan menyedihkan? ibu mertuaku bertanya kepadaku tanpa basa basi.
"Degh"
Jantung ini seperti diremas mendengar pertanyaan mertuaku, kenapa saya yang disalahkan lagi dan lagi padahal Mas Reyhan yang menyebabkan permasalahan ini kemudian pergi begitu saja. Saya bingung menjelaskan mulai dari mana, biar bagaimanapun saya menjelaskan duduk permasalahannya tetap saya yang akan disalahkan. Karena mereka pasti ada dipihak Mas Reyhan, kualihkan pandanganku dari mertua ke adik iparku Reyna ternyata dia memandangku dengan pandangan sinisnya.
Sesaat kutarik nafas dalam-dalam kemudian kuhembuskan secara berlahan." Ibu kalau misalnya ibu diberi nafka yang tidak cukup dan harus berjuang keras agar tidak hidup dalam kekurangan. Kemudian ibu tahu bahwa suami ibu berbohong tentang gajinya, tindakan apa yang ibu ambil? apakah ibu akan diam saja dan tidak akan menanyakan hal ini dengan suami ibu?
"Lho kenapa bawa-bawa ibu, yaa jelas beda lah kamu dengan ibu. Harusnya kamu itu bersykur dan beruntung punya suami seperti anak saya yang sudah jadi pegawai tetap di perusahaan besar, hidupmu terjamin, wajah kamu aja kelihatan glowing mana bisa kamu perawatan wajah tanpa uang dari anak saya." ucap mertuaku dengan ketus.
"Ibu bilang beruntung? saya dikasi nafka empat ratus ribu rupiah bu, sedangkan yang diberikan kepada ibu jauh lebih banyak." tak kalah sengit.
"Kamu itu harusnya tidak usah cari tau mengenai gasi suami kamu, biar tidak sakit hati. Tamat SMA saja banyak tingkahnya harusnya kamu itu bersyukur terima apa adanya yang diberikan suamimu."
"Jadi menurut ibu ini salah saya?" tanyaku memutuskan perdebatan.
"Ya kamu yang salah, kamu itu harusnya bersyukur masih diberi nafka sama reyhan. Kamu kan tau reyna juga butuh biaya untuk kuliyahnya dan itu tanggung jawab reyhan sebagai saudaranya."
"Sudah lah bu mbak kinar mana mengerti masalah kuliyahm dia kan tidak pernah merasakan bangku kuliyah." ucap reynah mencemooh
Karena bagi saya berdebat dengan mertuaku tidak akan ada habisnya.
"Ya iya lah, kalau kamu tidak suka lebih baik minta cerai saja dari Reyhan. Bagaimana pun kesalahan anak saya pasti akan saya bela, kamu jagan coba menyakitinya. Camkan itu" ucap mertuaku sambil melotot kepadaku.
Setelah mengatakan itu Ibu mertuaku langsung berdiri dan pulang begitu saja, bahkan berpamitan atau menyapa khanza saja tidak. Raut wajah anakku jelas terlihat ketakukan berada dalam gendongan ibuku sambil mengintip dibalik tembok. Kuhembuskan nafas dengan kasar kemudian menghampiri ibu dan anakku, yaa allah betapa sakitnya hati ini melihat wajah anakku yang ketakutan. Kemudian kuajak anakku keliling kampung dengan naik motor, setidaknya itu bisa mengobati luka hati anakku. Setelah keliling kulihat ada pejual bakso pinggir jalan, kuhentikan motorku kemudian mengajak khanza masuk makan bakso.
"Bunda, ayah marah ya sama bunda?" tanya khanza saat menunggu pesanan bakso kami
Aku hanya menganggu sebagai jawaban, karena bingung mau menjelaskan seperti apa kepada anakku.
"Kalau ayah belum mau pulang kerumah, bagaimana kalau kita menyusul ayah bunda. Dede tidak mau kalau ayah pergi bunda. Dede takut tidak punya ayah lagi kayak teman dede." jawab Khanza denga mata berkaca-kaca.
