Mereka semua selesai sarapan dan meninggalkan meja makan yang berantakan dan dengan banyak piring kotor.
Bibi Soraya pergi mengantar kedua anaknya ke sekolah, setelah itu dia pergi bekerja di sebuah pabrik garmen, dan pamannya yang bernama Benu entah ke mana dia pergi, setelah dia dipecat dari pekerjaannya dia lebih sering terlihat keluar rumah, tapi tidak tau apa yang dikerjakan di luar sana.
Di rumah, Nara hanya bisa menghela napasnya pelan melihat apa yang ada di hadapannya sekarang. Hampir tiap hari dia melewati hari-hari yang seperti ini.
"Capek sekali, kenapa mama dan papa dulu tidak memiliki saudara lagi, tapi yang baik, tidak seperti paman Benu. Paman memang baik sudah mau membesarkan aku walaupun akhirnya aku diperlakukan seperti pembantu oleh mereka." Nara duduk dengan menyangga dagunya setelah selesai membereskan semua.
"Nara...!" terdengar teriakan dari seseorang di luar.
Nara segera beranjak dari tempatnya, mengambil tas sekolah dan dia mulai berjalan dengan malas menuju pintu keluar.
Mata Nara mendelik melihat penampilan seseorang yang tadi memanggilnya. Nara mengedipkan matanya beberapa kali, bahkan dia mengucek-kucek matanya takut jika dia sedang bermimpi."
"Paijo? Ini kamu?" tanya Nara dengan wajah kagetnya.
Seketika cowok yang duduk di atas sepeda mahalnya itu tampak lemas. "Kenapa masih memanggilku Paijo, sih?" cowok itu memutar bola matanya jengah.
"Lah! Memang nama kamu siapa? Kamu, kan, biasa aku panggil Paijo." Nara berjalan menghampiri cowok itu.
"Hari ini aku kan sudah merubah penampilanku, Ra, masak kamu masih tega memanggilku Paijo? Menurunkan pasaran saja. Nara malah terkekeh dengan senangnya.
"Iya, aku panggil Panjul saja," ucapnya santai sambil menaikkan kedua kakinya di atas besi penyangga kaki dan kedua tangannya berpegangan pada kedua pundak cowok yang tidak ingin di panggil Paijo itu.
"Lah? Malah Panjul." Cowok yang tengah mengayuh sepedanya itu tampak menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ah ribet amat kamu kayak tante-tante rempong."
"Yeah! Masih mending kayak tante rempong, dari pada kayak tante kamu. Serem...!"
Nara sekarang malah tertawa dengan lepasnya. "Kamu memang sahabat terbaik yang aku miliki, Jo."
Tiba-tiba sepeda berhenti di pinggir jalan. Nara yang bingung menepuk pundak cowok di depannya.
"Kamu kenapa? Kesambet? Kenapa memanggilku dengan nama asliku? Atau kamu lagi tidak sadar ya?" Cowok yang di membonceng Nara menoleh kebelakang."
"Nama kamu kan Paijo, pantas kalau aku panggil kamu Jo."
"Terserah kamulah!" Paijo sudah menyerah kelihatannya melawan Nara.
"Iya, Jovanno Pramudika Baskara. Sudah, kamu puas, Paijo?" Nara menekankan kata-katanya.
Gantian sekarang Paijo atau Panjul atau Jovanno, langsung kembali mengayuh sepedanya kembali.
Paijo adalah seorang sahabat yang selalu setiap mengantar jemput Nara dengan sepeda antiknya, yaitu sepeda ontel warisan dari kakeknya. Paijo hidup hanya berdua dengan neneknya karena kedua orang tuanya sudah berpisah. Paijo tidak mau ikut dengan salah satu orang tuanya, dia memilih tinggal dengan neneknya di rumah sederhana milik mendiang kakeknya.
Nara dan Paijo sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku Taman Kanak-Kanak sampai mereka kelas tiga SMU. Rumah mereka juga jaraknya tidak jauh. Nara tau semua kehidupan Paijo. Begitupun dengan Paijo tau tentang kehidupan Nara. Nara merasa sangat bersyukur bisa mengenal Paijo karena selalu menghiburnya di kala dia sedang sedih.
"Jo, kamu kenapa merubah penampilan seperti ini?" Nara memindai Paijo dari atas sampai bawah.
"Kamu kenapa melihatiku seperti itu? Apa aku tampan menurut kamu dengan penampilanku yang sekarang? Apa kira-kira aku sudah cocok jika jadian sama Rachel?"
"Apa? Rachel? Kamu sudah jadian sama dia?" sontak Nara yang dari tadi masih nangkring di atas sepeda langsung turun.
"Belum jadian, Nara... masih usaha, tapi kamu doakan saja supaya nanti di acara prom night aku bisa datang dengannya, tidak jomlo," ucapnya sambil menaik turunkan kedua alisnya.
"Huft! Aku kira kamu jadian sama si ratu sihir yang sama jahatnya dengan saudara sepupuku itu."
"Jangan samakan Rachelku sama dengan saudara sepupu kamu yang jika melihat kita seperti melihat kuman saja. Memangnya kita kuman atau virus yang membawa penyakit?"
Nara berjalan malas masuk ke dalam kelasnya dan diikuti oleh Paijo di belakangnya. Sebenarnya Jo beda kelas dengan Nara. Jo anak IPA dan Nara anak IPS, tapi mereka sudah seperti Romie dan Juli saja kata-kata semua teman sekolahnya.
"Nara, kamu kenapa? Aku lihat kamu seperti orang malas dan kurang makan begitu?"
"Enak saja kurang makan, malahan tadi aku makan agak banyak karena aku butuh tenaga ekstra untuk menghadapi kehidupan yang semakin kejam ini."
"Haduh...! Bahasa kamu sok puitis begitu. Dari dulu hidup memang kejam Nara, hanya saja kita jangan sampai menyerah untuk terus menghadapinya."
"Kamu masih enak, Jo. Kamu masih ada kedua orang tua kamu walaupun mereka berpisah, setidaknya kamu tidak akan takut kekurangan biaya untuk melanjutkan sekolah. Lah aku?"
"Memangnya kamu kenapa?"
"Tadi pamanku mengatakan sepertinya aku tidak akan dapat menyelesaikan sekolahku karena mereka sudah tidak sanggup untuk membiayai sekolahku. Kamu tau sendiri kalau uang sekolahku belum dibayar selama beberapa bulan." Nara menundukkan kepalanya menempel di atas meja bangkunya.
"Kamu serius paman kamu mengatakan hal itu?"
"Iya, malahan aku disuruh bekerja jika aku mau tetap sekolah. Padahal sekolah kita tinggal beberapa bulan saja. Aku sampai meminta untuk tetap melanjutkan sekolah sampai tuntas dan nanti aku akan bekerja untuk membantu mereka jika sudah lulus."
"Lalu? Apa jawaban paman kamu?" Paijo menunduk di bawah meja melihat wajah Nara yang bersembunyi di bawah meja.
"Pamanku sepertinya tidak mau peduli. Aku benar-benar bingung dengan semua ini, Jo!" Rengeknya kesal.
Paijo memposisikan dirinya duduk dengan benar tepat di samping Nara. Dia tampak sedang berpikir akan sesuatu. Sampai terdengar bel masuk berbunyi Paijo izin pergi ke kelasnya sendiri yang berada di lantai bawah tepat di bawah kelas tiga IPS 1, yaitu kelas Nara.
"Kenapa melihatiku begitu? Naksir?" tanya Paijo sombong pada saat dia berpapasan dengan Mona yang melihatnya dengan mata mengejeknya.
"Mimpi kamu? Sana jauh-jauh." Mona mengibaskan tangannya seolah sedang mengusir kucing.
"Memang aku mau pergi, aku bisa alergi jika melihat kamu, Nenek Sihir." Paijo menekankan kata-katanya dan berjalan santai pergi dari sana.
"Kurang ajar! Berani sekali mulutnya mengataiku nenek sihir," ucap Mona marah dengan muka di tekuknya.
"Kamu kenapa, Mon?" tanya suara yang baru masuk ke dalam kelas dan menepuk pundak Mona.
"Itu si Paijo. Pria miskin yang berani sekali mengataiku nenek sihir!" Mona bersidekap berdiri di depan pintu.
Gadis yang di sebelahnya malah menahan tawa dengan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 305 Episodes
Comments
Retno Elisabeth
lanjut thor
2023-01-13
1
ayulia lestary
ya kya nne sihirr klo jhat mh
2022-10-26
0
💐Lusi81
apa Jo akan membantu Nara melunaskan tunggakan?
2022-07-17
4