Bab 1 - 11.25 am

Selma: Sebenarnya tidak, Ansel. Aku ingin segera kembali ke Genth. Segera.

Selma membalas pesan singkat itu. Ia tak ingin Ansel mengkhawatirkannya. Lelaki itu terlalu baik untuk mempedulikan hal remeh seperti yang dialaminya. Ansel partner yang melebihi itu, sudah beruntung Ansel tulus mengemban banyak hal di bisnis kecil yang mereka bangun, di saat akhir pekan yang ramai, sementara ia memutuskan ke NYC sejenak.

Sepuluh menit lagi jadwal kereta menuju Norfolk berangkat. Penn Station tinggal beberapa puluh meter lagi ke arah selatan. Ia kerahkan semua emosinya yang campur aduk untuk mempercepat langkah kakinya yang berlari. Dadanya terasa terpukul bertubi-tubi. Kepalanya terasa meletup-letup. Panas. Memperparah nafasnya yang terengah-engah. Sudah dekat dengan jam makan siang. Tadinya ia sudah merasa lapar, tapi ia tak peduli lagi. Yang ia pikirkan kini hanya satu tempat. Rumah. Di mana ia bisa meringkuk nyaman dan meluapkan emosi sejadi-jadinya tanpa harus merasa malu dan mengganggu orang lain.

Mungkin Ansel yang terganggu, tapi dia selalu mau mengerti, batinnya.

Baru menjejakkan kaki sehari di kota terpadat ini, tapi Selma sudah tak peduli lagi dengan pesona yang ditawarkan. Ia tak peduli. Ia sudah lelah. Bahkan tak ambil pusing saat Madison Square terpampang di dekatnya. Di hadapannya. Ia langsung menumpahkan kelincahan kakinya di anak tangga stasiun bawah tanah itu. Terlambat enam puluh detik akan membuyarkan rencana pulangnya.

"Nona! Kau menjatuhkan sesuatu!" Suara laki-laki berteriak lantang padanya.

Selma tak menggubris. Ia langsung berbelok masuk. Berlari ke arah tempat kereta yang akan berangkat.

Namun, saat ia masuk ke area itu, kereta baru saja berangkat. Hatinya mencelos. Ia melihat jam tangan digitalnya.

11.35 am

Lewat 5 detik.

Ia hanya terlambat beberapa detik dan kereta sudah pergi.

Helaan nafas beratnya menyiratkan kesal yang menggunung. Sekarang aku harus apa? Ya Tuhan!

Lalu ia teringat tadi seseorang meneriakinya. Ia sadar ia menjatuhkan sesuatu. Barang mungil yang biasa melekat di jari manis kirinya. Cincin perak yang sudah sejam terakhir ia genggam terus. Mungkin tadi tangannya berkeringat dan cincin itu jatuh. Namun, tadi ia juga sudah tidak begitu peduli kalau barang itu hilang.

Tapi, mendadak ia malah berbalik. Siapa tahu untuk yang satu ini tidak terlambat. Ia menelusuri lorong lagi. Tapi, ia tak mendapati apa-apa, juga tidak pada orang yang meneriakinya tadi. Ia menghela nafas panjang lagi. Sudahlah! Sepertinya memang semua sudah berakhir.

Selma pergi dari sana. Ia membeli es soda di tengah jalan. Ia terus berjalan. Terombang-ambing.Tak berencana kemana pun. Menyusuri trotoar yang padat.

Kota ini begitu padat dan segalanya terasa berjejalan.Taksi kuning dimana-mana. Bangunan bertingkat berdempet-dempet dengan banyak kaca jendela. Toko menjamur. Apalagi tempat makan dan tempat hiburan, serta gedung perkantoran. Pusat perbelanjaan. Bank. Persis seperti di film-film. Sesaat Selma merasa sedikit lepas, menikmati keadaan yang jarang dilihatnya itu. Sesaat kemudian ia juga tersadar, begitu riuh suasana di sekelilingnya, tapi di dalam ia masih merasa sendirian. Tak berbeda dengan yang biasa ia rasakan tiap hari. Hanya saja kondisi kota yang tak kenal lelap dan ramai ini seakan semakin menegaskan dan mendramatisir kondisinya yang sedang mellow.

Selma mengambil ponselnya dari saku. Lalu ia banyak memotret di sepanjang 7th Ave. Begitu pun pada langit siang yang terlihat di antara lorong bangunan bertingkat. Masih sedikit mendung, tapi ia tak khawatir hujan melanda, toh hatinya sudah ditimpa hujan badai.

Selma pun membuka akun Instagram-nya. Ia mengetik sebuah caption, Langit siang di atas dunia yang menggila | , lalu ia unggah.

Beberapa tanda suka dari akun lain tertera di menu pemberitahuan. Dari beberapa orang, satu yang menarik perhatiannya. Ia tersenyum. Senyum asli pertama yang ia kembangkan sejak kemarin. Kenalan lama yang pernah sekali mampir ke kedainya dulu karena sedang tour musik.

Sebuah komentar menarik terselip di antara komentar lain. "@selmawood Semoga harimu tidak buruk dan menggila."

Senyum Selma merekah menjadi lebih lebar beberapa senti. Ini pertama kalinya ia merasa terhibur semenjak kemarin menginjakkan kaki di sini. Selma pun membalas komentar itu. "@ianwalsh lol dunia memang menggila. Tapi, trims. Semoga harimu menyenangkan."

Selma berjalan lagi. Ia merasa lebih ringan. Kakinya pun melangkah hingga Times Square. Persimpangan jalan utama di Manhattan itu mengingatkannya pada Ian Walsh. Lelaki itu pernah mengunggah video penampilan acoustic session-nya tak jauh dari sana. Dan Selma suka menontonnya.

Ia membuka instagram story Ian dan membalaskan sesuatu.

Selma: Hei, Ian... aku sedang di persimpangan Broadway dan Seventh Avenue.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!