"Dhiarra..!"
Sebuah panggilan yang cukup mengejutkan. Perasaan aman sebab mengira telah bebas hingga masuk ke kamar sebentar lagi, telah berantakan seketika. Namun rasa kejut was-was itu hanya sesaat terasa. Terganti dengan rasa serba salah yang ada. Ya, pulang lambat inilah yang membuatnya jadi segan.
"Encik Shin...?"
Dhiarra telah berbalik cepat guna meyakinkan kebenaran telinganya. Dan itu Memang benar, sang paman tirilah yang tadi memanggil di belakang. Kini telah berdiri diam menatap tajam pada gadis Indonesia, si pendatang.
"Telah pukul berapa ini...?" Pertanyaan yang terdengar biasa. Namun bermakna menyudutkan bagi Dhiarra.
" Pukul Sepuluh,,,,,." Gadis yang nampak berkulit cerah di keremangan teras itu menjawab ragu sambil menyimpan kembali ponsel ke dalam tas.
"Pukul sepuluh lebih berapa..?" Pertanyaan Shin terkesan menjebak. Dhiarra nampak diam dan bimbang menyahut.
"Lima puluh lima menit..." Dibilang jugalah hasil akurat dari laporan waktu di ponsel.
"Itu pukul sebelas...! Sudah malam, Dhiarra. Kau datang ke sini masih hitungan minggu, bahkan belum berbulan. Tapi sudah berani pulang semalam ini. Bagaimana kau di Indonesia? Apa kau di negaramu sudah biasa tidak pulang saat malam, Dhiarra..?" Pertanyaan Shin memang menyebalkan. Tapi Dhiarra sudah menduga akan terjadi begini. Mungkin bentuk protectif Shin atas permintaan ayah Hazrul untuknya. Dhiarra diam dan berfikir sejenak.
"Sorry, encik Shin. Tapi, bukankah anda pun sedang sama denganku? Pulang hampir larut... Saya rasa anda tidak bekerja pada orang, kan? Tapi kenapa anda tidak mampu mengatur waktumu sendiri. Setidaknya, target pulang lebih awal... Anda merasa hal itu cukup berat bukan?" Tak ada getar takut pada kata-katanya. Shin cukup termenung akan sikap Dhiarra yang berani.
"Tapi aku tidak sama denganmu. Aku bekerja di perusahaanku sendiri. Apa majikan toko obatmu itu tidak punya aturan jam kerja?" Ucapan Shin terdengar melunak.
"Apa encik Shin pulang malam sendiri? Apa bang Faiz tuh dah pulang awal-awal sedari tadi? Kurasa pulang sama waktu denganmu juga, encik Shin..Apa bang Faiz mengungkit jam kerja darimu? Tidak kan..?" Dhiarra tetap tidak mau disalahkan namun tidak juga asal bicara.
"Aku membayar Faiz tidak murah. Dan Faiz tuh lelaki.. ini negaranya, bukan masalah bagi kami. Tapi kau itu perempuan dan warga pendatang. Harap kau ingat itu, Dhiarra.. Jangan sampai kau lebih merepotkanku.." Shin melirihkan lagi bicaranya. Seperti akan lelah jika terus berdebat dengan gadis itu.
Seketika juga, ucapan Shin itu cukup mengenai perasaan Dhiarra. Meski sedikit menggores, tapi sadar...,memang ada betulnya ucapan Shin barusan. Seorang perempuan, dan hanyalah pendatang. Lalu, apa yang diandalkan.. Setidaknya Dhiarra harus lebih hati-hati menjaga diri, juga pandai lagi mengatur waktu. Agar tidak perlu pulang larut.. Seperti malam ini..
"Baiklah, encik Shin. Aku paham maksud ucapanmu. Maafkan aku..." Dhiarra telah melembut lirihkan ucapan dan suara.
Shin hanya diam memandang wajah bulan oval itu lebih seksama. Menilai kesungguhan ucapan itu sejauh mana.
"Apa kau benar-benar paham dengan maksudku, Dhiarra..?" Shin menunggu gadis jelita itu meluruskan wajah padanya. Dhiarra memang masih berpaling wajah sebab pertanyaan Shin barusan.
Perlahan wajah rembulan itu menoleh menghadapnya. Om tiri dan keponakan tiri yang tak disangka saling bertemu akibat kebrengsekan ayah tiri itu berpandangan. Cukup lama keduanya terdiam dan saling adu tatap pandang.
"Iya... Aku paham. Tidak akan mengulang pulang malam, encik Shin.." Sebab tak tahan lagi dengan tatapan mata laser, Dhiarra menjawab cepat kemudian.
"Bagus, Dhiarra. Kendalikan dirimu... Akan kupegang kata-kata insafmu itu.." Meski kata-kata Shin masih juga tidak manis, Dhiarra akur dan mengalah. Hanya mengangguk nampak patuh sajalah yang sementara dilakukan.
"Masuklah... Tapi segeralah ke ruang makan. Kita makan malam bersama, Dhiarra..!" Pria berbadan tegap tinggi itu berseru sambil berlalu menaiki undak tangga menuju kamarnya.
Anak kunci yang masih menempel di lubang pintu segera dilanjut memutar. Merasa lapar dan tak ingin membuang waktu, menyambar handuk lalu hilang ke dalam kamar mandi. Sebab juga, Dhiarra tak ingin tertinggal oleh Shin jika makan malam bersama. Malas melayan omongan keluarga Hazrul yang tetap tak ingin akur akan kedatangan Dhiarra. Jika bersama Shin, paling tidak ada segan pada mereka untuk tidak terlalu mencelanya.
Tapi gadis jelita itu lupa jam berapa sekarang. Sudah hampir tengah malam, tak mungkin ada acara makan malam bersama. Dinner keluarga telah tamat dari berjam-jam yang lalu.
🍒🍒
Langkah kaki tergesa Dhiarra melambat. Hanya ada Shin saja yang telah duduk di sana. Tentu juga dengan seorang pelayan lelaki yang siaga dan berdiri tak jauh dari meja makan.
Diseret perlahan kursi di hadapan Shin, kursi yang biasa diduduki, semenjak datang hingga sekarang. Meski rasanya jarang juga makan bersama mereka di meja. Dhiarra lebih memilih buru-buru berangkat saat pagi. Sedang saat malam, meski kelambatan pulang tidak separah malam ini, Dhiarra lebih suka makan lambat dan sendirri.
"Makanlah, Dhiarra. Ambillah sesukamu. Orang di rumah ini, semua sudah makan." Piring milik Shin terlihat hampir kosong.
Dhiarra mengangguk sambil memandang sekilas pada Shin. Segera mengisi piring dengan cukup makanan. Dhiarra berharap tidak lagi menyambung masalah saat berada di meja makan.
" Terimakasih, encik Shin." Gadis yang nampak segar tanpa riasan sehabis mandi itu nampak tergesa mengunyah makanan.
"Kenapa kau buru-buru sekali..?" Dhiarra mendongak menatap Shin sebentar. Memastikan bahwa kepadanyalah lelaki itu bertanya.
"Saya tak nyaman, ternyata malam memang telah larut. Tak ada lagi yang datang ke meja makan ini..." Sepertinyan Shin pun juga baru mandi, pria menawan itu nampak cerah dengan rambut hitam lurus yang basah.
"Tidak nyaman? Kau tidak nyaman denganku? Tenanglah Dhiarra. Sebenarnya aku tidak suka bersikap keras. Dan jika terpaksa bersikap keras, aku tidak suka mengulanginya. Makanlah dengan pelan..." Shin telah membersihkan sangat licin makanan di piring. Mengambil segelas air yang dituang oleh pelayan lelaki di samping.
"Encik Shin..., apa tidak ada kabar dari abang tirimu, ayah Hazrul dan ibuku...?" Jika sebelumnya merasa segan menanyakan hal ini pada Shin. Tapi mendapat gelagat sikap Shin yang hangat, Dhiarra tak tahan lagi bertanya.
"Apa kau tetap tidak bisa menghubungi mereka?" Shin menyandar badan di kursi.
" Sebenarnya hanya ibukulah yang ingin kuhubungi, bukan abang tirimu itu, encik Shin. Tapi sebab abangmu itu telah melarikan banyak uangku, aku sangat ingin mendampratnya.." Gadis Indonesia itu telah berubah sedikit dingin tiba-tiba. Sepertinya hati itu telah lelah untuk sabar.
"Apa kau masih ingin aku mengganti uangmu yang dipinjam Hazrul..?" Makan di piring Dhiarra juga telah habis. Ditatapnya encik Shin, mata tajam dengan irish semu biru yang memukau. Seperti palung dalam yang nenyimpan lembah misteri dalam hatinya.
"Tentu saja aku tetap berharap, encik Shin. Tapi saat ini aku belum ingin menuntutmu. Sebab aku tak ingin kehilangan alasan untuk bertemu ibuku sambil berharap menjumpai abangmu dan memakinya.." Shin menaikkan alis tebalnya menahan senyum, memperhatikan bicara Dhiarra yang emosi dan berapi. Tapi jam malam telah terdengar dibunyikan.
"Tengah malam lewat... Sebaiknya kau cepat pergi ke kamarmu. Istirahatlah, Dhiarra.." Sedikit kecewa.. Shin telah menyudahi percakapan. Tanpa tawaran untuk membantu Dhiarra bertemu dengan sang ibu, seperti yang dikhayalkan.
Punggung itu mulai berjalan pergi dan cepat. Dhiarra pun berjalan menyusul.., melangkahkan kaki tergesa. Namun kaki panjang pria itu seperti melebihi kaki panjang si jerapah. Berayun jalan cepat dan semakin jauh di depannya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Fairuz khaerunnisa
asiiik akhirnya diteruskan jg ceritanya.., semangat terus thor
2022-08-26
2