Teo pulang tanpa tuan mudanya membuat ibu Hanum, ibu Aditia sedikit cemas. Bagaimana bisa Teo pulang tanpa putranya.
Teo hanya terdiam mendengar ibu bosnya memarahinya. "Bagaimana bisa kamu pulang tanpa membawa Aditia, Teo. Bagaimana?"
"Maafkan saya nyonya. Saya akui, saya salah. Tapi, saya sudah mencari semua tempat. Kupikir tuan muda sudah pulang."
Ibu Hanum melihat Teo dan berkata, "Apa kamu lupa, Teo? Tuan muda-mu itu amnesia. Dan kau juga tahu, bukan? Jika, mental tuan muda-mu juga terganggu. Tahu, kan?"
Teo tertunduk. "Iya, nyonya."
"Oh, Tuhan. Kemana anakku?" Ibu Hanum kembali cemas. Ia hanya bisa meratap.
Alina yang baru pulang dari kampus menemukan ibunya menangis. "Kak, Teo. Ada apa ini?"
"Pagi tadi tuan muda memintaku membawanya ke taman kota. Namun, aku tidak menemukan tuan muda di sana. Jadi, ku-putuskan untuk pulang. Aku tidak tahu, jika ternyata tuan muda belum sampai di rumah. Maafkan saya, nona muda."
Alina ikut kaget mendengar penuturan Sekretaris pribadi kakaknya. Lalu, ia duduk di samping ibunya dan memeluknya. "Ibu, Alina yakin. Kakak akan pulang dan baik-baik saja. Ok."
"Bagaimana kamu yakin, nak? Kamu tahu kakakmu yang sekarang. Keadaannya tidak seperti yang dulu. Bagaimana jika terjadi sesuatu. Ibu tidak akan pernah bisa bayangkan," ucap ibu Hanum dalam tangisnya.
"Ibu menyesal tidak ikut dengannya tadi pagi. Harusnya ibu tidak membiarkannya pergi hanya berdua dengan Teo." Sesal Ibu Hanum.
Alina semakin mengusap punggung ibunya. "Ibu, ibu tidak salah. Aku Yakin, kakak akan baik-baik saja."
Dibalik ucapannya. Alina sangat cemas. Ia juga berfikir sama dengan ibunya. Namun, ia mencoba tenang untuk tidak membuat ibunya tambah khawatir.
"Kak, pulanglah. Kau dimana?" Batin Alina.
Sementara, Aditia terus bercerita seputar masa kecilnya pada Inayah yang sedang mengantarnya.
"Kak Adit sudah sampai," kata Inayah.
Aditia melihat rumahnya. "Apa kamu tidak ikut masuk bertemu calon ibu mertuamu?"
"Lain kali ya, kak. Aku singgah. Ibu pasti mencemaskan aku."
"Inayah, terimakasih kau sudah membuat hari-hariku terasa hidup," tutur Aditia.
Inayah tersenyum, "ambilah ini kak. Dan pelajari itu. Semoga buku itu membawa ketenangan hati untukmu setelah mengamalkannya dan semoga kau menemukan kembali ingatanmu," Kata Inayah memberikan buku panduan shalat buat Aditia.
Sementara, ibu Hanum dan lainnya mendengar ada suara mobil di depan rumahnya. Segera mereka keluar melihat siapa yang datang.
Ibu Hanum begitu bahagia, ketika melihat Aditia turun dari mobil bersama seorang gadis berkerudung. Ibu Hanum pun menghampiri mereka dan langsung memeluk putranya.
"Nak, kau baik-baik saja, 'kan?" ibu Hanum memeriksa seluruh tubuh putranya.
"Ibu, aku baik. Lihatlah siapa gadis di depanmu! Dia gadis yang aku ceritakan padamu. Cantik, bukan?"
Ibu Hanum menatap Inayah yang terlihat sedikit malu dan juga terlihat sungkan. "Kamu Inayah?"
Inayah tersenyum. "Betul tante. Saya Inayah. Maaf saya sudah membuat Anda khawatir. Tadi kupikir saya mengantar dia pulang, karena saat di tempat parkir ia tidak mengenali mobilnya."
"Terimakasih. Maafkan Aditia telah merepotkan dirimu. Mentalnya serta daya ingatnya memang terganggu dan ...."
"Aku tahu. Dan aku mengerti kondisinya," ucap Inayah.
"Hai, kenalkan aku Alina. Aku adik kak Aditia. Terimakasih, Inayah. Kau sudah menghibur kakakku," kata Alina memperkenalkan dirinya.
"Sama-sama. Kebetulan saja aku bertemu dengannya di taman kota," jelas Inayah.
Ibu Hanum terus menatap inayah yang begitu lembut dan sopan. "Pantas saja Aditia mengatakan Inayah mirip dengan seseorang. Memang ia mirip. Apa yang di katakan Aditia benar. Hanya wajah yang berbeda," batin Ibu Hanum.
"Maaf, saya harus pulang." pamit Inayah.
Melihat orang berkumpul di depan rumahnya. Tuan Subari pun mendekat dan melihat Inayah. Ibu Hanum sedikit cemas melihat kedatangan suaminya. Ia tahu betul bagaimana sifat suaminya. Ia tidak mudah menerima setiap gadis yang dekat dengan putranya. Ada saja kekurangan menurutnya.
"Turunkan ego-mu, ayah. Biarkan Aditia memilih dan menentukan hidupnya. Cukup penderitaan putraku selama ini," bisik ibu Hanum pada suaminya.
Inayah melihat tatapan ayah Aditia. ia sedikit ragu untuk pamit dengannya.
"Inayah tunggu!" Aditia menghampiri Inayah yang sudah membuka pintu mobilnya.
"Bisakah aku meminta no ponselmu? Jangan menolak-ku, Inayah."
"Sini ponselnya." kata Inayah melebarkan telapak tangannya.
Aditia pun meletakkan ponselnya di atas telapak tangan Inayah sambil terus menatap Inayah yang sedang mengetik nomornya di sana.
"Sudah." Inayah membuyarkan Aditia.
"Terimakasih, Inayah. Aku akan menghubungimu."
"Boleh. tapi, jangan menghubungiku diwaktu shalat."
"Tenang saja. Aku akan menunggu dan menelpon di waktu senggang. Aku akan hafal waktumu yang kosong.
Inayah terkekeh mendengar perkataan Aditia yang menurutnya lucu.
"Inayah, bolehkah aku mengatakan sesuatu?"
"Kak, nanti ya ... Kita ngobrol lagi. Saya harus pergi. Jadi, perkataan kak, Adit simpan saja dulu disini," kata Inayah menunjuk bibir dan dadanya sendiri.
"Inayah, tapi ini penting.
Inayah pun kembali memberi kode pada Aditia untuk mengancing bibirnya. Lalu, Inayah pun masuk dalam mobilnya. Sebelum pergi, Inayah meninggalkan senyum tulus buat Aditia sebagai tanda ia pamit yang membuat Aditia menatap terus mobil Inayah sampai tak terlihat lagi dari pandangannya.
Ibu Hanum pun memegang bahu putranya. Ia melihat sebuah buku ditangan putranya "Apa yang kamu pegang?"
Aditia buyar dalam diamnya dan berbalik melihat ibunya. Ia teringat kembali perkataan Inayah saat di taman Kota. 'Jangan biarkan ibumu bersedih. Cintai dan hormati dia. Dan ayahmu adalah merupakan kepala madrasah. Ia yang mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya sendiri, jika pun ada itu bukan membenci tapi Khilaf. Jika pun mereka marah, itu hanya sebatas sampai di mulutnya'.
"Ibu maafkan aku, Jika di masa laluku sering membuatmu sedih dan cemas." tutur Aditia.
Ibu Hanum memeluk putranya dan berkata, "ibu memaafkanmu. Kamu tidak ada salah, nak. Kami yang salah," Kata ibu Hanum, lalu kembali melihat putranya dan mengulang pertanyaannya. "Buku apa ini?"
"Ini diberikan Inayah. Katanya aku harus mempelajarinya. Buku ini bisa membuat hati tenang dan damai jika diamalkan."
Ibu Hanum pun membaca sampul buku tersebut 'Panduan Shalat'." Oh Tuhan apakah ini petunjuk? Apakah ujian yang yang kau berikan pada putraku merupakan sebuah hidayah untuk menjadikan kami manusia yang lebih baik? Sudah berapa lama aku tidak bersujud Pada-Mu."
Ibu Hanum membatin. Lalu, mereka pun masuk dalam rumah. tuan Subari tampak terlihat wajahnya penuh kesedihan dan penyesalan.
Di dalam kamarnya Aditia terus menatap buku yang diberikan oleh Inayah. Lalu, buku itu ia peluk dan di ciumnya. "Aku mencintaimu, Inayah."
Lalu, ia mengambil ponselnya dan hendak mengetik sesuatu. Namun sebelum mengetik ia melihat jam. "Baru jam 11.00."
Aditia pun mengetik di sana 'Inayah, apa kamu sudah sampai di rumah? Kamu tahu aku selalu memikirkan-mu' SEND. pesan pun ia kirim setelah usai ia ketik. Lalu, ia beranjak dari tempatnya masuk kamar mandi untuk membersihkan badannya yang berkeringat di cuaca yang cukup sejuk.
***
Inayah yang baru usai membersihkan diri duduk di depan meja riasnya. Ia sibuk dengan segala peralatannya di sana. Lalu, membuka handuk yang membungkus kepalanya, kemudian meraih hair drayer.
Ketika akan mengambil hair drayer, ia melihat ponselnya menyala. Inayah pun berdiri dan melihat pesan dari nomor baru. 'Inayah, apa kamu sudah sampai di rumah? Kamu tahu aku selalu memikirkan-mu'.
Inayah menebak, jika pesan itu pasti dari Aditia. Inayah pun menyimpan nomor Aditia dengan menulis nama kontak Aditia 'Kak Adit'
Lalu, ia membalas pesan Aditia 'Ia. Alhamdulillah Aku sudah sampai'.
Cukup itu ia tulis tidak panjang lebar. Ia sadar bahwa Aditia bukanlah siapa-siapa. Sebagai manusia biasa walau ia tahu bahwa Aditia bukan mahramnya dan harus membatasi diri bergaul, namun hati dan perasaan tidak bisa ia bohongi jika makhluk tuhannya itu sudah mencuri hatinya sedikit demi sedikit.
"Ya ... Rabbi. Ampuni aku yang mencintai sebelum ada ikatan pernikahan. Aku sudah melampaui batas. Namun, hatiku tak bisa ku-bohongi jika dia telah mencuri hatiku. Jika, dia jodohku, jadikan ia imam yang baik kelak nanti.
Inayah meletakkan ponselnya. Begitu ia akan berdiri kembali pesan dari Aditia masuk. Inayah kembali membuka pesan dan membacanya. 'Aku akan belajar menjadi imam yang baik untukmu. Setelah aku cukup mampu, aku akan datang berhadapan dengan kedua orang tuamu'.
Inayah tersenyum dan merasa terhibur dengan Kata-kata Aditia. Dan kembali berfikir maksud isi pesan Aditia. Inayah seakan terjebak dalam cinta pria amnesia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Neulis Saja
hopefully 🙏
2024-10-13
1