Fauziah memilih diam di dalam mobil. Dia tahu dia salah. Tetapi tidak sepenuhnya dia menyalahkan dirinya. Karena pada dasarnya, manusia tak luput dari kesalahan. Itulah salah satu pepatah yang dia ingat dengan betul tanpa melupakan satu huruf pun. Dengan mengingat itu, dia tidak akan marah ataupun merasa hilang semangat apabila orang lain menyalahkannya. Karena dia akan berkata pada dirinya sendiri. 'Mereka juga sama sepertiku. Sama-sama manusia yang tak luput dari kata salah' Sekalipun begitu, dia tidak malu untuk meminta maaf. Bahkan dia akan mengakui kesalahannya sebelum orang lain menyudutkan dirinya.
"Kakak, maafkan aku" ucap Fauziah serius.
Aqmal melirik Fauziah sekilas. Lalu kembali menatap lurus ke jalanan. "Nggak Papa, kejadian seperti tadi memang sering kali terjadi" jelasnyanya.
"Oh ya, kalau ada resep yang masuk, kau harus melihatnya dengan teliti. Takutnya kamu salah memberikan obat" kata Aqmal mengingatkan.
"Iya, Kak. Kak, mau ngapain disini?" tanya Fauziah saat Aqmal memarkirkan mobil di tempat parkir. Lebih tepatnya di depan toko Bandung.
"Belanja kebutuhanmu" balas Aqmal lalu melepas seat belt kemudian turun.
Sejak Fauziah berusia 6 tahun, Aqmal sudah menganggap Fauziah sebagai adiknya. Begitu juga dengan Fauziah, ia menganggap Aqmal sebagai Kakak kandungnya. Aqmal pernah menyelamatkan Fauziah. Kala itu Fauzia baru berusia enam tahun tiga bulan dua puluh hari, dia dan teman-temannya berenang di sungai. Arus sungai tak begitu kuat, namun baju Fauziah tersangkut di kayu yang berada di dasar air. Fauziah berusaha melepasnya, namun air sungai tiba-tiba berubah kecoklatan. Tiga orang teman yang juga berenang, mereka bergegas ke tepi sungai, meninggalkan Fauziah yang masih berusaha menarik bajunya. Aqmal yang kebetulan ke sungai, tanpa sengaja melihat Fauziah yang nyaris kehilangan nyawanya.
"Ahha, kebetulan sekali. Tadi aku dan Savana berencana kesini, tapi gagal karena ban motorku kempes" jelas Fauziah.
Fauziah mencari toko langganannya. Dia menyapa penjual yang dia kenal lalu masuk ke dalam toko menuju gamis cantik yang sudah sejak lama dia pantau stoknya. Tanpa basa basi, Fauziah masuk ke ruang ganti untuk mencobanya. Melihat dirinya di cermin, Fauziah tersenyum bahagia. Akhirnya, dia bisa beli baju impiannya.
"Kakak, bagaimana menurut, Kakak?" tanya Fauziah. Ia berdiri menghadap Aqmal.
Aqmal jauh lebih senang melihat Fauziah mencoba gamis. Pasalnya, setahu Aqmal, Fauziah selalu merasa risih bila mengenakan jilbab.
"Bagus. Kamu mau yang itu?" tanya Aqmal.
Fauziah mengangguk. Lalu masuk ke dalam ruang ganti. Selang beberapa menit, dia keluar dengan wajah berseri-seri. "Mba, tolong bungkus yang ini"
"Mau bertobat, Zah?" Penjual pakaian yang kerap disapa Matri bertanya namun tujuannya bercanda.
Pertanyaan yang berhasil mengundang gelak tawa Fauziah. Membenarkan apa dikatakan Mba Ratri barusan. "Berapa, Mba?" tanyanya.
"180 ribu" jawab Mba Ratri.
"Ini" Aqmal menyerahkan uang pecahan seratus ribu sebanyak 2 lembar. Fauziah menggelengkan kepala.
"Nvgak perlu, Kak. Aku punya uang kok. Sumpah, aku ngak bohong" jelasnya meyakinkan. Dia malu bila belanjaannya dibayar orang lain. Terlebih lagi orang itu Aqmal.
"Nggak Papa. Anggap saja kamu beruntung hari ini" kata Aqmal tersenyum. Lagi-lagi Duda tampan itu menebar pesonanya. Bahkan Mba Ratri pun memuji ketampanannya.
Usai membeli gamis serta jilbab dan baju stelan, Fauziah dan Aqmal pulang ke rumah. Sebenarnya Aqmal ingin ke rumah temannya, dan dia tidak ingin mengajak Fauziah. Bukannya Aqmal tidak suka Fauziah ikut bersamanya, tetapi Aqmal ingin Fauziah beristirahat di rumah. Karena besok pagi Fauziah harus ke sekolah dan siangnya pergi kerja. Fauziah lebih membutuhkan waktu untuk tidur dibandingkan jalan-jalan.
Dalam perjalanan pulang, Fauziah tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati. Bagaimana tidak, gadis cantik itu jarang sekali membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Dalam setahun, dia hanya membeli dua stelan yang layak dikenakan saat lebaran. Itupun hanya menjelang lebaran saja. Dipikirannya hanya melunasi cicilan tupperware, mesin cuci, karpet dan juga kulkas, serta membayar tagihan listrik. Dan kini, uang yang dia tabung untuk membeli gamis bisa dia gunakan untuk membayar tagihan listrik.
"Kakak, terima kasih ya" ucap Fauziah tersenyum lebar.
"Iya" balas Aqmal seraya memarkirkan mobilnya di tempat biasa, dimana lagi kalau bukan di garasi.
"Ziah, jangan lupa mandi, makan dan istirahat. Satu lagi, jangan lupa non aktifkan ponselnya" kata Aqmal mengingatkan.
"Iya, Kak" balas Fauziah.
Sejak Aqmal kembali ke tanah lahirnya, Fauziah tak lagi merasa sepi. Aqmal begitu perhatian padanya. Bahkan hal kecil pun, seperti kunci pintu sebelum tidur, Aqmal selalu mengingatkannya. Tentu hal itu membuat Fauziah senang.
Aqmal masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang sulit diartikan oleh orang lain tetapi tidak dengan Bunda Sakila. Bunda Sakila pun ikut bahagia melihat putranya yang mulai menjalani hari-harinya tanpa mabuk-mabukan lagi.
"Bun, ada kabar gembira" kata Aqmal sebelum naik ke lantai dua. Bunda Sakila mengulas senyum. Dia tahu, itu pasti tentang Fauziah.
"Boleh Bunda tahu?" tanya Bunda Sakila. Pertanyaannya mengingatkan Aqmal pada masa kecilnya.
Aqmal terkekeh. "Bun, aku bukan lagi anak kecil. Bunda bisa langsung ke intinya. Seperti, kabar apa, kok putra Bunda bahagia? Kek gitu"
"Katanya udah tua, tapi untuk move on aja butuh waktu setahun" Mulyana Khaerunissa Malik, putri bungsu keluarga Malik, wanita yang dua tahun lebih muda dari Fauziah itu mengolok olok Kakaknya.
"Itu karena dia baik. Orang baik memang sulit dilupakan" kata Aqmal, tanpa sadar ia telah memuji mantan istrinya. Apa yang dikatakan Aqmal itu benar adanya, Lisnawati Bakri memang wanita yang begitu baik, sopan dan ramah. Dia akan selalu melibatkan Aqmal dalam setiap keputusan yang dia ambil.
"Oh ya..." Wanita yang kerap disapa Nisa atau Muli itu tersenyum remeh. "Berarti Kakak yang nggak baik, itu sebabnya Mba Lisna pergi. Kalau bukan itu, berarti ada sesuatu yang Mba Lisna ngak suka dari Kakak"
Aqmal terdiam. Apa iya itu alasan Lisnawati yang sebenarnya. Lalu alasan yang lalu itu apa? Apa itu bagian dari rencananya agar Aqmal menyetujui keputusannya atau? Entahlah.
"Kak, coba Kakak pikir, mana ada wanita yang mau menggugat cerai suaminya yang tampan, bahkan memiliki pekerjaan. Bukankah pria tampan dan mapan itu idaman para wanita? Buktinya, banyak wanita diluar sana yang hancur akibat tipu muslihat para pria bermodal tampan"
"Benar kata Muli. Kalau aku pria yang baik, Lisna nggak mungkin ninggalin aku. Masa iya aku bukan pria yang baik? Bukankah aku selalu menuruti permintaan dan juga perintah darinya. Bahkan memotong jari kukunya pun sering kali kulakukan" batin Aqmal.
Gays, kira-kira apa ya alasan Lisnawati yang sebenarnya? 🤣🤣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Be___Mei
gak kebayang kalo fauziah salah ngasih obat 🤧🤧🤧 duh kudu cermat kamu fauziah
2022-06-15
0