"Iya sayang, apapun kemauan tuan putri hamba akan menurutinya." ucapku berlagak seperti pengawal putri raja agar khanza sedikit terhibur sehingga melupakan kesedihannya
Tidak lama pesanan bakso kami datang, dan khanza tidak lagi mempertanyakan ayahnya. Kupandangi wajah polos anakku terlihat bahagia menyantap makanan faforitnya, Mas Reyhan tidak sekalipin menghuungi kami selama kepergiannya. Kalau memang marah denganku setidaknya berilah kabar untuk khanza, darah dagingnya sendiri.
Setelah sampai di halaman rumah kulihat ayah dan ibuku duduk di ruang tamu dengan wajah tegang, sepertinya sedang menungguku pulang. Setelah masuk ke dalam rumah langsung kuberi salam dan mencium tangan kedua orang tuaku di ikuti oleh khanza.
Setelah itu khanza di ajak ke ruang tengah bersama ibuku, semntara saya tetap bersama ayahku di ruang tamu.
"Nak, kata ibu mertuamu tadi datang kesini?" tanya Ayahku
"Iya ayah tadi ibu mertua dan adik iparku datang tapi merek tidak lama." jawabku
Setelah itu kuceritakan masalah yang saya hadapi mulai dari awal, berapa kali kulihat ayahku menghela nafas dan mengangguk.
" Nak dalam berumah tangga pasti ada cobaannya, tidak semua hal harus dihadapi dengan emosi. Bicarakanlah dengan kepala dingin, agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Jika suasana hatimu sudah baik, susul lah suamimu. Ajak suamimu pulang biar ayahyang bicara denga dia."
Ayahku memang tidak memperkeruh suasana, beliau selalu bijaksana dalam mengambil keputusan. Tetapi dengan keadaan seperti ini rasanya tidak tepat, karena anak permpuanya telah terzolimi. Namun percuma berdebat dengan ayah, karena pasti saya pasti akan semakin dinasehati. Jadi lebih kupilih diam.
Entahlah harus bagaimana lagi, saya sudah sangat lelah menghadapi sikap mas reyhan. Bukannya menyelesaikan masalah dengan baik-baik dan kepala dingain mas reyhan malah menambah masalah dengan kabur kembali ke rumah orang tuanya.
Entah ujian apa lagi yang akan saha hadapi, setelzh di zolimi dan di bohongi, sekarang saya malah di sudutkan sepeti tersangka padahal saya korbannya. Kuambil telepon yang terletak diatas meja kemudian menelfon mas reyhan.
"Halo assalamualaikum mas reyha"
"Hemm Wa'alaikumussalam, ada apa kamu menelfonku?" ucap mas reyhan
"Apakah salah mas seorang istri menelfon suaminya? Aku tidak seperti mas yang meninggalkan tanggung jawab sebagai seorang suami dan orang tua." ucapku
"Kalau kamu menelfon hanya untuk ceramah lebih baik tidak usah."ucap mas reyhan denga ketus
"Tega kamu mas mengadu ke ibu seolah-olah mas adalah orang yang paling teraniyaya padahal faktanya mas lah yang menganiyayaku. Dimana hati nuranimu mas? kalau kamu memang tidak meperdulikan aku lagi aku tidam apa-apa mas tapi bagaimana dengan khanza mas? kamu telah menelantarkannya juga tidak memberinya nafka dan kasi sayang yang cukup. Dimana hati nuranimu mas?" Jawab mas reyham jagan diam terus." ucapku pada mas reyhan.
"Aku kan sudah memberimu nafka kenapa masih menyalahkanku hah?"
"Mas pikir uang segitu cukup untuk kami? mas apa-apa sekarang serba mahal mas."
Aku terdiam setelah menanyakan itu pada mas reyhan, Dia mematikan sambungan telephonenya secara sepihak. Lagi dan lagi aku haru bersabar menghadapi mas reyhan dan keluarganya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments