Kedatangan Aditia disambut hangat oleh keluarga. Sepuluh bulan setelah kejadian itu, Aditia kembali ke kota asalnya dengan keadaan yang berbeda.
"Kak Adit!" Pekik Alina melihat kakaknya di depan mata dalam keadaan baik secara fisik. "Aku Alina, adik kakak, kakak ingat aku, 'kan?"
Aditia hanya mematung. Ia hanya mengangguk walau sebenarnya ia tidak ingat. Ada rasa kecewa dalam dirinya, karena tidak bisa mengingat seperti apa keluarganya.
"Nak, sebaiknya kamu istirahat dulu. Jangan dipaksakan untuk mengingat." Kata Ibu Hanum pada putranya dengan lembut.
"Ibu, apa sebelumya aku pernah bersama seorang gadis?" tanya Aditia pada ibunya.
Ibu Hanum tercengang mendengar pertanyaan putranya.
"Ibu, tadi aku bertemu seorang gadis berkerudung dengan suara yang begitu lembut. Ketika aku bertanya, dia menjawab dengan sabar setiap pertanyaan yang aku lontarkan padanya. Entah mengapa suaranya, serta gaya bahasanya, seperti mirip dengan seseorang," papar Aditia yang mengingat kembali pertemuannya dengan Inayah.
"Nak, suatu hari nanti kau akan tahu," ucap Ibu Hanum, lalu menoleh ke arah Teo. "Teo antar Aditia ke kamarnya."
Aditia pun menurut. Selepas kepergian Aditia, Ibu Hanum langsung mendudukkan tubuhnya di sofa.
Ibu Hanum ingat bagaimana dulu Aditia begitu arogan, pembangkang. Bahkan putranya dulu keluar masuk di klabing semenjak Aditia gagal menikah dengan Marina. Berbalikan dengan sekarang, Aditia tampak begitu sangat lugu.Hingga tidak tampak seperti Aditia yang dulu.
Sebagai seorang ibu ingin selalu dekat dengan putranya yang selalu mendengar nasehatnya. Dan itu sekarang sudah terjadi. Aditia mendengarkannya. Namun, Tentu Ibu Hanum tidak ingin melihat putranya terpuruk seperti sekarang.
Alina memegang bahu ibunya. Kemudian menyapa wanita paruh baya tersebut. "Ibu?"
"Ibu tidak sanggup melihat kakakmu seperti itu. Bukan hanya daya ingatannya yang hilang. Mental kakakmu pun ikut terganggu," tangis ibu Hanum dalam pelukan putrinya, Alina.
"Saat semua orang menghinanya atau merendahkannya bahkan menjauhinya, karena keadaannya yang sekarang, tapi aku sebagai ibumu tidak pernah menjauh atau pun malu untuk tetap bersamamu, nak." lirih ibu Hanum.
Ibu Hanum menoleh pada suaminya yang sedari tadi diam.
"Mengapa ayah diam? Ini semua karena dirimu. Andai dulu kau merestui Amira dan Aditia, ini semua tidak akan terjadi!" Tunjuk ibu Hanum pada suaminya. "Tidak Marina kau tolak, Amira pun dulu kau tolak."
"Amira itu memang tidak pantas untuk Aditia. Seorang janda miskin hanya mencoreng nama baik kita," jelasnya. "Apa lagi Marina yang jelas-jelas hamil tanpa sepengetahuan Aditia."
"Dari dulu kau seperti itu! Egomu begitu tinggi! Kau selalu menentang hubungan anakmu dengan gadis pilihannya. Lihatlah anakmu seperti ini!"
"Aku menentang mereka karena aku punya alasan," geram Tuan Subari pada istrinya.
Ada rasa sesal dalam dirinya. Namun, terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya. Tuan Subari ingat bagaimana dulu Aditia, putranya.
***
Esok harinya Aditia meminta Teo membawanya untuk jalan pagi di sebuah taman yang cukup populer oleh warga setempat di kota tersebut.
Namun, tak disangka olehnya Aditia kembali bertemu dengan Inayah.
"Inayah?" Sapa Aditia dengan wajahnya yang berseri melihat Inayah berdiri di belakangnya.
Inayah melihat sekitarnya. Inayah mencari Teo yang sering bersama Aditia. "Kak Adit ngapain di sini?"
"Aku selalu mengingatmu. Hatiku tersiksa tidak bertemu denganmu. Aku seperti terpanggil untuk kemari."
"Kak Adit duduk ya? Kita ngobrol di sana." Inara mengajak Aditia duduk di sebuah kursi panjang. tentu ramai pengunjung.
Berlalu lalang orang-orang di sana menikmati minggu pagi yang cerah. Aditia tidak lepas menatap Inayah.
"Apa kau tahu, Inayah. Aku benar-benar seperti menemukan hatiku yang hilang. Aku merasa nyaman bersamamu. Aku ingin banyak belajar hal darimu." Aditia tersenyum menatap Inayah yang pandangannya lurus ke depan.
"Kak Adit, ibumu adalah sosok yang selalu menjadi contoh bagi anak-anaknya, entah itu anak laki-laki ataupun perempuan. Sebenarnya anak adalah cerminan dari orang tua, lantas sosok ibu adalah tempat madrasah pertama untuk seorang anak. Dia yang mengajarkan kita banyak hal, mendidik kita dengan sabar hingga kita tumbuh menjadi manusia berakhlak," papar Inayah.
"Jangan biarkan ibumu bersedih. Cintai dan hormati dia. Dan ayahmu adalah merupakan kepala madrasah. Ia yang mencari nafkah untuk keluarganya," lanjut Inayah. "Tak ada orang tua yang membenci anaknya. Jika pun mereka marah, itu hanya sebatas sampai di mulutnya."
Langit tiba-tiba mulai gelap membuat Inayah sedikit cemas, sementara Aditia terlihat girang. Tak lama kemudian hujan mulai rintik. Namun, Aditia memilih diam di sana.
"Ayo kak! kita harus mencari tempat berteduh. Kakak akan sakit, jika main hujan."
"Apa kau tahu, Inayah. Aku sangat suka hujan. Hujan ini mengingatkan aku dimasa kecil. Ibu memarahiku sama sepertimu. DIa takut jikalau aku sampai sakit." terang Aditia.
Aditia pun akhirnya mengikuti Inayah untuk mencari tempat berteduh. Ia membuka jaketnya untuk dijadikan payung bersama Inayah hingga mereka menemukan tempat yang pas untuk dijadikan tempat berteduh. Tak hanya mereka berdua di sana. Ada banyak pengunjung lain berteduh di tempat yang sama.
Aditia melihat Inayah kedinginan segera ia memberikan jaketnya. Namun, sebelumnya jaket itu ia keringkan dengan sarung tangan miliknya.
"Kak Adit aja yang pakai. Aku tidak kedinginan," tolak Inayah.
"Apa benar kamu tidak kedinginan? Lalu, kenapa kamu terlihat menggigil."
Inayah pun tersenyum mendengar perkataan Aditia. Mereka saling menertawakan membuat Aditia merasakan ada kebahagiaan tersendiri dalam dirinya.
Karena mendapat panggilan Inayah pun berbalik pada Aditia. "Apa Teo ada bersamamu?"
"Iya. Dia di parkiran." jelas Aditia.
"Kalau begitu aku mengantarkan-mu ke sana."
"Benarkah?" tanya Aditia.
"Iya. Ayo!" kata Inayah.
sebenarnya inayah sadar. ini adalah salah. Mengingat Aditia pria yang terganggu mentalnya, Inayah tidak mungkin membiarkan anak orang akan kehujanan.
"Hanya Kau yang tahu niat hamba." batin Inayah.
Karena hujan sudah redah Inayah dan Aditia pun berjalan menuju parkiran. Karena daya ingatan Aditia melambat akibat kecelakaan beberapa bulan lalu, membuat Aditia lupa mobilnya.
"Mana mobilmu?" Tanya inayah.
"Aku tidak tahu," jawab Aditia bingung.
"Lalu, apa kau punya ponsel?"
"Ponsel?" kata Aditia.
"Ia. Ponsel untuk menelpon. Aku akan menghubungi Teo." Inayah melihat Aditia seperti kebingungan.
"Kau ingin menghubungi Teo untuk apa?" tanya Aditia lagi.
"Dengan menghubungi Teo. Kita akan tahu posisi mobilmu terparkir. Jadi, dimana ponselmu? Biar aku yang menghubunginya." Inayah menatap Aditia.
"Ambillah di saku celanaku." Kata Aditia tanpa pikir panjang.
"Kak Adit punya tangan, kan? Jadi minuman dan makanan ini biar aku pegang dulu. Dan kak Adit ambil ponselnya," pinta Inayah.
"Kenapa bukan kamu saja yang ambilkan?" tanya Aditia lagi.
"Astaghfirullah, kak Adit! Tahu gak. Kalau aku yang ambil itu tidak sopan. Apa lagi aku dan kak Adit bukan siapa-siapa. Dan apa kata orang nanti. Masa cewek merogoh kantong Cowok."
"Karena bukan mahram, ya....? Kalau begitu jadikan aku mahram-mu saja. Kita menikah saja biar bisa terus jalan berdua. Beres, kan?" kata Aditia mengira pernikahan begitu mudah.
"Astagfirullah, kak Adit. Pernikahan itu tidak semudah yang kak Adit bayangkan. Pernikahan itu merupakan ibadah yang mulia dan suci. Untuk itu, menikah tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah terpanjang dan selayaknya dapat dijaga hingga maut memisahkan. Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua insan untuk membangun biduk rumah tangga saja. Akan tetapi bagaimana kedua keluarga belah pihak juga bisa saling menyatu.
"Kalau begitu aku akan memberi tahu kedua orang tuaku untuk menyatukan kita."
Inayah hanya tertawa mendengar papar Aditia. Menganggap perkataan Aditia itu hanya bagian lelucon.
Hingga akhirnya Inayah memutuskan untuk mengantar Aditia pulang. Menunggu Aditia mengambil ponselnya itu terlalu lama. Yang ada Aditia akan semakin panjang lebar ngawur-nya.
Untungnya Aditia ingat jalan pulang menuju rumahnya. Hingga memudahkan Inayah menemukan tempat tinggal Aditia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Neulis Saja
next
2024-10-13
0
tri haryati
aditya dg kesabaran inayah akan segera pulih
2023-01-18
1
linda sagita
semangat kak, aku mampir lagi
2022-12-08
1