...Dilarang memberikan spoiler dalam bentuk apapun pada kolom komentar....
.......
.......
.......
Arsen memanglah seorang lelaki yang aku sukai sekaligus aku benci. Aku selalu suka dengan kepribadiannya yang tegas, disiplin serta sedikit cuek, namun dilain sisi aku juga sangat membenci sikapnya yang terlalu ketat pada sebuah peraturan. Kenapa aku bisa merasakan dua perasaan seperti ini kepada satu sosok lelaki bernama Arsen? Benci sekaligus menyukainya dan sangat ingin menjadikannya sebagai seorang pacar.
Aku sangat ingat betul pertemuan awal kami yang terbilang cukup menyebalkan sekaligus menjadi kenangan paling favorit selama aku bersekolah disini. Sebuah pertemuan yang sampai kapanpun tak akan pernah bisa aku lupakan.
Waktu itu, jika dihitung mungkin sudah sekitar dua minggu sebelum hari ini terjadi, saat aku memilih untuk naik ke rooftop bermaksud membolos dari pelajaran matematika yang paling ku benci, aku bertemu dengan lelaki bernama Arsen itu.
Aku hanya sekedar tahu kalau di sekolah ini ada seseorang bernama Arsen yang menjabat sebagai seorang ketua OSIS, aku mendengar banyak siswi yang hampir setiap hari memperbincangkan tentang lelaki itu, namun aku belum tahu bagaimana rupa dari ketua OSIS bernama Arsen.
Menurut kabar yang beredar, Arsen merupakan seorang lelaki tinggi yang memiliki wajah bak seorang artis. Awalnya saat mendengar itu, aku sama sekali tak ingin mempercayainya. Kalau memang Arsen setampan itu, kenapa dia tidak ikut audisi untuk menjadi seorang idol? Aku terus denial, berusaha sebisa mungkin untuk berpikir kalau sosok Arsen tidak setampan yang dibicarakan oleh para siswi itu.
Sampai pada suatu kesempatan, aku bertemu langsung dengan lelaki bernama Arsen itu. Melihat sosok Arsen untuk pertama kalinya membuatku langsung terpukau sampai tak bisa mengalihkan pandangan dari wajahnya. Arsen begitu tampan bukan seperti artis melainkan pangeran berkuda putih. Sialnya, saat aku bertemu dengan Arsen, kedua tangan ini masih memegang sebatang rokok yang menyala. Iya, Arsen mendapati diriku tengah merokok sendirian di atas rooftop ini.
Jangan terkejut seperti itu! Aku memang memiliki kebiasaan merokok sejak duduk di bangku kelas tiga SMP. Kebiasaan buruk ini bermula setelah ibuku meninggal. Kepergian ibu benar-benar berhasil membuat kehidupanku berubah seratus delapan puluh derajat. Aku yang teramat terpukul karena kehilangan sosok ibu, memilih jalan salah. Seakan sudah berniat untuk menghancurkan hidupku sendiri, aku ikut bergabung bersama geng anak-anak nakal. Dari sana aku mulai belajar merokok serta menjadi seorang preman yang suka merundung, tak luput juga aku suka merampas uang saku dari adik kelas.
Karena kelakuanku yang begitu sembarangan untuk dikalangan anak SMP yang masih berumur lima belasan, aku sering dipanggil oleh guru BK dan mungkin diantara semua murid yang ada di kelas, poin pelanggaranku mungkin paling banyak.
Kenakalanku memang masih banyak lagi saat di bangku SMP, bahkan aku sempat hampir dikeluarkan, namun karena kekuasaan yang dimiliki aku masih diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sampai lulus. Meskipun sudah mendapatkan banyak hukuman dan teguran saat di bangku SMP, aku tetap melakukan kelakuan yang sama saat menginjakan kaki di bangku SMA. Rasanya begitu sulit untuk mengubah diriku menjadi seperti dulu, terutama sangat susah melepaskan kebiasaan merokok yang sudah terlalu membuat candu.
Aku tahu kalau lelaki yang datang ke rooftop itu adalah Arsen karena di seragamnya memiliki name tag. Aku bisa membaca dengan jelas nama 'Arsenio Pradana' terukir rapi pada sisi kiri baju seragamnya.
Arsen memang memergoki ku merokok dan membolos dari pelajaran, tapi anehnya lelaki itu malah membantuku. Pasti kalian berpikir kalau dia dengan cepat menyingkirkan sebatang rokok dari tanganku lalu menyembunyikannya agar guru BK yang memang ikut melakukan sidak tidak tahu. Kalau berpikir seperti itu, aku akan bilang itu salah besar. Maksudnya, Arsen membantuku untuk mempermudah menjemput hukuman dari guru BK. Inilah alasan kenapa aku bisa menyukainya, tapi di satu sisi juga membencinya.
Arsen yang terlihat begitu cuek dengan mudahnya menyerahkan ku kepada guru BK yang sudah memberikan tatapan tajam ke arahku. Bahkan Arsen juga memberikan bukti berupa sebatang rokok yang masih menyala kepada guru BK itu. Bagaimana aku bisa membuat alasan untuk membela diri, jika bukti sudah diserahkan? Apa aku bisa bebas? Tentu saja tidak.
Karena peraturan di sekolah ini sudah tertulis dengan jelas melarang muridnya untuk merokok, aku harus menerima poin pelanggaran serta hukuman fisik yang diberikan oleh guru BK. Membersihkan taman sekolah, hukuman paling tepat yang sudah menunggu diriku.
Disini aku sama sekali tak memiliki pilihan apapun. Mau menolak juga tak mungkin bisa, jadi mau tidak mau menerima dengan ikhlas dan lapang dada adalah pilihan terbaik yang bisa kuambil.
Boleh ku beritahu sesuatu? Sebenarnya aku sama sekali tidak masalah untuk dihukum atas kesalahan yang telah ku perbuat, namun aku sangat bermasalah ketika sekolah melaporkan tindakan ku kepada ayah. Aku lebih takut akan hukuman yang diberikan oleh ayah. Kenapa? Karena beliau selalu menghukum dengan melukai perasaan. Perkataannya yang begitu tajam selalu berhasil menorehkan sebuah luka di dalam hati.
"Ikut ke ruangan saya!" Perintah guru BK dengan singkat, padat dan jelas.
Kalau dibandingkan dengan masa SMP, kenakalanku yang sekarang tidak terlalu merugikan orang lain. Aku hanya merokok dan suka membolos pada mata pelajaran yang sedang tak ingin untuk ku ikuti saja. Untuk menjadi perundung atau preman yang suka meminta uang kepada adik kelas, aku sudah tak melakukannya.
Karena guru BK sudah memintaku untuk ikut ke ruangannya, aku pun menuruti itu dengan mudah, namun sebelumnya aku mengulur sedikit waktu hanya supaya bisa mengobrol dengan Arsen. Iya, ada hal penting yang ingin ku sampaikan pada lelaki tampan itu.
Kalau diingat-ingat, momen itu adalah pertama kalinya juga bagiku menyatakan perasaan kepada Arsen. Bukankah ini begitu lucu? Kenapa aku bisa menjadi seseorang yang seberani itu? Baru melihat lalu langsung jatuh suka dan setelahnya menyatakan perasaan. Aku melakukan itu, karena tak ingin melihat Arsen berpacaran dengan gadis lain. Jadi, daripada aku keduluan akan lebih baik untuk menyatakan perasaan lebih dahulu.
"Lo mau gak jadi pacar gue?" Tanyaku yang hanya mendapatkan sebuah tatapan datar dari lelaki itu.
Ini memang terkesan begitu cepat dan merupakan hal wajar kalau pengakuan suka ini langsung ditolak olehnya. Tolakan pertama yang mampu membuatku termotivasi untuk terus mengejar lelaki itu. Aku memang seperti ini, jika ditolak malah makin penasaran. Bukan tipe gadis yang mudah menyerah.
"Enggak!" Tolaknya tegas.
"Kenapa? Emangnya lo gak mau pacaran sama cewek cantik? Jarang-jarang gue nembak cowok," ucapku yang sudah mengesampingkan tentang rasa gengsi.
"Gue cuma gak suka sama cewek yang sukanya melanggar peraturan," kata Arsen yang berhasil membuatku tertawa kecil.
"Emangnya lo gak pernah sekalipun gitu melanggar peraturan? Pasti akan ada saat yang memaksa lo buat melanggar peraturan itu," ujar ku sedikit menelisik.
"Disini gue menjabat sebagai ketua OSIS dan sudah sepatutnya gue memberikan contoh yang benar," katanya dengan tegas.
Aku menghela napas berat, tak menyangka jika orang yang berhasil membuatku jatuh suka pada pandangan pertama bisa bersikap begitu idealis dan kaku seperti ini. Dia terlalu menuruti peraturan dan mungkin hidupnya juga terlalu flat.
"Jadi, kalau gue berubah jadi lebih baik dan mau mengikuti peraturan, lo mau jadi pacar gue?" Tanyaku yang kedengaran seperti sedang membuat perjanjian.
"Kalau mau berubah, jangan karena gue! Tapi, buat kebaikan lo sendiri," ungkap Arsen mengakhiri pembicaraan ini.
Setelah aku yang terburu-buru mengungkapkan tentang perasaan suka, Arsen secara terang-terangan terlihat terus saja berusaha menghindari ku. Lelaki itu tampak enggan berada dalam satu tempat yang sama denganku. Sikapnya kepadaku begitu acuh, tapi tetap saja aku berusaha untuk mendekatinya. Sampai hari ini pun aku terus mencoba menarik perhatian dan hati milik Arsen yang seperti batu itu.
...•••...
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan seorang Arsen hari ini. Lelaki itu terlihat jauh lebih peduli kepadaku dibanding dengan hari-hari kemarin. Kenapa? Apakah dia sudah menaruh rasa kepadaku? Eh, jangan terlalu percaya diri seperti itu! Selalu ingat kata-kata Arsen tadi pagi. Dia peduli bukan karena menaruh rasa, tapi hanya untuk rasa kemanusiaan saja.
Bel pulang sekolah pun berbunyi, aku merasa begitu senang akhirnya pelajaran di sekolah telah usai dan akan dilanjut esok hari. Pak Ridwan — Guru IPA, yang mengajar pada jam terakhir pun menutup kelasnya dengan sebuah tugas. Aku yang mendengarkannya memberitahu tugas yang terkesan sedikit rumit pun langsung menghela napas berat. Kenapa semua guru hari ini sangat suka memberikan tugas secara bersamaan? Tidak bisakah mereka memberikan sedikit kelonggaran pada muridnya? Setidaknya satu hari bebas yang mengizinkan muridnya untuk bersenang-senang tanpa adanya sebuah tugas. Perlu diketahui, terkadang di hari Minggu pun, aku harus mengerjakan tugas.
Karena sudah terlalu muak, aku memilih untuk tidak terlalu menghiraukan ucapan mengenai tugas dari Pak Ridwan. Biarlah saja, nanti juga di grup kelas akan ada ketua kelas baik hati yang akan memberikan pemberitahuan ulang. Pak Ridwan masih terus menjelaskan mengenai tugasnya dan aku kini telah sibuk menyalakan lagi ponsel yang sedari tadi sengaja ku matikan.
Baru saja ponsel milikku menyala, aku begitu terkejut saat melihat banyaknya notifikasi masuk dari ayah. Aku yakin alasan ayah menelepon hanya karena ingin menyalahkan ku atas semua yang terjadi. Tanpa membaca pesan spam yang juga dikirimkan olehnya, aku sudah tahu kalau Tuan Jordi — ayahanda dari Riska, memutuskan untuk membatalkan kerjasama. Aku sudah delapan belas tahun hidup bersama ayah dan sangat tahu persis bagaimana sifatnya itu. Bisnis dan perusahaan adalah hal paling penting baginya. Bisnis nomer satu, Fiona nomer dua dan anak? Mungkin tidak akan pernah ada pada prioritasnya.
Setelah selesai menjelaskan mengenai tugasnya, Pak Ridwan pun mulai melangkah keluar dari kelas. Tak lama kemudian, kepergian Pak Ridwan langsung disusul oleh muridnya termasuk aku yang sudah bersiap untuk pulang ke rumah.
Dengan menggunakan penyumbat telinga yang sudah memperdengarkan sebuah nada sambung panggilan, aku melangkah keluar dari ruang kelas secara perlahan-lahan. Kenapa ayah tidak menjawab panggilan telepon dariku ini? Bukankah sedari tadi dia terus memberikan panggilan serta pesan spam ke ponselku? Aku sengaja menghubungi ayah kembali hanya karena tidak ingin mendengarkan sebuah omelan saat nanti aku tiba di rumah.
Panggilan terus aku berikan, namun sampai saat ini masih belum mendapatkan jawaban apapun. Apa ayah sedang sengaja mengabaikan panggilanku ini? Bukankah semua pesan yang dikirimkan berisi amukan? Biasanya jika suasana hatinya sedang buruk, dia akan dengan cepat menjawab panggilan dariku.
Akhirnya, setelah cukup lama dibuat menunggu, panggilanku ini mendapatkan sebuah jawaban. Ayahku menerima panggilan telepon dariku. Aku ragu memulai pembicaraan, jadi kubiarkan saja dia untuk berbicara terlebih dahulu. Jika ingin memarahi atau memakiku, silahkan saja. Aku hanya akan mendengarkan tanpa pernah memasukkannya dalam hati.
"Cepat pulang! Ayah akan menunggumu di rumah," katanya yang berhasil membuat bulu kuduk ku berdiri semua.
Panggilan ini terlalu singkat. Hanya satu kalimat yang berhasil aku dengar sebelum ayah mengakhiri panggilan secara sepihak. Kalau sudah seperti ini, aku sangat yakin rumah tidak akan menjadi tempat ternyaman dan teraman bagiku untuk bernaung. Mungkin, besok pagi aku harus menahan rasa sakit dan datang ke sekolah dalam kondisi lebam. Guru BK juga pasti akan menuduhku terlibat perkelahian. Ini bukan perkiraan, aku pasti bakal habis ditangan ayah. Orang yang seharusnya melindungi, malah memilih untuk menyakiti.
"Apakah aku harus pulang atau tidak?" Gumam ku seorang diri sembari melepaskan penyumbat telinga.
Ayah sudah begitu marah, maka dari itu ku putuskan untuk tak pulang terlebih dahulu. Daripada pergi ke arah halte bus, aku malah mampir terlebih dahulu ke sebuah warung kopi yang ada di pinggir jalan dekat dengan gedung sekolahku. Ini adalah warung kopi langganan ku, tempat dimana aku bisa bertindak semaunya tanpa harus memikirkan hukuman dari guru BK.
Sesampainya di warung kopi itu, aku langsung memberikan sebuah sapaan hangat kepada ibu Retno — pemilik dari warung kopi ini. Karena sudah terlalu sering menghabiskan waktu di sini, aku jadi begitu dekat dan akrab dengan ibu Retno.
"Mau pesan seperti biasa?" Tanya ibu Retno yang dengan cepat mendapatkan sebuah anggukan dariku.
Sejak awal datang ke warung kopi ini, pesanan ku selalu sama. Jadi, tak heran kalau Ibu Retno sangat tahu dan langsung membuatkan mie goreng instan dengan telor mata sapi setengah matang untukku. Aku selalu memesan itu karena rasanya cukup enak dan bisa dibuat mengganjal perut yang lapar.
Sembari menunggu mie goreng yang ku pesan siap, aku tak segan untuk mengeluarkan sebatang rokok dari dalam saku rok sekolah yang tengah ku kenakan. Dengan santai, aku mulai membakar rokok itu dengan korek api yang disediakan pada setiap meja dari warung kopi ini. Ibu Retno yang melihatku merokok pun seketika menggelengkan kepalanya.
"Kamu ini, cantik-cantik kok merokok," sindir ibu Retno yang mampu membuatku tertawa kecil.
"Sudah kebiasaan. Agak susah kalau mau dihilangkan," balasku dengan santai.
Aku terus saja menghisap rokok itu tanpa ada tanda-tanda akan berhenti. Aku sudah terlalu kecanduan nikotin, jadi sedikit susah untuk berhenti.
Sampai pada akhirnya, ditengah keasyikan ku menghisap rokok, seseorang lelaki yang memang ku kenal secara tiba-tiba mengambil paksa sebatang rokok yang masih menyala, langsung dari tanganku. Tanpa ada sebuah izin, lelaki itu pun membuang rokok milikku lalu mematikannya dengan cara diinjak.
"Gak baik buat kesehatan paru-paru. Jangan keseringan menghirup asap rokok!" Kata lelaki itu memperingati diriku.
Bukannya menanggapi, aku malah memberikan sebuah tatapan tajam ke lelaki bernama Arsen itu. Kenapa seharian ini, dia selalu berhasil terlihat olehku? Arsen sedang tidak memata-matai diriku kan? Bagaimana juga dia bisa tahu kalau aku sedang berada di warung kopi ini?
"Kok bisa disini? Mau ngapain?" Tanyaku menelisik mencoba mencari tahu.
Arsen yang sudah mengambil tempat duduk persis disebelah ku pun tak pakai lama langsung memesan mie rebus spesial dengan sebutir telur yang dimasak secara matang. Jujur, sekarang aku masih merasa begitu kaget. Seorang Arsen juga makan ditempat seperti ini? Tumben sekali. Aku sangat jarang melihatnya memakan makanan yang banyak mengandung zat adiktif ini.
"Lo gak lagi salah tempat kan?" Tanyaku terlihat cukup bingung.
"Enggak," jawab Arsen singkat sambil menatapku dengan mata indahnya itu. Sebuah mata yang selalu berhasil membuat jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya.
Aku mengangguk canggung lalu bergegas meminta kepada Ibu Retno agar bisa lebih cepat menyiapkan makanan yang ku pesan. Rasanya kini, aku tak bisa lebih lama berada di warung kopi ini. Jantungku berdebar cukup kuat, seperti ingin meledak karena merasa begitu gugup. Bagaimana tidak? Karena kondisi warung kopi yang sepi, jadinya hanya ada kami berdua sebagai pelanggan. Apalagi ditambah dengan posisi duduk antar kami yang memiliki jarak begitu dekat.
"Arsen?" Aku mencoba memberanikan diri untuk memanggil nama dari lelaki yang mampu membuat jantungku berdebar tidak karuan seperti ini.
"Kenapa?" Jawabnya singkat, tanpa menatap ke arahku.
"Seharian ini lo kenapa sih?" Tanyaku membutuhkan sebuah jawaban.
"Gue baik-baik aja."
"Maksudnya, kenapa lo bisa terus ada di dekat gue?" Tanyaku lagi, namun kali ini lebih jelas.
"Hanya kebetulan aja."
"Serius? Tapi kok, bisa berulang kali?" Aku sedikit curiga.
"Jadi, lo nuduh kalau gue nguntit?"
"Bukan gue yang ngomong. Lo sendiri yang menyimpulkan seperti itu."
Arsen terdiam sejenak. Ibu Retno yang sudah selesai membuatkan makanan pesanan kami pun mulai menyajikannya di atas meja. Aroma wangi yang dikeluarkan oleh mie instan ini benar-benar menggugah selera. Daripada mendengarkan jawaban Arsen, aku lebih tidak sabar untuk menyantap mie goreng instan ini.
"Sudah jangan berantem! Lebih baik sekarang kalian makan," suruh Ibu Retno sembari tersenyum usil.
"Terima kasih ya, Bu," ucap Arsen dengan sopan.
Setelah berdoa singkat, aku pun menyentuh sendok dan garpu yang tersedia. Tak mau lebih lama lagi, aku mulai memasukkan satu suapan besar mie goreng instan itu. Sesuai dengan aromanya, rasa dari mie goreng instan memang yang terbaik. Sudah enak, harganya juga sangat ramah dikantong. Cocok disantap saat akhir bulan datang menyapa.
Disaat aku tengah menikmati mie goreng instan ini, secara mendadak Arsen yang masih ada di sebelahku mengeluarkan sebuah kotak berhiaskan pita gold. Dia menaruhnya di atas meja dari warung kopi ini persis di depan mataku. Aku tidak tahu apa isi dari kotak yang sudah berhasil membuatku penasaran. Apa dia sedang memberikan hadiah untukku?
"Ini kotak apa?" Tanyaku sembari terus menyuapkan mie ke dalam mulut.
"Buat lo," ujar Arsen yang mampu membuatku tersedak. Aku tidak salah dengarkan?
Tanpa bertanya mengenai isinya, aku pun bergegas untuk membuka kotak hadiah itu. Saat dibuka, aku mendapati sebuah jam weker berwarna soft. Rasa penasaran kini berganti dengan banyaknya pertanyaan yang muncul di kepala.
"Kenapa ngasih jam weker?" Tanyaku sambil menatap ke arah lelaki yang sedang menyantap mie instan kuah nya itu.
"Biar lo bisa tahu waktu," jawab Arsen santai.
"Maksudnya?"
"Gue bosen, ngelihat lo hampir tiap hari telat dan dihukum sama guru BK," perkataan Arsen yang seperti inilah selalu berhasil membuatku salah tingkah. Seakan ada orang yang tengah mempedulikan ku.
"Kenapa?" Tanyaku lagi.
"Kenapa, apanya?"
"Kenapa lo peduli? Masih atas dasar kemanusiaan?"
"Kan tadi udah dibilang. Gue bosen lihat lo terlambat setiap hari," kata Arsen memberikan sebuah penegasan.
Aku tertawa kecil lalu mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu. Jam weker akan menjadi sebuah hadiah terindah dan paling spesial yang ku terima. Sekarang, aku sudah memiliki jam weker jadi, tidak perlu mengandalkan alarm yang ada pada ponsel. Jam weker itu pasti akan aku gunakan bukan hanya menjadi sebuah pajangan.
"Bu?" Panggil Arsen yang sudah berdiri dari tempatnya dan terlihat siap membayar untuk makanannya.
"Kenapa ganteng? Mau tambah lagi?" Tanya Ibu Retno berusaha untuk bersikap akrab kepada lelaki bernama Arsen itu.
"Mau bayar, Bu."
"Loh, sudah selesai?" Tanya Ibu Retno sembari melirik ke arah mangkok mie instan kuah yang ternyata masih bersisa.
"Itu kenapa tidak dihabiskan? Apa mie instan buatan ibu tidak enak?" Sambung si pemilik dari warung kopi ini.
Untuk sekilas, aku bisa melihat sebuah senyuman bulan sabit yang terbentuk pada bibir dari lelaki bernama Arsen itu. Apa si kaku itu juga masih tahu caranya untuk tersenyum kepada orang lain?
"Rasanya enak, tapi sayangnya perutku sudah terasa kenyang," ucap Arsen memberikan alasan.
"Bukannya kenyang. Dia memang tak terlalu banyak memakan makanan yang mengandung zat adiktif," sahutku hanya dengan maksud menggoda Arsen.
"Berapa, Bu? Bisa langsung aku bayar?" Tanya Arsen terlihat tengah terburu-buru.
"Delapan ribu. Mie kuah, lima ribu; air mineralnya tiga ribu," ucap ibu Retno memberitahu total harga yang harus dibayar oleh Arsen.
Arsen pun mengeluarkan selembar uang kertas berwarna hijau dari dalam dompetnya, lalu memberikan itu kepada ibu Retno.
"Kembaliannya ganteng."
"Gak usah. Sekalian bayar buat Naira," tukas lelaki itu.
Tanpa mengatakan lebih banyak lagi, Arsen pun melangkah pergi dari warung kopi ini meninggalkan diriku yang masih terus tersenyum. Melihat apa yang dilakukan oleh Arsen membuatku menjadi yakin kalau lelaki itu memang peduli bukan hanya atas dasar kemanusiaan saja. Apa secara pelan-pelan, dia mulai menyukaiku?
"Lumayan, ibu dapet uang tip dua ribu dari pacar kamu," ucap Ibu Retno yang berhasil membuat senyumanku makin mengembang lebar.
"Dia bukan pacar aku," kataku menegaskan.
"Kamu jangan bercanda!" Ibu Retno terlihat cukup terkejut.
"Aku gak bercanda, Bu. Dia memang belum jadi pacar."
"Lalu? Kenapa dia bisa peduli seperti itu? Orang awam yang tidak tahu, pasti akan menganggap kalau kalian berdua berpacaran," kata Ibu Retno yang terdengar ada benarnya.
"Katanya hanya untuk kemanusiaan saja," Mendengar perkataan ku yang seperti itu, berhasil membuat ibu Retno memasang wajah julid.
"Anak jaman sekarang rasa gengsinya terlalu tinggi," sindir ibu Retno yang hanya ku tanggapi dengan sebuah tawa.
Akun media sosial author
Instagram : just.human___
.
.
.
Catatan kecil :
- jangan lupa untuk memberikan like, komentar dan vote. Jadikan cerita ini sebagai favorit supaya tidak ketinggalan akan kelanjutannya.
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments