SAHABAT RASA PACAR
Aku mulai kesulitan bernafas, lututku lemas dan keringat membanjiri tubuhku. Kuseka keringat yang menghalangi pandanganku dengan handuk yang sudah kusediakan dan mulai memperlambat kecepatan untuk berjalan selama lima menit, aku hanya sanggup bertahan 10 menit untuk berlari dan kemudian menyerah. Ini akibatnya jika malas berolahraga, badan jadi lemas padahal sudah melakukan pemanasan selama 10 menit.
Aku menatap sekeliling gymnasium yang sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang melakukan angkat beban disana dan satu orang yang sedang berlari tidak jauh dariku. Aku meminum air yang kubawa dari rumah dan menyampirkan handuk di bahuku. Aku harus tetap sehat dan bugar karena aku tidak mau terkena penyakit darah tinggi, kolesterol, diabetes atau penyakit apapun itu akibat pola makanku yang tidak sehat. Akhir-akhir ini aku lebih sering makan mie instan karena terlalu malas keluar rumah untuk mencari makan ketika terlalu sibuk mengetik naskah hingga pilihan satu-satunya saat lapar yaitu memasak mie instan atau delivery makanan siap saji yang bisa membuat orang obesitas.
Ponselku bergetar, senyumku begitu lebar ketika menatap siapa yang menelponku, sampai-sampai orang yang sedang berlari tidak jauh dariku menatapku. Aku terlalu gembira untuk menghiraukan tatapannya.
“NITA,” sapaku heboh.
Ups. Orang itu menatapku lagi.
“Halo Riana. Apa kabar? lama nggak ketemu,” suara Nita terdengar indah di ujung sana.
“Baik Ta, I miss you so much,” tak sengaja aku melihat orang itu mengurangi kecepatannya dan mulai berjalan, alisnya naik hingga kerambut ketika mendengar perkataanku.
“Lo kebiasaan deh, nanti di kira orang kita lesnian!” seru Nita.
“Biarin ta, gue beneran kangen. Lo kapan main kesini?” orang itu turun dari treatmill dan minum air yang dibawanya. Aku risi di tatap seperti itu jadi kuputuskan untuk pergi menuju lokerku.
“Nantilah saat liburan. Elo lagi ngapain?”
“Gue habis lari ta. Capek” jawabku sambil membuka pintu loker dan mengambil baju ganti.
“Tumben olahraga, elo lagi di alun-alun ya?”
“Biar sehatlah ta. Gue lagi di gym nih, kapan-kapan kita nge-gym bareng ya.”
“Yakin? Perasaan waktu gue ajak olahraga di gym, elo selalu punya alasan untuk mangkir? Kenapa jadi rajin begini sih?” ejek Nita.
“Orang kan bisa berubah ta!” seruku sambil menyeka peluh di keningku “gue pengen hidup sehat.”
“Elo pengen hidup sehat tapi kebiasaan lo makan mie instan tiap hari itu nggak berubah, sama aja bo’ong.”
“Elo pasti kaget liat gue yang sekarang, gue makan sayur tiap hari loh,” ucapku bangga.
“Balita juga makan sayur elo aja yang telat,” ejek Nita.
“Udah ah yang penting sekarang gue berusaha untuk sehat biar tua nanti nggak penyakitan”
“Akhirnya sohib gue berubah juga, gue seneng banget elo memutuskan untuk merawat tubuh lo. Nanti ya saat libur sekolah gue akan ngusul lo ke Jogja”
“Asiiikk! Di tunggu ya beb, muaach” aku memberikan ciuman jauh ke Nita.
“Iiuuuh jijik banget gue dengernya, sadar woy gue cewek dan udah punya pacar” teriak Nita.
“Hahaha” aku tertawa mendengar reaksi Nita.
“Udah ya ngomong sama lo kayak ngomong sama orang gila, gue nelpon cuma mau ngasih tahu minggu depan gue main ke Jogja”
“Yes yes yes” teriakku sambil loncat-loncat untung tak ada orang di sekitarku, seandainya ada yang melihat, aku bakalan di cap gila beneran dan patut di masukan ke rumah sakit jiwa untuk di pelihara.
Nita tertawa “Lo begitu senangnya ya denger gue mau ke Jogya?”
“Gue udah nggak sabar ta mau cerita, gue stress banget nih ngadepin nyokap. Gue kira begitu keluar dari rumah hidup gue nggak di atur lagi, eh malah lebih parah Ta” keluhku.
“Ya udah ceritanya nanti aja, anak-anak udah nungguin dari tadi” potong Nita.
“Siap Ibu guru, gue juga mau mandi. Gerah banget”
“Oke see you next time ya”
“See you” aku meletakkan ponsel di loker dan langsung ngacir ke ruang ganti untuk menukar tank top dan celana yoga yang aku pakai dengan celana jins dan kemeja yang sudah aku siapkan. Aku memasukkan Hair Dryer, pakaian kotor, ponsel dan skincare kedalam tas kemudian bersiap-siap untuk pulang. Rencananya hari ini mau ke gramedia untuk mencari referensi dan browsing internet, sebelum itu aku harus mampir dulu ke kos untuk mengeluarkan cucian kotor dari tas dan menaruhnya di keranjang pakaian kotor.
Aku menstarter scoopy merahku dan mulai melaju di jalan raya menuju kos. Aku selalu menikmati berkendara, jarang-jarangkan bisa mengendarai sepeda motor seperti ini tanpa omelan nyonya besar. Saat menatap kaca spion yang ada di kiri-kanan untuk memastikan tidak ada motor tepat di belakangku, tiba-tiba saja ada motor Honda CBR berwarna merah melaju di belakangku. Sepuluh detik yang lalu motor itu tidak ada, kenapa tiba-tiba menempel dan mengikutiku?
Aku menambah kecepatan dan mulai meliuk-liuk di jalan raya yang lumayan lenggang, walaupun sudah mengebut seperti orang gila tetap saja motor itu bisa mengimbangi kecepatanku yang bisa membuat kecelakaan beruntun. Teriakan, caci maki, sumpah serapah—apapun sebutannya--mengiringi saat aku menyelip diantara mobil dan motor yang melaju. Ketika aku berbelok ke jalan kecil, motor itu juga ikut berbelok terus membuntutiku sampai di depan kos.
Aku segera memarkir si merah di bagasi dan melepas helm yang aku kenakan, motor itu berhenti tepat di depan pagar. Si pengendara masih betah duduk di atas motor Honda CBR yang sepertinya memiliki harga lebih mahal dari si merah. Aku menatap si pengendara yang mengenakan helm full face. Laki-laki itu melepas helm kemudian menyisiri rambutnya yang berantakan dengan tangan akibat helm yang dia kenakan.
Lho inikan…
Laki-laki yang ada di gym tadi! Ngapain dia membuntutiku ke kos?
“Ada yang bisa saya bantu?” aku mendekati laki-laki itu dan mengamati penampilannya. Pakaiannya kasual dengan jins, jaket kulit berwarna hitam dan sepatu pantofel. Apa dia seumuran denganku ya atau malah lebih muda dari ku, gayanya itu loh seperti anak kuliahan.
“Halo! Mbak tinggal di sini ya?” ditanya kok balik nanya, gimana sih?
“Mas sengaja ya mengikuti saya?” tanyaku curiga.
Laki-laki itu tertawa “Mbak jangan menatap saya seperti itu, kesannya saya menguntit mbak lagi”
“Lho emang begitu kan? Kalo bukan penguntit apa namanya?” kataku sarkas.
Laki-laki itu malah tertawa terbahak-bahak “Saya bukan penguntit mbak, saya mengikuti mbak cuma mau mengembalikan ini” laki-laki itu menunjukan gantungan kunci Doraemon yang sering aku bawa kemana-mana.
“Lho itukan punya saya, Mas yang mencuri kunci kamar saya ya?” tuduhku dan berusaha merebut kunci itu dari tangannya. Tapi dengan gesit laki-laki itu berkelit dan menyembunyikan kembali kunci itu di saku celananya.
“Bukan! saya bukan pencuri, saya cuma menemukan kunci itu tergeletak di depan pintu ruang ganti” bantah laki-laki itu.
Aku cuma manggut-manggut mendengarkan penjelasan laki-laki itu sambil melirik saku celana laki-laki itu.
“Lain kali hati-hati, untung saya yang menemukannya kalau orang lain bisa-bisa mbak sudah nangis bombay” laki-laki itu tidak marah sudah aku tuduh pencuri, malah sempat-sempatnya dia melawak.
“Siapa yang nangis bombay, palingan saya cuma perlu manggil tukang kunci saja” aku berusaha tidak tertawa saat mendengar istilahnya tapi yang terdengar malah gerutuan.
Laki-laki itu cuma menganggukkan kepalanya “Mbak! Saya boleh kasih saran?”
Aku menatap laki-laki itu menyelipkan tangannya kembali kedalam saku celana dan mengambil kunci itu kemudian melempar-lempar kunci yang ada ditangannya “Saran apa ya?”
“Mbak kalo bicara bisa kan nggak ketus begitu, saya kan jadi ngeri” laki-laki itu pura-pura takut “Tatapan mbak juga seperti mengintrogasi pencuri”
Aku tertawa “Kapan saya begitu?”
“Barusan”
“Oh maaf kalo mas merasa kurang nyaman” Aku tersenyum manis, saking manisnya bisa bikin aku muntah.
“kamu juga nggak usah sok manis, nggak cocok” balas laki-laki itu sambil tertawa “Oh ya kita belum berkenalan namaku Haris Pratama, nggak apa-apa ya kalo kita berbicara santai” Haris mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Riana, aku juga ngerasa kayak lagi sidang skripsi” aku ikut tertawa dan bersalaman dengannya. Wow tangannya halus sekali seperti tangan perempuan, kuku-kukunya juga bersih dan lentik. Sepertinya dia sering manicure ke salon, aku jadi malu dengan kondisi tanganku sendiri yang kasar dan lupa memotong kuku.
“Jangan sampe hilang lagi,” Haris menyerahkan kunci itu ke tanganku “Aku boleh minta tolong?”
Haris menjatuhkan kunci itu di telapak tanganku “Minta tolong apa?” begitu kunci itu ada di tanganku, aku segera menyembunyikannya di balik punggung.
“Kalau berkendara jangan ngebut-ngebutan, tadi itu hampir aja terjadi kecelakaan, kamu nekat sih nyelip bus, sudah tahu busnya nggak mau ngasih jalan masih aja ngotot”. Aku cuma nyengir kuda kena omelannya.
“Salah siapa ya?” sindirku “Aku begitu gara-gara kamu juga kali. Dasar penguntit!”
“Sudah kubilang, aku bukan penguntit” sanggah Haris sambil melotot dan bertolak pinggang.
“Hahaha bercanda, gitu aja marah”
“Dasar!” Haris menoyor kepalaku “Aku balik dulu” Haris memasang helmnya kembali dan menstarter motor mahalnya yang bersuara merdu itu.
“Makasih ya, hati-hati di jalan”
“Sampai jumpa lagi” Haris mengendarai motornya sambil melambaikan satu tangan. Aku menatap kepergiannya hingga dia berbelok di tikungan.
Aku menghembuskan nafas, untung kunci kamarku tidak hilang. Aku memungut tas yang ada di lantai dan membuka pintu depan dengan kunci yang nyaris hilang itu lalu menuju kamarku yang terletak dilantai dua. Aku membuka pintu kamar dan cepat-cepat mengeluarkan pakaian kotor dan meletakkannya di keranjang.
Aku melirik jam tangan, wah gawat sudah jam dua. Mungkin karena kelamaan ngobrol sama penguntit tampan itu hingga aku tidak sadar telah membuang begitu banyak waktu. Aku mengunci pintu kamar dan berlari menuruni tangga sambil memasang ransel di punggung. Aku harus cepat-cepat pergi kalau tidak mau pulang kemalaman karena terlalu asik mencari buku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments