Jodohku Di Kampung Kakek
"Minggu depan kamu Papa kirim ke kampung Kakek. Jangan banyak bertingkah atau semua fasilitas yang sudah Papa kasih akan Papa cabut lagi!"
"Apa!!! Papa, gak bisa gitu dong main ambil keputusan sendiri." protes seorang gadis dengan ekspresi terkejut. Apa-apaan ini? Baru juga pulang sekolah sudah disuguhkan drama seperti ini.
"Apa? Mau protes. Silahkan aja. Tapi, jangan salahkan Papa kalau besok kamu sudah menjadi gembel." balas si Papa dengan santai seolah-olah ucapannya mainan saja.
Dena, gadis yang baru saja menikmati masa mudanya kini harus dikekang oleh keposesifan sang Papa. Tidak mudah baginya menghadapi keposesifan itu. Semua segala aktivitas yang ia lakukan pasti akan diketahui oleh sang Papa terkecuali saat berada di kamar mandi.
"Papa!!" Dena menghentakkan kakinya dengan wajahnya yang masam.
"Persiapkan diri kamu untuk minggu depan. Sekarang cepat ganti baju, Papa akan mengajak kamu berbelanja untuk keperluan minggu depan."
Wira, sang Papa berlalu begitu saja sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celananya. Meninggalkan sang anak yang kini terlihat kesal bin sebel.
Dengan wajah kesalnya Dena langsung memasuki kamarnya. Menutup pintu itu dengan kasar. Wira yang masih berada di bawah melihat tingkah anaknya itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Dia benar-benar anak kamu, Na. Persis seperti sifatmu saat sedang merajuk." gumam Wira menatap bingkai foto berukuran besar yang terpajang di dinding samping anak tangga.
Wira ditinggalkan oleh mendiang istrinya untuk selama-lamanya. Menitipkan anak perempuan mereka satu-satunya. Sejak saat itu Wira memulai segala keposesifannya. Tidak tanggung-tanggung, Wira bahkan menyewa beberapa bodyguard untuk menjaga keamanan sang anak. Tapi, bodyguard yang ia sewa bahkan sudah gugur sebelum memasuki medan perang.
"Papa jahat! Arghhhhh..." teriak Dena yang langsung melemparkan barang-barang di meja riasnya. Bunyi barang-barang yang dilempar tersebut langsung terdengar di telinga Wira. Pria itu membiarkan. Nanti juga tenang sendiri.
"Kenapa sih? Kenapa... kenapa!!!"
Sehabis puas menyalurkan segala emosinya, Dena langsung berjongkok di sisi kasurnya. Gadis itu menangis sesegukan sambil mengomel tidak jelas.
Hanya karena ketahuan berpacaran dengan Kakak kelasnya, ia sudah diperlakukan seperti ini. Bukan sesekali, tapi, sering kali. Dena harus mengakhiri hubungan asmaranya dengan para lelaki. Mereka yang menjalin hubungan dengan Dena pasti akan langsung mundur begitu melihat siapa pawangnya.
Tok tok tok
"Sayang, marahnya udahan belum?" terdengar suara sang Papa sambil terus mengetuk pintu kamarnya.
"Papa capek nih. Kepala Papa pusing rasanya mau pingsan."
Hening
"Sayang beneran kamu gak perduli sama Papa? Ya udah, Papa kabur aja ke planet mars biar kamu gak marah lagi sama Papa."
Dena langsung mengangkat wajahnya yang sembab begitu mendengar kalimat itu, gadis itu langsung berlari mendekati pintu dan membukanya.
Ceklek
"Say---"
Grepp
Dena langsung memeluk erat tubuh sang Papa. Menghirup dalam-dalam aroma yang selalu membuat pikirkan tenang. Selalu membuatnya merindukan pelukan itu. Pelukan yang selalu memberikannya ketenangan, kehangatan, sandaran. Semuanya ada di situ, dipelukan sang Papa. Cinta pertamanya, lelaki yang selalu ada di hatinya.
"Dena gak marah lagi." gumam Dena seraya menggelengkan kepalanya.
"Bener gak marah lagi sama Papa?" tanya Wira yang langsung membalas pelukan sang anak. Mengelus kepala gadis itu dengan sayang.
Pembantu yang bekerja di sana tersenyum tiap kali meihat adegan menggemaskan dari Ayah dan anak tersebut. Hidup mereka terasa berwarna dengan segala tingkah anak majikannya itu. Walau mereka sering dibuat pusing kalau anak majikannya itu sudah meminta sesuatu hal.
Dena hanya mengangguk tanpa bersuara. Ia masih betah memeluk tubuh sang Papa yang selalu menjadi rumah saat ia merasa letih. Selalu menjadi payung saat turunnya hujan, menjadi tiang untuk ia berdiri kokoh.
Wira melepaskan pelukannya. Menangkup kedua pipi Dena, mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. Lalu beralih mencium kening sang anak. Pria itu sangat menyayangi permata hatinya. Dena adalah titipan dari Tuhan yang membuatnya selalu bangkit di saat segala keluhan. Selain itu, Dena adalah buah hatinya yang dititipkan oleh mendiang istrinya dulu. Ia begitu menyayangi gadis kecilnya. Tidak membiarkan ada lalat atau pun semut yang menghampiri gadis itu.
"Bajunya kok belum diganti, hem? Kan Papa mau ngajakin belanja."
Dena kembali manyun. "Papa udah bikin aku kesel." ujar gadis itu cemberut.
"Papa harus gimana nih biar putri kecil Papa bahagia?"
Seulas senyum Dena terbit begitu mendengar tawaran yang ia anggap sebagai sogokan saat ia merajuk. Wira yang melihat itu hanya tersenyum mengerti.
"Yaudah. Mandi sana, ganti bajunya. Papa tunggu di bawah. Jangan lama-lama ya?"
"Siap, Papaku tersayang... cupp..." Dena sumringah lalu memberikan satu kecupan manis di pipi sang Papa. Kembali masuk ke kamarnya membiarkan barang-barangnya bergeletakan di lantai kamar.
Wira hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Semakin hari putri kecilnya itu malah semakin bertambah manja. Tidak apa. Wira tidak menyesal karena telah memanjakan anaknya. Pria itu berpikir nanti kedepannya pasti putri kecilnya itu akan berpindah tangan ke laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti. Makanya sebisa mungkin Wira memberikan segala perhatiannya, memberikan segala fasilitas yang ia punya. Mungkin orang di luaran sana akan berpikir itu berlebihan, tapi, bagi Wira itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri baginya.
Hidupnya hanya ada putri kecilnya itu. Lambat laun putri kecilnya pasti akan meninggalkan dirinya, membangun rumah tangganya sendiri di kemudian hari.
Tidak ada niatan sedikit pun bagi Wira untuk menikah sekali lagi, memberikan Ibu sambung untuk anaknya itu. Tapi, ia tidak tahu kedepannya akan bagaimana. Kalau sudah diberi jalannya, pria itu akan menerima. Kalau sudah ditakdirkan hanya untuk mencintai seorang wanita, yaitu mendiang istrinya, maka pria itu juga akan terima.
Tidak jarang, malahan sering, bagitu banyak wanita yang datang kepadanya. Mencoba merebut perhatiannya melalui putri kecilnya. Akan tetapi, mereka semua mundur begitu berhadapan dengan Dena. Sebisa mungkin Dena selalu menghalau wanita-wanita yang datang kepada Papanya itu.
Wira malahan senang kalau putri kecilnya itu sudah bertindak. Keputusan gadis itu adalah mutlak baginya. Hal itu termasuk ke golongan benar. Kalau salah? Jangan harap gadis itu bisa bersantai.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Dena segera keluar dari kamarnya menemui sang Papa.
"Papa, beneran udah gak marah sama aku?" tanya Dena sambil mendongakkan kepalanya karena tinggi badan sang Papa jauh darinya.
"Iya, Sayang. Kenapa?"
"Jadi gini... Papa kan udah gak marah lagi... boleh dong ya itunya dibatalin aja." bujuk Dena sambil kedua jari telunjuknya disatukannya.
"Apanya yang mau dibatalin, hm?" tanya Wira sedikit curiga dengan perkataan putrinya.
"Anu, Pa..."
"Apa, Sayang. Papa bukan peramal yang bisa meramal pikiran pikiran kamu lho."
"Itu... Papa bilang Papa mau kirimim aku ke kampung halaman Kakek. Batalin ya, Pa? Ya ya ya ya..." gadis itu mengeluarkan jurusnya.
"Huummm... gimana yah? Papa juga gak tau nih." balas Wira tak tahan ingin tertawa melihat ekspresi anaknya.
"Lahh! Kok nggak tau? Papa gimana sih! Dia yang ngomong eh malah bingung sendiri." ujar Dena cemberut dengan tangan ia silangkan ke da da.
"Sumpah, Papa nggak bohong. Emngnya kapan Papa bilang gitu?" tanya Wira sengaja memancing kemarahan Dena.
"Ish! Papa!" teriak Dena kesal langsung berlalu meninggalkan Wira.
Wira lekas mengejar anaknya yang kini sudah masuk ke dalam mobil. Pria itu juga masuk ke jok belakang, duduk di samping Dena. Sementara supir yang akan mengemudi.
"Jalan, Pak!" titah Wira langsung mendapat anggukan dari sang supir.
"Anak Papa kenapa nih cemberut gini? Nanti cantiknya hilang loh." goda Wira, tapi, gadis itu malah menyueki Papanya.
"Beneran nih ini ceritanya lagi ngambek sama Papa. Beneran nih?" ledek Wira.
Sontak Dena langsung menatap Papanya lalu memeluknya. Tangannya melingkar erat di perut sang Papa.
"Papa, batalin ya?" bujuk Dena lagi.
"Gak bisa, Sayang. Papa udah terlanjur bilang sama Kakek di sana." balas Wira.
"Ih! Kok gitu sih, Pa. Aku masih sekolah loh. Gimana konsepnya mau berangkat ke sana?"
"Kamu gak ingat? Minggu depan kan udah libur. Libur semester pertama?"
Dena langsung kicep. Si Papa bener-bener tau segala jadwalnya.
"Tapi, Pa. Nanti aku gak ada temen di sana. Lagian di kampung Kakek itu sempit, Pa." adu Dena mengingat hari terakhir ia berkunjung ke rumah Kakeknya.
"Nah! Nah. Apa Papa bilang sebelumnya?" peringat Wira.
"Iya, Pa, maaf. Gak boleh sombong."
"Pinter! Papa ngedidik kamu bukan untuk menyombongkan diri. Hargai dan hormati. Paham?" tanya Wira. Pria itu selalu mendidik anaknya lembut namun tegas.
"Tapi, Pa... aku belum terbiasa di sana." ucap Dena.
"Nggak pa-pa. Perlahan-lahan. Ingat! Jangan sampai menghina seseorang. Papa dulu berasal dari sana dan berjuang hingga saat ini dan lihat... apa yang Papa dapatkan. Papa sukses, Sayang. Itu berkat kerja keras Papa. jadi, kamu jangan mau kalas sama Papa. Belajar yang rajin, jangan malas. Ya?"
Dena mengangguk mendengar petuah sang Papa. Tidak heran ia kalau melihat sang Papa yang berpindah profesi. Tapi, Dena tidak pernah membantah. Apa yang dibilang Papanya memang benar.
"Sudah sampai, Tuan." sahut supir yang mengemudi.
"Baik, Pak. Terima kasih. Bapak istirahat dulu aja atau mau cari makan, minum gitu, Pak?"
"Baik, Tuan." jawab supir.
"Ayo, Sayang! Kita keluar, banyak yang harus kita beli untuk persiapan kamu nanti ke sana."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
novina jamillah
aku mampir say🥰😘
2022-10-16
1
Zabdi Zabdan
hai....aku mampir
2022-07-19
1
azril arviansyah
lanjut
2022-07-17
1