...Dilarang memberikan spoiler dalam bentuk apapun pada kolom komentar....
.......
.......
.......
Bukan karena ingin bersikap seperti seorang pahlawan, aku hanya merasa kurang nyaman ketika melihat seseorang yang tengah dirundung tanpa adanya sebuah perlawanan. Aku tahu persis jika memilih untuk membantu pasti masalah juga akan datang menghampiri, tapi mau bagaimana lagi? Aku tidak mungkin menutup sebelah mata dan membiarkan pelaku perundungan itu melakukan hal yang tidak seharusnya.
Dalam diriku tak ada lagi yang namanya penyesalan setelah membantu gadis bernama Ella yang ternyata merupakan keponakan dari guru BK, ya meskipun tetap harus mendapatkan hukuman dengan berdiri ditengah panasnya sinar matahari sambil memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Hukuman wajib yang selalu aku dapatkan ketika terlambat masuk sekolah.
Tak tahu kapan hukuman yang sedang aku jalani ini berakhir, aku yang masih ada di tengah lapangan ini sesekali melihat ke arah ruangan BK dengan harapan kalau Bu Widya mau menyudahi hukuman yang berhasil membuat keringatku banjir membasahi seluruh wajah.
Disaat aku masih setia menjalankan hukuman yang diberikan oleh guru BK, secara tiba-tiba lelaki bernama Arsen itu kembali menemui ku sambil membawa sekotak P3K. Melihatnya datang seperti ini berhasil membuatku sedikit terheran. Dia sedang tidak mencoba untuk peduli kepadaku kan?
"Mau ngapain?" Tanyaku sambil menatapnya bingung.
Arsen hanya sekilas menatapku lalu tanpa adanya sebuah permisi, lelaki itu dengan berani membawaku ke pinggiran lapangan. Apa yang mau dilakukannya? Tidakkah dia tahu kalau melakukan hal seperti ini bisa-bisa akan menambah hukuman yang sedang kujalani?
"Lo mau ngapain?" Tanyaku sambil menepis tangan besar milik Arsen yang saat ini masih menggenggam kuat pergelangan tangan mungil milikku.
Bukannya menjawab, Arsen malah memaksaku untuk duduk di kursi taman persis berada pada bawah pohon rindang — tempat ternyaman agar bisa menghindari sinar matahari.
"Gue bakal nyalahin lo, kalau hukuman gue ditambah sama Bu Widya," ancam ku, namun sama sekali tidak digubris oleh ketua OSIS bernama Arsen itu.
Arsen membuka kotak P3K yang dibawanya lalu dengan segera mengambil kapas yang sudah dibasahi oleh cairan infus. Tanpa adanya keraguan, Arsen langsung membersihkan luka yang ada di sudut bibirku. Kalau bukan karena Arsen yang melakukan ini, mungkin aku sendiri sudah lupa dengan luka yang ternyata juga terasa sakit.
"Kalau gak diobati takutnya bisa infeksi," kata Arsen sembari membersihkan luka robek pada sudut bibirku dengan hati-hati.
Apa sekarang Arsen sedang mengkhawatirkan lukaku? Tapi kenapa? Bukankah selama ini dia selalu bersikap tak peduli kepadaku? Bahkan aku sampai merasa kalau dia memang enggan meski hanya untuk berbicara sebentar denganku.
"Ini hanya luka kecil," kataku dengan kedua mata yang terus menatap ke arah ketua OSIS tampan itu.
"Meskipun kecil, tapi tetap perlu diobati," ucap Arsen yang kini sudah mulai mengoleskan salep untuk luka di sudut bibirku.
Aku terus menatapnya dengan bingung. Apa benar ini Arsen yang selalu saja mencoba untuk menjaga jarak dariku? Merasa aneh sangat wajar bagiku karena memang setiap bertemu, Arsen selalu saja memasang wajah jutek. Ia bahkan tak akan menatapku lebih dari satu menit.
"Kenapa menatapku terus?" Tanyanya yang langsung membuatku melihat ke arah lainnya.
"Hanya merasa heran sekaligus bingung," ucapku jujur.
"Jangan salah paham! Gue peduli karena hanya untuk kemanusiaan saja, gak lebih dari itu," tukasnya yang kini sudah selesai mengobati luka milikku.
Aku tak peduli dengan apapun alasan yang terlontar dari mulut Arsen, intinya sekarang orang yang dikira tidak peduli ternyata bisa lebih merasa khawatir dari siapapun. Jangan ditanya bagaimana perasaanku saat ini! Tentu saja, sangat senang karena masih ada orang yang merasa cemas dan peduli terhadap kondisiku.
"Arsen?!" Panggilku kepada lelaki tampan yang sudah ingin bergegas pergi meninggalkan lapangan ini.
Namanya juga Arsen, tidak heran jika dia hanya menoleh tanpa memberikan sebuah sahutan apapun. Sikap dingin seperti inilah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para kaum hawa. Sangat amat wajar kalau Arsen begitu dikejar-kejar oleh banyak gadis, termasuk aku.
Aku beranjak dari kursi taman itu lalu berdiri persis menyamakan posisi di depan lelaki yang memiliki perbedaan tinggi sekitar 20 cm dariku. Sedikit ku angkat wajah ini agar bisa melihat dengan jelas sosok Arsen yang kini tengah memasang ekspresi datar.
"Lo mau jadi pacar gue?" Tanyaku bukan untuk yang pertama kalinya.
Seakan sudah terbiasa dengan ajakan seperti ini, Arsen tetap memasang ekspresi wajah yang sama. Dia sama sekali tak terkejut ataupun tersentak. Dia bersikap biasa saja bahkan lebih ke arah tenang.
"Enggak!" Tolaknya dengan tegas.
Aku tersenyum hambar. Tak perlu terkejut, karena ini bukan pertama kalinya bagiku ditolak olehnya. Terkesan sedikit memalukan, namun pasti setiap ada kesempatan aku akan mengajaknya untuk berpacaran. Sosok seperti Arsen termasuk tipe idealku. Aku menyukainya sekaligus membencinya.
Tanpa memberikan respon apapun kepada lelaki itu, aku pun melenggang pergi melewatinya untuk kembali pada posisi. Hukumanku masih berjalan karena guru BK belum memberikan tanda-tanda untuk menyuruhku berhenti. Jujur, berdiri di tengah lapangan saat matahari bersinar cukup terik, teramat melelahkan.
Sudah begitu lama aku berdiri pada posisi yang sama, sampai akhirnya bel tanda istirahat berbunyi. Aku yang tadinya bersabar menunggu guru BK menyudahi hukuman ini pun memutuskan untuk segera berhenti. Kalau dipaksakan lebih lama lagi, tubuh ini mungkin sudah tak akan bisa lagi berdiri tegak.
Untuk mengembalikan seluruh energi yang sudah terbuang, aku dengan sengaja berbaring pada tanah lapang yang keras sambil memejamkan mata dan sesekali menghela napas lelah. Meski hanya berdiri, namun berhasil menguras energi yang ada di dalam diri ini.
Ketika aku masih dalam posisi nyaman, berbaring pada tanah lapang, secara tiba-tiba ada seseorang yang menyodorkan sebotol air mineral dingin kepadaku. Jangan bilang kalau yang melakukan itu adalah Arsen!
Masih dalam posisi kedua mata masi tertutup, aku tertawa girang karena mengira kalau orang yang menyodorkan air mineral dingin tak lain dan bukan adalah Arsen.
"Kenapa? Apa lo kembali untuk menerima ajakan berpacaran dari gue?" Tanyaku dengan penuh percaya diri.
"M-maaf, kak...," Aku terkejut ketika mendengar suara perempuan bukan laki-laki.
Karena memiliki perasaan yang tidak enak, aku pun bergegas untuk membuka kedua mata ini dan seketika langsung tersentak kaget saat mengetahui kalau bukan Arsen yang memberikanku sebotol air mineral dingin, melainkan Ella — keponakan dari Bu Widya yang tadi sempat ku tolong. Malu, benar-benar sudah menyapa diri ini.
"Eh, gue kira siapa," kataku yang langsung bangkit dari posisi nyaman.
"Minum dulu, kak," suruh Ella yang dengan senang hati ku turuti.
Aku menerima sebotol air mineral dingin pemberian dari gadis bernama Ella itu lalu tak sungkan untuk meminumnya sampai setengah. Tahu aja kalau setelah dihukum, aku pasti merasakan haus.
"Makasih ya," kataku setelah selesai menyesap air mineral pemberian dari Ella.
Bagaimana bisa aku menghadapi Ella dalam suasana yang memalukan seperti ini? Rasanya ingin sekali untukku segera pergi dan bersembunyi. Ella tidak sedang bergumam mengenai sikap konyol ku yang mengira kalau dia adalah Arsen kan?
"Kenapa El? Kenapa lo datang kemari? Apa ada yang ingin lo bicarakan?" Tanyaku berusaha untuk mengontrol rasa malu yang memang sudah sedari tadi ada dalam diri.
"A-aku cuma mau bilang makasih sama Kak Naira," katanya memberitahu maksud dan tujuan menemui ku.
"Makasih buat apa?"
"Karena tadi Kak Naira udah mau tolongin aku."
Aku tersenyum kecil sembari menepuk beberapa kali bahu milik Ella. Apa yang aku lakukan tadi untuknya itu bukan sesuatu hal besar yang harus mendapatkan sebuah terima kasih. Lagipula aku juga sangat ikhlas memberikan bantuan kepadanya.
"Gue laper, mau ikut makan bareng gak?" Ajak ku tiba-tiba kepada adik kelas bernama Ella itu.
Ella belum menjawab ajakan dariku ini. Kalau aku lihat, sepertinya gadis itu tengah ragu untuk menerima ajakan makan bersama ini. Tentu saja, siapa juga yang mau langsung menerima ajakan dari seseorang yang baru dikenal? Meskipun Ella dan aku ada di satu sekolah sama, sebelum kejadian hari ini diantara kami berdua tak pernah saling bertegur sapa.
Karena memang tujuanku ingin lebih akrab dengan gadis bernama Ella, tanpa ragu aku menggandeng tangan milik gadis itu lalu menariknya secara paksa menuju ke arah kantin yang pastinya sudah ramai. Ella adalah satu-satunya murid sekolah ini yang mau mengajakku berbicara terlebih dahulu. Itulah alasan mengapa aku ingin sekali mengakrabkan diri dengannya. Disaat murid lain memilih takut dan tak mau berbicara denganku, gadis bernama Ella justru datang sendiri menawarkan minuman dingin dan bahkan berterima kasih kepadaku.
...•••...
Kantin tampak begitu ramai dipenuhi oleh para murid yang saat ini sedang menikmati waktu istirahatnya. Aku yang masih bersama dengan Ella pun mencoba untuk mencari tempat kosong yang memang bisa dipergunakan duduk. Kenapa sekarang rasanya sangat sulit menemukan tempat kosong? Padahal sebelumya, aku selalu dengan mudah mendapatkannya. Apa sekolah ini makin banyak memiliki murid?
Seperti apa uang dikatakan oleh pepatah, pasti akan ada jalan menuju Roma. Setelah cukup lama mencari, akhirnya aku bisa menemukan tempat kosong yang bisa dipergunakan oleh kami berdua. Bermaksud untuk menjaga tempat itu agar tetap menjadi milik kami, aku pun tak segan menyuruh Ella menempatinya dan menjaga selagi aku pergi memesan makanan.
"El, mau makan apa?" Tanyaku kepada gadis yang berusia satu tahun lebih muda dariku.
"Aku mau bakso," katanya yang langsung aku turuti.
Karena perut sudah terus memberontak minta diisi, aku pun bergegas untuk menuju ke stand bakso yang ada pada bagian paling pinggir dari kantin ini. Baru mau memesan, secara tak terduga Riska — gadis yang paling populer di sekolah ini menabrak diriku. Kalau hanya menabrak tanpa membuat baju seragamku kotor dengan es coklat, aku pasti akan mengabaikannya.
"Gak punya mata?" Riska menyentak duluan sebelum aku sempat untuk berkata.
Apa dia tidak waras? Bukankah yang seharusnya marah dan berkata seperti itu adalah aku? Disini aku yang menjadi korban atas keteledorannya. Baju seragamku jadi memiliki noda coklat yang mungkin tak akan hilang jika hanya dibasuh dengan air.
"Kenapa yang salam malah lebih nyolot?" Tanyaku yang sudah memasang wajah kesal. Ingin sekali aku memberikan pelajaran kepada gadis bernama Riska itu.
"Hello? Disini yang salah tuh elo...," Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk diriku.
"Lo udah buat minuman gue tumpah dan jadi mubasir. Lo duluan yang nabrak gue," tambahnya seakan tak ingin disalahkan.
Aku memberinya tatapan tajam dan tak lama tangan ini mulai mencengkram dengan kuat kerah seragam milik Riska. Orang-orang seperti Riska memang harus diajarkan cara untuk mengucapkan maaf bukan malah membela diri sendiri.
"Kalau lo ngomong maaf, urusan kita selesai," kataku dengan tegas.
Meskipun sudah ku cengkram kuat kerah baju seragamnya, Riska hanya tertawa kecil seperti sedang mengejekku. Kenapa dia begitu berani?
"Mau sampai kapanpun, gue gak akan meminta maaf. Lo mau mukul gue, silahkan! Tapi, ingat setelahnya lo pasti akan dapat masalah karena bokap gue gak akan tinggal diam," ujarnya yang terdengar seperti sebuah ancaman.
Menurut kabar yang aku dengar dari mulut ke mulut, katanya Riska adalah putri dari seorang pemilik sebuah pusat perbelanjaan. Dia berasal dari keluarga kaya dan mungkin juga memiliki pengaruh cukup besar. Walaupun tahu akan fakta itu, aku sama sekali tak segan untuk berurusan gadis bernama Riska itu.
"Lalu? Lo pikir gue takut?" Aku membalas ancamannya itu dengan berani.
Ucapan ku barusan berhasil menyulut emosi yang ada di dalam diri seorang Riska. Gadis itu sudah dengan berani menepis tangan milikku dari kerah baju seragamnya.
"Jangan harap setelah ini lo bisa lari!" Katanya sambil kembali menyiramkan sisa es coklat, tepat mengenai wajah dan rambutku.
Aku sangat ingin membalasnya. Bisakah aku memukul gadis itu? Sebelum perkelahian ini terjadi, seseorang yang memang sangat suka dengan perdamaian dan selalu hidup sesuai aturan pun muncul. Ia berdiri persis di tengah-tengah antar kami berdua sambil pandangannya menatap ke arahku. Kenapa Arsen selalu ikut campur?
"Minggir!" Usir ku sambil menahan amarah yang sedang bergejolak dalam diri.
"Naira, tenang," pintanya dengan suara yang terdengar begitu lembut menyapa telinga.
Aku menatap mata dari lelaki yang masih berdiri di hadapanku dengan lekat-lekat. Apa ini hanya perasaanku saja? Kenapa aku melihat seakan kedua mata dari Arsen sedang tersenyum? Jujur, saat ini perasaanku jauh lebih tenang dan anehnya amarah yang tadi teramat menggebu dari dalam diri telah menghilang begitu saja.
"Seharusnya lo gak perlu ada disini," kataku yang kemudian memilih melenggang pergi berlalu meninggalkan kantin.
.
.
.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin bagiku untuk terus menggunakan baju seragam yang sudah dipenuhi oleh noda coklat ini. Seharusnya aku mengikuti saran dari almarhum ibuku, yang selalu menyuruh untuk membawa seragam cadangan di dalam tas.
Sebisa mungkin aku mencoba membersihkan noda yang ada di seragam sekolah ini dengan menggunakan air pada wastafel kamar mandi dan sabun cuci tangan. Agar lebih memudahkan untuk membersihkan, aku memutuskan untuk melepaskan sebentar seragam sekolah ini.
Terus ku gosok seragam sekolah yang masih memiliki noda coklat itu, berharap jika sebentar lagi nodanya akan menghilang, namun seperti usaha yang sia-sia tak ada perubahan signifikan pada baju seragamku, malah kini seragam itu makin basah karena terlalu banyak terkena air.
Aku menyerah dan memutuskan untuk membiarkan noda yang memang sudah tak bisa hilang ini. Dalam keadaan baju seragam yang masih basah, aku secara sengaja memakainya kembali. Sedikit terasa tak nyaman, tapi mau bagaimana lagi? Aku juga tidak mungkin keluar dari kamar mandi hanya dengan mengenakan dalaman tanpa seragam.
Baru saja membuka pintu kamar mandi dan bersiap untuk melangkah keluar, dengan tidak terduga aku kembali lagi bertemu Arsen. Lelaki yang sekarang sedang tak ingin aku temui dalam keadaan yang masih berantakan.
"Sedang apa disini?" Tanyaku langsung mencoba mencari tahu mengenai maksud kedatangannya.
Lagi-lagi tanpa memberikan sebuah jawaban apapun, Arsen begitu saja menyodorkan sebuah paper bag kepadaku. Aku bertanya-tanya mengenai isi dari paper bag pemberiannya itu. Arsen sedang tidak memberiku hadiah kan?
"Ini apa?" Tanyaku yang kini sudah menerima paper bag pemberian dari lelaki itu.
"Ganti bajunya, nanti masuk angin," suruh Arsen.
Aku pun melihat isi dari paper bag itu. Rupanya Arsen memberiku satu setelan seragam lengkap dari kemeja sampai dengan rok. Kenapa Arsen begitu peduli seperti ini? Aku sangat ingin tahu alasannya, tapi takut kalau dia hanya bilang: "membantuku atas dasar kemanusiaan saja."
"Berapa yang perlu aku ganti untuk seragam ini?" Tanyaku yang langsung mendapatkan jawaban dari lelaki itu.
"Besok, kembalikan saja ke ruang UKS," katanya singkat dan kemudian berlalu pergi begitu saja meninggalkanku.
...•••...
Pada saat aku berniat kembali masuk ke ruang kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya, ponsel yang sedari tadi berada di saku rok sekolah berdering. Aku mendapatkan panggilan telepon yang sepertinya cukup mendesak. Pasalnya, mau aku abaikan pun panggilan itu tetap berdering.
Dengan cepat, aku merogoh saku rok agar bisa mengambil ponsel itu. Aku cukup terkejut ketika mengetahui kalau ternyata ayah yang menghubungi saat aku masih berada di sekolah. Meskipun enggan, aku tetap menjawab panggilan itu karena tak ingin membuatnya marah.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya dengan nada bicara meninggi.
"Sedang bersekolah," jawabku yang tak terlalu peduli akan amarah dari beliau.
"Kenapa kamu mencari masalah dengan putri dari Tuan Jordi?" Katanya dari balik panggilan yang sama sekali tak bisa aku mengerti.
"Siapa putri Tuan Jordi?" Tanyaku lagi dengan santai.
"Apa kamu baru saja terlibat pertengkaran dengan siswi bernama Riska?"
Saat mendengar nama itu disebut, secara refleks aku langsung melihat ke arah seragam kotor yang sudah ada di dalam paper bag. Menurutku, semua yang terjadi adalah ulah dari Riska. Andai saja gadis itu lebih memilih untuk meminta maaf, mungkin aku akan langsung pergi tanpa melanjutkan apapun.
"Dia yang menabrak ku terlebih dahulu," ungkap ku jujur.
"Hanya menabrak, tapi kamu sudah marah bahkan sampai memukulnya?" Benar sekali, ayah memang selalu seperti ini. Ia lebih memilih apa yang orang lain katakan ketimbang putrinya sendiri.
"Aku tidak memukulnya," kataku membela diri.
"Benarkah? Lalu kenapa dia mengadu kepada Tuan Jordi kalau kamu sudah memukulnya?" Tanya ayahku yang ingin mengetahui kebenaran.
"Dia hanya ingin mengadu domba saja. Aku benar-benar tidak memukulnya," ucapku dengan penuh keyakinan.
"Dengarkan ayah baik-baik! Kamu jangan pernah mencari masalah dengan Riska! Ayah gak mau ya kalau rencana bisnis yang sudah terjalin dengan Tuan Jordi jadi berantakan hanya karena ini," tutur ayahku dari seberang panggilan yang terdengar seperti sedang memperingati.
Saat mendengar penuturan dari ayah, aku langsung memutar mata malas. Mungkin dalam hidupnya, ayah hanya memiliki dua hal penting. Pertama adalah mengenai perusahaan yang selalu dijaga dengan baik sejak dulu, serta yang kedua adalah mengenai Fiona — ibu tiri ku. Selain dua hal penting itu, ayah sudah tak terlalu mempedulikannya.
"Aku gak bisa lebih lama mengobrol. Pelajaran akan segera dimulai, jadi aku harus menutup panggilan ini," kataku meminta izin untuk menyudahi panggilan yang sejak lima menit lalu tersambung.
"Baiklah. Kamu jangan pernah lupakan soal—" aku sengaja langsung mematikan panggilan ini, memotong ucapan ayah yang belum sampai usai itu.
Tak terlalu ingin ambil pusing mengenai ucapan dari ayah, aku pun memilih untuk bergegas masuk kembali kelas dan mengikuti pelajaran selanjutnya. Hari ini aku sudah tertinggal dua mata pelajaran, Matematika dan Bahasa Inggris, jadi tak boleh melewatkan pelajaran lagi.
Baru mau duduk di bangku biasanya, aku kembali tersentak kaget ketika panggilan telepon dari ayah kembali kudapatkan. Kenapa dia meneleponku lagi? Bukankah tadi sudah cukup berbincang? Karena memang kondisi yang sudah tidak memungkinkan bagiku untuk menjawab panggilan itu, sementara aku harus mematikan ponsel. Guru Bahasa Indonesia sudah tiba di kelas dan aku tak mau mendapatkan hukuman lagi hanya karena panggilan telepon dari ayah.
.
.
.
Aku sangat ingin fokus kepada pelajaran yang saat ini sedang disampaikan oleh guru Bahasa Indonesia, namun entah mengapa pikiranku lebih asyik mengingat semua perkataan yang ayah sampaikan pada panggilan telepon tadi. Aku hanya tidak menyangka, jika ayah begitu mementingkan urusan bisnisnya ketimbang putrinya sendiri.
Karena aku sedang begitu terlarut dalam pikiran sendiri, guru Bahasa Indonesia yang sejak tadi terus menerangkan materi pelajaran pun mulai memberikan sebuah teguran kepadaku. Aku ketahuan tidak fokus pada materinya dan melamun.
"Apa yang sedang kamu pikirkan, Naira?" Tanya guru Bahasa Indonesia itu seusai memberikan sebuah gebrakan kecil pada mejaku.
Mendengar itu mampu membuatku mulai tersadar dari lamunan. Aku berhenti memikirkan tentang perkataan ayah dan mencoba fokus kepada ucapan dari guru Bahasa Indonesia. Bukankah sudah ku katakan kalau tak ingin mendapatkan hukuman lagi?
"Maaf, Bu. Saya hanya sedang memikirkan ayah," kataku jujur.
"Memangnya ada apa dengan ayahmu?" Tanya guru Bahasa Indonesia itu seakan ingin tahu.
Meskipun ragu, aku tetap akan memberitahunya. "Ada sedikit problem diantara kami. Perbedaan pendapat."
Guru Bahasa Indonesia itu pun mengangguk mengerti lalu memberikan sebuah saran singkat kepadaku. Sebuah saran baik yang mungkin tak akan aku ikutin. Kenapa? Karena sampai kapanpun dicoba untuk perbaiki, hubunganku dengan ayah tetap akan sama, tanpa adanya jarak yang menipis.
"Kalau kamu melakukan kesalahan terhadapnya, jauh lebih baik bagimu untuk meminta maaf terlebih dahulu. Hubungan antar orang tua dan anak apalagi ayah dengan putrinya tak boleh sampai renggang," ucap guru Bahasa Indonesia itu dengan mudah.
"Saya tak bisa meminta maaf," kataku dengan ragu-ragu.
"Kenapa? Apa rasa gengsi mu itu terlalu besar untuk mengucapkan kata maaf kepada ayah sendiri?"
"Bukan seperti itu, tapi disini bukan saya yang bersalah," ujar ku sesuai dengan kenyataan.
"Tidak peduli siapa yang salah, sebagai seorang anak kamu wajib untuk meminta maaf terlebih dahulu," kata guru Bahasa Indonesia yang mampu membuatku menghela napas berat.
Akun media sosial author
Instagram : just.human___
.
.
.
Catatan kecil :
- jangan lupa untuk memberikan like, komentar dan vote. Jadikan cerita ini sebagai favorit supaya tidak ketinggalan akan kelanjutannya.
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments