Pada Malam Yang Berbadai

Pada Malam Yang Berbadai

01. Cerita sepulang Sekolah

"Akhir-akhir ini kenapa kau ngelamun terus? Sikap mu jadi aneh belakangan ini. Kau enggak kenapa-kenapa kan?" Damar ditanya oleh temannya.

"Enggak. Cuma agak sedikit capek aja. Banyak beban pikiran soalnya kan aku pertama kali ikut olimpiade juga. Jadi ya mungkin kelihatan kayak yang kau bilang. Sebenarnya enggak ada apa-apa kok," Damar bohong. Aslinya ia capek memikirkan kedua orangtuanya yang selalu sibuk akhir-akhir ini tapi ia tak ingin ada orang lain tahu. Ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Orangtuanya seperti sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

Meja makan tak pernah utuh diisi satu keluarga. Tak ada kehangatan seperti dahulu lagi. Rasanya hidup ini adalah hanya kehampaan. Damar jadi rindu masa-masa itu.

Mengenai olimpiade, dia tahun ini bakal mengikutinya. Sebenarnya dia malas, tapi ya setidaknya bisa mengurangi beban pikirannya. Saat mendaftar hanya itu saja yang ada dipikirannya. Untung saja lolos kualifikasi, setidaknya ia akan sibuk untuk beberapa saat.

"Oh gitu. Kalau ada masalah bilang aja ke aku. Pasti bakal ku bantu kok," setelah mendengar jawaban dari Damar ia berkata.

"Nanti kita pulang sekolah jalan-jalan yok sekalian nonton konser," Damar berusaha mengalihkan pembicaraan

"Ok," Jawab temannya dengan santai.

"Sekarang kita ke kantin. Laper banget aku," Damar segera melangkah pergi setelah berkata begitu.

***

"Berita panggilan untuk siswa bernama Damar untuk segera ke kantor. Sekali lagi, Berita panggilan untuk...."

Mendengar suara seorang guru lewat pengeras suara itu rasanya sangat malas sekali Damar untuk mengikuti perintah yang disampaikan kepadanya. Baru saja ia menyendok makanan yang dipesan . Siswa peserta olimpiade ternyata benar-benar sibuk sekali.

"Dipanggil tuh kau ke kantor," kata teman disebelahnya.

"Nanti aja lah. Orang baru makan juga. Laper tau aku," dengan seenaknya Damar berkata.

"Jangan gitu. Kali aja penting."

"Ya udahlah," dengan terpaksa akhirnya ia segera menuju ke kantor.

***

"Ada apa pak?" Damar yang sudah berada di kantor segera bertanya pada guru yang bersangkutan.

"Nanti pulang sekolah kita belajar ya. Biar persiapannya lebih matang nanti ," kata gurunya itu .

Mendengarnya Damar malas sekali, nanti ia ingin nonton konser musik yang ia tunggu dari dua bulan yang lalu. Soalnya yang mengisi acaranya adalah grup band yang ia gemari. Pingin sekali ia berkata kotor. Tapi enggan ia lakukan. Ia malas mendapat masalah.

"Hmmmm, gimana kau besok aja pak? Hari ini ada acara dirumah. Jadi aku enggak bisa. Kalau besok aku pasti bisa," Daripada berkata kotor, ia lebih memilih berbohong. Lagipula ia sudah terbiasa berbohong akhir-akhir ini . Terutama sekali masalah perasaannya yang sedang kesepian walaupun ada banyak orang disekitarnya.

"Kan bisa enggak ikut . Lagian Olimpiade akan dilaksanakan dua Minggu lagi. Itu tinggal sebentar lagi lho."

"Aku tahu. Tapi memang benar-benar enggak bisa . Maaf ya pak."

"Ya udah. Tapi janji ya besok ," gurunya akhirnya mengalah atau lebih tepatnya kalah dari Damar.

"Siap pak. Ada lagi yang mau dibicarakan pak mumpung aku masih disini?" dalam hati rasanya senang juga bisa menang .

"Enggak ada."

"Ya udah. Aku pergi duluan ya pak," setelah pamitan, Damar langsung pergi menuju ke kantin. Ia ingin menghabiskan makanan yang baru beberapa suap ia makan.

***

Pulang, akhirnya bel berbunyi juga juga. Yang ditunggu akhirnya tiba. Damar segera melajukan kendaraannya menuju ketempat yang ia ingin tuju sedari awal. Ia tidak sendirian, ada temannya yang menemani.

Konser berjalan sangat meriah. Ia bahkan sesekali ikut bernyanyi . Sebenarnya ia tak biasa bernyanyi ditempat umum karena ia merasa suaranya sumbang. Tapi saat itu ia sedang terbawa suasana, jadi ya tanpa sadar ia melakukan hal yang jarang ia lakukan.

Bernyanyi dikamar mandi rasanya lebih menyenangkan . Karena ia tak perlu khawatir ada orang yang mendengar karena suaranya tercampur dengan suara air yang mengalir deras. Hal itu membuat rasa percaya dirinya jadi meningkat .

"Enggak nyesel kan ikut aku?" katanya kepada temannya itu.

"Enggak . Tadi seru banget . Keren banget dah pokoknya. Aku malah senang bisa ikut kau," jawab temannya dengan ekspresi yang penuh semangat .

"Lain kali aku diajak lah kalau ada konser ginian" lanjutnya.

"Kau enggak apa-apa pulang telat gini?" Damar mengantisipasi sesuatu.

"Aku dah bilang tadi bakal pulang terlambat. Kata mereka enggak masalah. Kalau kau?" Setelah menjawab, temannya itu balik bertanya.

"Aku....... Enggak apa-apa kok. Orangtuaku bakal maklum . Lagian orangtuaku juga tahu kalau aku ikut olimpiade. Jadi mereka bakal maklum," Damar berbohong lagi. Bahkan orangtuanya tidak tahu kalau dia ikut olimpiade. Pulang pagi pun mereka tak peduli. Yang mereka pedulikan hanya urusan mereka sendiri. Damar bahkan sudah muak dengan alasan mereka yang selalu mengatasnamakan kesibukan mereka. Ia mulai benci dengan sikap orangtuanya. Ia tak ingin berbohong terus-menerus. Tapi baginya menceritakan keadaan orangtuanya saat ini adalah aib baginya. Ia tak ingin dikasihani hanya karena masalahnya itu.

"Iyalah. Enak banget ya jadi kamu. Pinter tanpa harus belajar. Pasti orangtuamu bangga punya anak kayak kau. Enggak kayak aku, belajar enggak pinter-pinter," suatu sanjungan yang nampak ironi bagi Damar.

"Semua orang hebat di bidang masing-masing. Mungkin kamu juga nanti bisa hebat di bidang yang tepat. Jangan menyerah. Kalau kau menyerah semua akan sia-sia," Damar sok bijak berkata begitu. Sebenarnya dalam hati ia ingin berkata yang sebenarnya. Tapi prinsip tetap prinsip, bagaimanapun ia tak mau melanggar apa yang jadi prinsipnya. Baginya, hal itulah yang paling penting di hidupnya .

"Kira-kira aku hebat di bidang apa ya? Kayaknya enggak ada bidang yang ku bisa . Aku jadi minder sama kau kadang."

"Ngapain sih iri. Sama-sama makan nasi juga. Kecuali kalau aku makannya beling baru kau boleh iri sama aku," lagi-lagi Damar berkata begitu. Perkataan yang seperti ironi baginya. Ia sebenarnya juga selalu merasa iri dengan orang lain. Terutama sekali saat melihat keluarga yang sedang berkumpul . Ingin sekali ia seperti itu, kalau saja orangtuanya tidak sibuk. Walaupun ia sendiri tak tahu mereka semua sibuk melakukan apa.

"Iya sih. Yang kau bilang benar. Aku enggak seharusnya iri. Tapi ya kenapa ya rasa itu selalu muncul?" Temannya membenarkan apa yang diucapkan Damar tadi .

"Kalau kau sendiri pernah enggak ngiri sama orang lain?" Temannya itu kembali bertanya .

"Hmmmm, ngapain juga aku ngiri sama orang lain. Semuanya sudah ada porsinya masing-masing. Segalanya sudah diatur. Jadi untuk apa ada rasa iri? Rasa iri hanya membuat dada semakin sesak saja. Dah lah, daripada ngomongin ginian terus mending kita makan. Aku yang traktir ," Damar sebenarnya tidak terlalu lapar. Tapi ia tak ingin membahas hal semacam itu lebih jauh lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!