...Dilarang memberikan spoiler dalam bentuk apapun pada kolom komentar....
.......
.......
.......
| 10 tahun yang lalu |
Konon katanya, pelangi akan muncul setelah hujan mereda. Apakah itu benar? Kebanyakan orang mempercayai filosofi itu. Mereka selalu berpikir di setiap masalah berat yang dialami, akan selalu memiliki akhir yang indah karena kebahagiaan dibalik hikmah dari permasalahan itu akan muncul. Aku juga ingin berpikir dan mempercayai hal yang sama dengan mereka, namun kenapa rasanya begitu susah? Disaat aku sendiri pun tak memiliki harapan indah untuk menjalani hari esok.
Dimata orang lain, hidupku terlihat begitu sempurna. Tempat tinggal yang nyaman, pelayan yang siap membantu kapan pun dibutuhkan, makanan yang enak dan penuh gizi, uang saku yang cukup untuk membeli semua barang keinginan, aku memiliki segalanya disini dan itu mampu membuat orang lain selalu iri. Mereka sangat mengimpikan kehidupan sempurna yang hampir setiap hari kujalani ini.
Orang lain selalu berkata: "enak ya jadi kamu, bisa mendapatkan apapun yang diinginkan tanpa perlu berusaha dengan keras," dan aku selalu menanggapi semua perkataan itu dengan tawa singkat. Mereka hanya belum tahu kalau ada harga yang harus aku bayar untuk menikmati kehidupan sempurna ini. Mereka hanya melihat dari kulitnya saja, belum sampai ke dalam.
Semua memang bisa kudapatkan dengan mudah karena ayahku berhasil membuat uang bekerjasama dengannya. Jadi, tak heran kalau hampir setiap hari uang selalu masuk ke rekening pribadinya. Kalau ditanya apa pekerjaan ayahku? Tentu saja seorang pebisnis sukses yang berada pada bidang pariwisata. Ayahku itu sudah berhasil mendirikan banyak hotel serta resort.
Ayahku memang kelihatan begitu hebat dan membanggakan, namun anehnya aku tidak merasa seperti itu. Justru, hampir setiap hari aku merasakan kebencian yang selalu bertambah terhadapnya. Kalau sebagai seorang pebisnis dia bisa sukses, maka dia gagal saat menjadi seorang ayah. Memberikan semuanya lewat materi bukan menjadi satu-satunya yang dibutuhkan oleh seorang anak. Selama empat tahun tinggal bersamanya, aku selalu merasa kalau dia hanya berusaha untuk memenuhi tanggung jawab sebagai seorang ayah secara finansial.
Katanya juga, seorang anak perempuan selalu dekat dengan ayahnya. Bahkan sampai menyebut kalau sosok ayah adalah cinta pertama dari anak perempuannya. Kebetulan, aku sama sekali tak merasakan hal seperti itu. Aku memang masih memiliki sosok ayah, tapi anehnya sosoknya itu terkesan seperti sebuah fatamorgana.
Pagi ini, disaat matahari sudah dengan benar menunjukan dirinya, bersinar cerah di langit dari kota ini, aku yang menggenakan seragam putih abu-abu bergegas menuruni anak tangga bermaksud untuk menuju meja makan. Seperti kebiasaan yang selalu diterapkan oleh ibuku, sebelum berangkat ke sekolah atau memulai aktivitas apapun, aku harus mengisi perut terlebih dahulu agar mendapatkan energi. Entah itu hanya meminum segelas susu ataupun memakan roti, setidaknya aku tak pergi dengan perut kosong.
Kedatanganku di meja makan dengan cepat mendapatkan sebuah sambutan hangat dari pelayan yang memang sedang menyiapkan sarapan. Apakah aku datang terlalu pagi? Sepertinya tidak, karena memang waktu sudah menunjukan saat yang tepat untuk sarapan.
"Selamat pagi, nona Naira," sapa dari pelayan itu dan seketika mendapatkan sebuah senyuman hangat dariku.
"Apa yang bibi siapkan hari ini untuk sarapan?" Tanyaku dengan tangan yang sudah mengambil segelas susu dari atas meja makan.
"Sesuai permintaan dari Nyonya Fiona, saya hanya membuat salad sayuran," ucap pelayan itu.
Hanya salad sayuran? Come on, dari banyaknya menu sarapan yang ada kenapa harus salad sayuran? Aku memang suka sayuran, tapi paling tidak suka menyantapnya untuk sarapan. Bukankah lebih enak sarapan dengan roti, sosis atau telur di orak-arik?
"Bi, bisakah membuatkan ku telur orak-arik dan roti panggang? Sepertinya aku lebih butuh itu daripada salad sayuran," kataku meminta kepada pelayan dengan penuh harap.
"Maaf nona. Nyonya Fiona melarang saya untuk melakukan itu. Kata nyonya, hari ini hanya akan ada menu vegetarian di meja makan," ucap pelayan yang berhasil membuatku memutarkan mata malas.
Semenjak ayah memilih untuk menikah dengan artis bernama Fiona itu, semuanya yang ada di rumah ini berubah. Seakan peraturan dan tata cara yang sempat dibuat oleh ibuku menghilang begitu saja. Fiona mengubah semua itu sesuai dengan keinginannya tanpa mempedulikan orang yang ikut tinggal di rumah ini.
"Jadi, bibi gak bisa membuatkan ku telur orak-arik?" Tanyaku hanya ingin memastikan kembali.
Belum sempat menjawab, Fiona — ibu tiri ku, datang secara tiba-tiba bersama dengan ayah yang terlihat sudah begitu rapi menggunakan setelan jas. Aku yang mengetahui kehadiran mereka seketika memasang wajah datar, seakan enggan untuk melihat pasangan suami istri yang sudah menikah sekitar tiga tahun itu. Fiona dan ayah selalu menunjukan sikap romantis satu sama lain dan ini yang selalu membuatku merasa muak.
"Hari ini gak ada telur orak-arik dulu. Kita harus membiasakan pola hidup sehat. Menjadi seorang vegetarian selalu memiliki keuntungan istimewa," kata Fiona yang kini sudah mengambil tempat duduk persis di hadapanku.
Aku tak terlalu mau menanggapinya, karena akan percuma juga. Daripada saling beradu argumen, akan jauh lebih baik kalau aku segera meninggalkan rumah ini. Bergegas berangkat ke sekolah dan menghindari hukuman dari guru BK.
Tanpa mengatakan apapun, aku langsung beranjak dari tempat duduk. Ku tatap tajam ke arah mereka berdua lalu melenggang pergi begitu saja dari meja makan. Aku bahkan tidak berpamitan dengan benar kepada ayahku. Mungkin sikapku yang seperti ini akan membuatnya kesal, tapi bukankah seharusnya ayah sudah bisa terbiasa? Hampir setiap hari, saat mau berangkat sekolah aku selalu tak sempat berpamitan dengannya. Pergi begitu saja tanpa bersua juga menjadi kebiasaan dariku.
Saat aku sudah berjalan membelakangi mereka, ibu tiri ku — Fiona, mulai memanggil-manggil namaku seakan ia tengah berusaha untuk membuatku tetap tinggal di meja makan dan menyantap sarapan bersama. Kenapa Fiona selalu berpura-pura peduli dan baik seperti ini kepadaku? Apa dia masih perlu mencari muka di hadapan ayahku?
Aku memang membenci Fiona, tapi rasa benci itu terlampau lebih besar terhadap sosok Tuan Gio — ayahku. Aku begitu membencinya karena dia satu-satunya orang yang berhasil mendorong ibuku untuk melakukan bunuh diri. Iya, ibu kandungku meninggal karena overdosis obat yang sengaja di konsumsi dengan tujuan untuk mengakhiri hidupnya.
Seperti yang aku lihat, pernikahan antar ayah dan ibu sama sekali tidak berjalan dengan baik. Kalau menurut cerita yang kudengar, ayah dan ibu menikah karena sebuah perjodohan yang bertujuan untuk memperkuat perusahaan. Ayah menikahi ibuku tanpa adanya sebuah cinta, semua murni hanya karena perusahaan, tapi tidak dengan ibuku. Di dalam pernikahan, hanya ibuku yang jatuh cinta kepada ayah.
Kalau memang ayah tidak jatuh cinta kepada ibuku, kenapa aku bisa ada? Aku hadir dalam hidup mereka sebagai sebuah kesalahan. Seandainya malam itu ayah tidak pulang dalam keadaan mabuk, aku mungkin tak akan berada dalam posisi seperti ini.
Ayah selalu sulit memberikan cintanya kepada ibu, tapi dia bisa begitu mencintai wanita bernama Fiona itu. Aku ingat betul, waktu ibu mengalami overdosis dan harus segera dilarikan ke rumah sakit, ayah sama sekali tak ada disisinya. Aku sendiri yang meminta bantuan kepada pelayan untuk menghubungi ambulan. Bahkan sampai ibu menghembuskan napas terakhirnya, ayah juga tak kunjung datang menengok. Ayah sibuk dengan wanita bernama Fiona yang kini sudah menjadi istrinya itu. Tak heran kalau kini aku hanya bisa untuk membencinya.
Meskipun ayah menyiapkan mobil beserta sopir pribadi yang bisa digunakan untuk mengantar ke sekolah, aku lebih memilih untuk berjalan ke halte dan menunggu bus. Buatku akan lebih nyaman mengunakan jasa transportasi umum ketimbang harus diantar dengan mobil pribadi.
Aku merasa lega karena bisa sampai tepat waktu di halte tepat pada saat bus yang menjadi tujuanku tiba. Untung saja tidak terlambat, karena kalau aku melewatkannya bisa-bisa harus menunggu selama tiga puluh menit lagi. Aku tak punya waktu untuk menunggu selama itu.
Seperti pada bus umumnya, karena aku tinggal di kota metropolitan yang memiliki penduduk paling padat, tidak heran kalau aku harus sedikit berdesak-desakan diantara banyaknya penumpang. Jangan harap mendapatkan tempat duduk ketika kondisi bus sedang ramai seperti ini! Bisa naik ke bus saja sudah harus aku syukuri.
Namanya juga transportasi umum, aku sama sekali tidak bisa menebak kapan akan tiba ke sekolah. Pasalnya sudah dua puluh menit berlalu, bus ini belum ada tanda-tanda akan berhenti di halte dekat sekolahku. Apakah hari ini aku akan menemui guru BK lagi? Menjalani hukuman yang selalu aku terima setiap hari karena terlambat?
Aku menoleh kesana kemari dengan gelisah sambil sesekali ku tatap jam yang terpasang jelas pada pada pergelangan tanganku. Tiga puluh menit berlalu begitu saja, akhirnya saat yang aku nantikan datang juga. Bus ini berhenti tepat di depan dari halte yang berada dekat dengan sekolahku. Karena kurang lima menit sebelum Pak Sarto menutup gerbang sekolah serta guru BK muncul untuk memberikan hukuman kepada anak-anak yang terlambat, aku pun bergegas secepat mungkin keluar dari bus ini. Dengan sekuat tenaga aku pun mencoba berlari menuju ke arah gerbang sekolah yang tampak akan segera di tutup itu.
Aku pikir hari ini bisa terbebas dari guru BK, tapi nyatanya tidak seperti itu. Ketika aku mau masuk ke halaman sekolah melewati gerbang yang sudah dijaga oleh Pak Sarto, kedua mata ini melihat sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Dari kejauhan, aku melihat ada seorang yang sedang dirundung oleh beberapa siswi. Itu hampir terlihat seperti sebuah perkelahian antar sesama perempuan. Kenapa disaat seperti ini?
Ahli-ahli mengabaikan apa yang dilihat oleh kedua mata ini, aku lebih memilih untuk mendatangi mereka. Aku hanya merasa tak nyaman ketika melihat ada seseorang yang dirundung seperti itu. Bodoh amat jika harus mendapatkan hukuman dari guru BK. Lagipula aku sudah sangat sering mendapatkannya dan seharusnya sudah bisa terbiasa dengan itu.
Seperti seorang pahlawan kesiangan, aku secara berani menepis tangan dari salah satu pelaku perundungan itu yang berniat untuk memberikan sebuah tamparan kepada gadis yang kini terlihat ketakutan. Tidak tahu dengan isi pikiran sendiri, aku secara terang-terangan memasang badan tepat di depan dari gadis yang akan dirundung itu. Aku melindungi gadis itu semampunya.
"Lo siapa? Kenapa ikut campur?" Tanya salah seorang dari pelaku perundungan itu.
Saat melihat mereka, aku benar-benar merasa bingung dan heran. Bagaimana mungkin sebagai sesama perempuan yang seharusnya saling melindungi satu sama lain, malah jadi seperti ini? Saling merundung dan beradu kekuatan. Siapa yang lemah akan menjadi korban dan yang kuat akan menjadi pelaku.
"Gak perlu tahu gue siapa," kataku dengan tegas menolak untuk memberitahu mereka soal identitas diri.
"Kalian mau ngapain?" Tanyaku sambil menatap tajam ke arah para perundung itu.
"Kami sedang bermain," jawab salah satu dari mereka dengan mudahnya.
"Kalau tidak ingin terlibat dalam masalah lebih baik lo pergi aja!" Usir yang lainnya, namun sama sekali tak ku hiraukan.
Sekarang melihat kondisi dari gadis yang kini tengah bersembunyi di belakang tubuhku, bagaimana bisa aku pergi dan membiarkan gadis itu dirundung oleh mereka?
"Bukannya ingin ikut campur, tapi tahukah kalian kalau perbuatan seperti ini sudah masuk ke dalam pelanggaran berat?" Sekarang aku masih mencoba untuk berbicara baik-baik kepada para pelaku perundungan itu.
"Jangan macem-macem sama gue! Memangnya lo gak tahu siapa gue?" Tanya salah seorang dari mereka yang jika ditebak mungkin merupakan bos dari pelaku perundungan itu.
"Maaf, tapi gue benar-benar gak tahu. Gue yakin kalian bukan murid dari SMA Pelita Bangsa. Seragam kita berbeda," ucapku yang masih bisa tersenyum cukup lebar sembari tangan ini terus menggenggam erat gadis yang sedang sembunyi di belakangku.
"Sebaiknya lo pergi sekarang. Terlibat sama gue itu sama aja dengan lo cari mati," katanya dengan sedikit ancaman, namun anehnya sama sekali tak membuatku bergetar ketakutan.
"Bapaknya seorang badan legislatif," salah seorang dari mereka mulai memberitahu fakta mengejutkan yang mampu membuatku berhenti terheran.
Untuk sebentar aku tersenyum menyeringai. Sama sekali tak heran kalau misalnya mereka bertiga berani melakukan perundungan kepada salah seorang gadis tak bersalah. Pekerjaan dari sang ayah yang merupakan anggota dari badan legislatif membuat mereka bisa bersikap semena-mena. Tak akan takut dihukum karena memang dibelakangnya ada sosok ayah yang pasti akan melindungi menggunakan kekuasaan.
"Kenapa lo tersenyum seperti itu?" Tanya salah seorang dari mereka yang rupanya sudah mulai tersinggung dengan kehadiran diriku.
"Bukan apa-apa," jawabku santai.
Aku tidak tahu apa yang salah, satu orang dari mereka bertiga dengan berani melayangkan sebuah tamparan tepat di pipiku. Tamparan cukup keras, tak salah kalau aku merasakan sedikit sakit.
"Tamparan itu karena lo terlalu ikut campur," ucap seorang yang menamparku dengan berani.
Aku paling membenci keadaan atau suasana dimana ada seseorang yang berani melakukan penyerangan fisik. Ibuku selalu memberikan pesan untuk melindungi diri sendiri. Maka dari itu, ketika masih berusia delapan tahun, ibu memutuskan untuk memasukan ku ke sebuah pelatihan bela diri. Aku akan bersikap baik kepada orang yang memang melakukan hal baik dan akan bersikap kasar ketika ada orang yang berlaku kejam seperti ini.
Karena dia sudah dengan berani menamparku tanpa adanya sebuah sebab yang jelas, aku tanpa permisi pun mulai melemparkan sebuah pukulan kencang persis mengenai pipi sebelah kanan darinya. Perempuan yang berani menamparku itu langsung jatuh ke tanah dengan wajah seperti ingin menangis. Kenapa nyalinya sekarang menciut?
Serasa tidak terima kalau temannya dipukul, salah seorang dari mereka yang berpenampilan tomboi pun tak ragu untuk memberikan pukulan balasan terhadapku. Dia berhasil membuat sudut bibirku robek dan berdarah karena pukulannya itu.
Tidak akan ada akhir baik dari sebuah perkelahian. Ini sungguh menyebalkan, baru mau aku membalas perempuan berpenampilan tomboi itu, salah seorang lelaki yang entah datang darimana mulai melerai. Lelaki tampan bertubuh atletis dengan tinggi sekitar 180 cm itu menghentikan ku. Dia menggenggam tanganku dan berdiri persis menghadap ke arahku. Sebisa mungkin lelaki itu meredam amarah yang mulai muncul dari dalam diri ini.
"Jangan pukul!" Larang lelaki itu dengan pandangan mata yang sudah menatap ke arah ku dengan penuh harap.
Aku kenal lelaki itu. Dia adalah ketua OSIS yang selalu berhasil menjadi primadona di sekolah karena ketampanannya. Memang tidak salah, orang yang memiliki wajah menarik selalu mendapatkan privilege lebih. Disaat para cewek dan semua orang yang ada di sekolah selalu tergila-gila dengan lelaki yang menyandang gelar sebagai ketua OSIS itu, aku lebih memilih untuk tak menyukainya. Tidak ada alasan spesifik kenapa aku membenci ketua OSIS itu, hanya saja selama dia muncul guru BK yang selalu kucoba untuk hindari juga selalu menampakkan dirinya.
Aku menatap tak suka kepada lelaki bernama Arsen yang saat ini masih berdiri tepat di hadapanku, tapi tak lama tatapan ini berubah arah ketika guru BK ikut bergabung di tempat kejadian perkara.
"Kalian ini apa-apaan. Masih pagi bukannya pada masuk malah berantem," kata guru BK dengan nada bicara terdengar marah.
"Mau jadi apa kalian ini kalau setiap hari kerjaannya selalu berantem," guru BK itu terus saja mengomel sampai pada akhirnya diantara aku dan dia saling bertukar pandang.
"Naira lagi, Naira lagi...," Ucap guru BK yang terkesan sudah mulai bosan terhadapku.
"Kalau tidak terlambat, ya berkelahi. Apa kamu tidak bosan hampir setiap hari selalu keluar masuk ruang BK?" Tanya guru BK itu sembari menggelengkan kepalanya singkat.
"Sebenarnya sih, bosan. Tapi, kalau saya tidak datang lagi ke ruang BK nanti ibu kangen," ucapku yang masih bisa bercanda.
"Kamu pikir dengan bercanda seperti ini bisa terhindar dari hukuman? Saya akan tetap menghukum kamu, Naira," ungkap guru BK terdengar cukup tegas.
Aku pasrah. Tak bisa menyangkal lagi karena memang sudah ketahuan seperti ini. Sudahlah, kalau mendapatkan hukuman pun paling-paling hanya disuruh berdiri menghadap bendera di lapangan atau kalau tidak, ya diminta membersihkan toilet. Dua hukuman yang secara bergantian selalu ku alami hampir setiap hari.
"Kenapa Naira masih dihukum, Bu?" Tanya Arsen tiba-tiba dan berhasil membuatku terkejut.
"Karena dia tertangkap sedang berkelahi di dekat lingkungan sekolah," jawab guru BK itu dengan mudah.
"Kalau menurut saya, Naira disini tidak salah dan tak sepatutnya mendapatkan hukuman," ucap Arsen dengan jelas.
Aku kini dibuat begitu terheran dengan ketua OSIS bernama Arsen. Kenapa sekarang dia membantuku? Bukankah selama ini Arsen yang selalu melaporkan sebuah sikap nakal ku kepada guru BK? Sangat aneh kalau Arsen tiba-tiba membelaku dan mengatakan kalau aku tak bersalah dalam hal ini.
"Bagaimana bisa kamu bilang seperti itu? Apa kamu tidak bisa melihat dengan jelas wajah terluka Naira?" Tanya guru BK yang jelas masih menyalahkan ku atas pertengkaran kecil ini.
"Dia terluka hanya karena ingin melindungi gadis yang ada di belakangnya," ucap Arsen sembari menarik tangan dari gadis yang sejak tadi bersembunyi di belakang tubuhku. Arsen membuat gadis itu maju dan menunjukkan dirinya.
"B-bu W-widya...," Gadis itu tergagap saat memanggil nama guru BK.
"Sedang apa kamu ada di sana, Ella?" Tanya guru BK itu tampak terkejut melihat sosok gadis bernama Ella itu.
"Ibu mengenal nya?" Tanyaku ingin tahu.
"Dia keponakan saya," jawab guru BK itu memberitahu.
"Kenapa kamu bisa ada disini? Ella, katakan apa yang terjadi!" Desak guru BK itu, ingin tahu kejadian sebenarnya.
"M-mereka—" cara bicara gadis itu terus saja terputus-putus, bahkan saat menunjuk ke arah tiga pelaku perundungan, jari telunjuknya bergetar. Apa dia masih merasa takut?
"Ada apa Ella? Katakan saja dengan jelas!" Pinta Bu Widya.
"M-mereka bertiga merundung ku. Kak Naira hanya mencoba membantu," kata Ella memberitahu fakta yang sebenarnya.
Mendengarkan pernyataan dari Ella yang seperti itu berhasil membuat guru BK menatapku dengan sinis. Kenapa? Apa dia merasa kecewa karena aku bukan menjadi biang kerok dari perkelahian ini?
"Tetap saja. Meskipun kamu bukan yang memulai perkelahian ini, saya tetap akan memberikan hukuman," kata Bu Widya dengan tegas.
Aku tersenyum hambar dan sama sekali tak terkejut dengan perkataan yang baru saja terlontar dari mulut guru BK itu. Walau tidak sepenuhnya bersalah dalam kejadian perkelahian ini, guru BK tetap akan mencari cara agar aku bisa dihukum. Sepertinya memang kalau sehari saja aku menjadi anak baik, guru BK yang nanti merasa kesepian karena takkan ada pengunjung tetap dari ruangannya.
"Bu Widya mau menghukum saya atas kesalahan apa, ya?" Tanyaku hanya ingin tahu.
"Bukankah kamu terlambat masuk sekolah?" Ternyata sama sekali tidak ada kemurahan hati dari guru BK.
Aku menghela napas berat. Tak terlalu mempermasalahkan tentang hukuman yang akan aku dapatkan dari guru BK itu. Bukankah seharusnya beliau mengucapkan terima kasih karena aku sudah berbuat baik menolong keponakanya?
"Bukan hanya Naira yang akan dihukum. Ella juga akan saya hukum karena terlambat," tutur guru BK tanpa adanya belas kasihan.
"Apa hanya kita berdua yang dihukum? Mereka bertiga tidak?" Protes ku yang juga meminta keadilan.
"Kepala sekolah mereka akan saya panggil. Untuk sementara kalian bertiga akan saya bawa ke ruangan BK," ucap Bu Widya begitu tegas.
"Bu?" Panggilku lagi karena merasa ada yang kurang.
"Ada apa lagi?"
"Arsen gak ikut dihukum juga?" Tanyaku dengan penuh harap bisa membuat lelaki itu mendapatkan hukuman juga.
"Untuk apa Arsen dihukum? Dia tak ikut terlibat dalam perkelahian ini," aku lupa kalau guru BK memang ada di pihak yang sama dengan ketua OSIS itu.
"Bukannya dia juga terlambat?" Tanyaku yang sangat ingin melihat Arsen mendapatkan hukuman juga.
Guru BK menatapku sambil tersenyum lebar. Seakan dia tengah mengejekku. Memangnya aku salah kalau minta Arsen dihukum juga?
"Saat kamu baru bangun, Arsen sudah terlebih dahulu tiba di sekolah," tukas Bu Widya mengakhiri semua ini.
Akun media sosial author
Instagram : just.human___
.
.
.
Catatan kecil :
- jangan lupa untuk memberikan like, komentar dan vote. Jadikan cerita ini sebagai favorit supaya tidak ketinggalan akan kelanjutannya.
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments