Bab 2 Masa lalu yang menyakitkan

Flash back ON

5 tahun lalu tepat saat Reyna berusia 16 tahun dan Reyhan yang saat itu berusia 19 tahun, harus rela hidup serba kekurangan. Karena satu tahun sebelumnya perusahaan yang ayahnya pimpin mengalami kebangkrutan.

Keluarga yang semula harmonis kini mulai retak. Ayah mereka yang tidak biasa bekerja berat mulai sakit-sakitan. Sementara sang ibu yang tidak terima keadaan selalu saja menyalahkan suaminya, ia beranggapan bahwa suaminya itu tidak becus mengelola perusahaan. Tak jarang pertengkaran sering terjadi diantara mereka, bahkan di depan anak-anak mereka.

Sementara Reyhan yang saat itu mulai kuliah terpaksa berhenti, tentu saja karena masalah biaya. Orang tuanya sudah tak memiliki banyak harta seperti dulu bahkan untuk sehari-hari pun mereka harus bekerja sangat keras.

Reyhan yang sadar akan kondisinya saat ini memutuskan untuk mencari pekerjaan, membantu ayahnya.

Setelah mencari kesana-kemari, akhirnya ia mendapat pekerjaan namun hanya sebagai buruh pabrik. Reyhan mau tidak mau menerima pekerjaan itu, karena yang ia butuhkan saat ini adalah uang.

"Apa yang bisa aku harapkan dari ini?" batin Reyhan ketika melihat ijazah yang di bawanya "Tapi setidaknya aku bisa mendapat pekerjaan."

Berat memang bagi seorang Reyhan yang dulunya berada di tingkat paling tinggi menjadi anak seorang pimpinan, yang kelak akan mewarisi perusahaan sang ayah, kini harus berada di tingkat bawah menjadi seorang buruh.

Meski sudah bekerja dengan sangat keras, Reyhan tidak mampu mengimbangi rekan kerjanya yang sudah sangat lihai. Bentakan, makian, bahkan hinaan kerap kali ia dapatkan. Ingin sekali ia marah, berteriak bahwa dulu dia adalah seorang anak pimpinan perusahaan, namun ia sadar situasinya sudah berbeda, ia hanyalah seorang buruh yang bekerja di bawah telunjuk orang lain.

Di sisi lain Reyna yang saat itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas, tetap melanjutkan sekolahnya. Teman-temannya sudah mengetahui bahwa keluarga Reyna sekarang sudah jatuh miskin, tentu saja itu membuat teman-temannya menjauh dan pura-pura tidak kenal. Memang benar kata orang bijak, jika ingin melihat kesetiaan dan ketulusan seseorang, lihatlah ketika engkau sedang terpuruk. Dan terbukti teman-temannya tidak ada yang tulus berteman dengannya.

"Lihat lah! si cinderella sekarang sudah menjadi upik abu." Ejek salah satu teman sekelasnya. Reyna tidak menggubris, telinganya sudah benar-benar kebal dengan ejekan teman-temannya. Semenjak perusahaan ayahnya gulung tikar, teman-temannya sering mengejeknya, bahkan sebagian dari mereka tidak segan untuk merundungnya. Maklum saja sekolah yang Reyna tempati saat ini adalah sekolah elite.

Reyna pernah berkata pada ayahnya agar ia pindah sekolah, bukan karena teman-temannya melainkan ia merasa kasihan melihat ayahnya banting tulang membiayai sekolahnya yang cukup mahal. Namun sang ayah malah melarangnya, ia akan bekerja lebih keras lagi agar anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Reyna terus berjalan menuju loker, namun ketika membuka lokernya Reyna mendapati banyak sampah di dalamnya. Bukan hal yang asing baginya melihat hal seperti ini, karena setiap harinya selalu ada hal-hal aneh masuk kedalam lokernya.

Reyna menutup lokernya, dan ternyata Sherin sudah berada di sampingnya. "Bagaimana baguskan hiasannya? itu sangat cocok sekali denganmu."

Reyna mengepalkan tangannya, menahan emosi"Sabar Reyna" Batinnya.

"Hei tunggu ada satu lagi hadiah dariku," Sherin berkata seraya melemparkan sesuatu, Reyna menoleh dan Byuurr sebuah plastik berisi air mengenai wajahnya. Reyna benar-benar sudah tidak tahan, ia mendekati Sherin dan berkata "Kau selalu mengataiku sampah, tapi menurutku kau adalah tempatnya sampah."

"Kau...,"

Sherin mengangkat tangannya hendak memukul Reyna, namun belum sempat beraksi Reyna terlebih dahulu memegang tangan Sherin "Berhentilah membuat keributan, apa kau tidak lelah?" Reyna menghempaskan tangan Sherin, kemudian berjalan keluar menuju toilet.

Mata Reyna memerah menahan tangis. Takdir benar-benar menjungkir balikan dunianya. ia marah dan terkadang ingin menyerah pada keadaan, namun ia ingat nasihat gurunya "Terkadang takdir memang terlihat kejam, namun yakinlah ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil."

Bel masuk berbunyi, Reyna yang sudah jauh lebih tenang memutuskan kembali ke kelasnya.

...***...

Reyhan yang saat ini duduk di teras rumah, sedang menyesap sebatang rokok, kembali mendengar kedua orang tuanya bertengkar "Apa mereka tidak lelah bertengkar setiap hari?" Reyhan hendak menyesap rokoknya kembali namun seketika ia melihat adiknya berjalan menghampirinya, buru-buru ia mematikan rokoknya dan membuangnya jauh.

Reyna yang sudah duduk di sebelah kakaknya, mulai mengendus baju sang kakak.

"Kakak merokok? bau nikotin."

Yang di tanya malah salah tingkah, tidak tahu harus menjawab apa "Ti..tidak" Dalihnya

"Jangan berbohong jelas-jelas baju kakak bau asap rokok." Pungkas Reyna lalu menatap kakaknya "Apa kakak tidak membaca tulisan di bungkusnya, merokok membahayakanmu"

"Hanya sesekali" Reyhan mencoba membela diri

"Tetap saja walaupun sesekali lama-lama kecanduan"

Tak ada kata-kata lagi di antara Keduanya. Mereka terdiam merenungi nasibnya masing-masing.

Sementara di dalam rumah pertengkaran kedua orang tuanya masih belum reda.

"Miranda bersabarlah sedikit, aku juga sedang berusaha." Andi ayahnya Reyna mencoba menenangkan sang istri

"Sabar? Mas bilang sabar? satu tahun aku bersabar namun tidak ada perubahan sama sekali." Kehidupan yang glamour dengan segala kemewahannya serta pergaulan dengan kelas sosial tinggi membuat dirinya lupa diri dan tidak menerima keaadaan seperti sekarang ini.

"Cobalah untuk menyesuaikan diri, dan berhenti bergaul dengan teman-temanmu itu."

"Tidak bisa mas,"

Andi mengusap wajahnya kasar melihat tingkah laku istrinya yang keras kepala.

"Lalu apa mau mu?"

"Aku ingin kita berpisah." Ucap Miranda. Bukan tanpa alasan ibu Miranda selalu meminta cerai, karena selama ini tanpa sepengetahuan suaminya, Miranda menjalani hubungan dengan mantan kekasihnya bernama Johan.

Johan dan Miranda adalah sepasang kekasih yang saling mencintai. Namun Miranda sudah lebih dulu di jodohkan oleh kedua orang tuanya dengan Andi yang saat ini masih berstatus suaminya.

Miranda tidak bisa menolak karena itu permintaan terakhir kedua orang tuanya yang saat itu sedang sekarat akibat kecelakaan.

"Baiklah jika itu maumu, mulai saat ini aku mentalakmu. Kau bebas melakukan apapun semaumu." Andi sudah pasrah, mungkin ini jalan yang terbaik bagi mereka berdua.

"Soal anak-anak, biarkan mereka tetap disini."

"Tidak bisa, salah satu dari mereka harus ikut denganku."

Walaupun Miranda adalah orang yang sangat egois, namun ia tetap menyayangi kedua anaknya. Ia tidak tega melihat anak-anaknya menderita dan hidup dalam kesusahan.

Merasa tidak ada jawaban akhirnya Miranda memutuskan memilih Reyna untuk ikut dengannya. Karena ia pikir Reyhan sudah dewasa dan bisa mengurus hidupnya sendiri.

Miranda keluar mencari putrinya yang saat ini sedang duduk di teras bersama sang kakak.

Sementara Andi hanya duduk memijat pangkal hidungnya, mencoba menghilangkan penat di kepalanya.

"Reyna.. kemasi barang-barangmu sekarang."

"Tapi bu__"

"tidak ada tapi-tapi, cepat kemasi barang-barang mu sekarang" Miranda pun berlalu, masuk ke dalam rumah mengemasi barang-barangnya.

Reyna mau tidak mau mengikuti ibunya masuk ke dalam rumah mengemasi barang-barangnya. Sebelum pergi Reyna menghampiri ayahnya. "Ayah kita mau kemana? Kenapa hanya aku dan ibu yang nengemasi pakaian?"

"Reynaaa" Miranda yang sudah berada di luar memanggil anaknya dengan lantang.

"pergilah, ikut dengan ibumu" Andi sang ayah berkata seraya mengusap lengannya.

"Tapi ayah__"

"Pergilah, ayah berjanji akan terus mengunjungimu."

Tak ada lagi pembicaraan antara keduanya, karena Miranda terus berteriak memanggil anaknya.

"Kak.." Ucap Reyna sendu ketika bertemu kakanya.

"Pergilah..." Ujar Reyhan tanpa mengalihkan pandangannya dari sang ibu.

Tanpa perlu di jelaskan, Reyhan sudah mengetahui apa yang terjadi karena tadi ia mendengar semuanya.

"Ayo!" Miranda memutuskan pembicaraan antara kedua anaknya dengan menarik lengan salah satu dari mereka.

"Kau tetap di sini, temani ayahmu." Kata Miranda lalu bergegas pergi meninggalkan putranya.

Reyna terus menoleh ke belakang entah kenapa ia tidak rela pergi dari sana. Hatinya mengatakan agar tidak ikut bersama ibunya, namun sang ibu menarik tangannya. Hingga akhirnya Reyna pasrah dan mengikuti kemana ibunya itu pergi.

Sama halnya dengan Reyna, Reyhan pun merasakan firasat buruk namun segera di tepisnya.

"Semoga ibu membawamu ke tempat yang lebih nyaman."

.

.

.

Jangan lupa like, comment dan vote ya!

See you,,,

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!