Kekasih Bayaran Bagian 19
Oleh Sept
"Jangan banyak protes, ambil ini. Mana rekeningmu. Aku transfer sekarang!"
Winda meggeleng pelan, ia masih kaget. Masih terkejut tiba-tiba seseorang datang dan langsung memberikan dia uang.
"Kamu serius?" Barulah Winda percaya ketika ia yakin itu semua uang asli. Dan lagi Kavi terlihat tidak bercanda. Pria itu membuktikan ucapannya yang kemarin, bukan sekedar omong kosong. Ditambah ia menang ingin pindah kontrakan, tidak enak menatap kesedihan keluarga Lukman karena ibunya. Dan sepertinya ini juga cukup untuk membiayai pengobatan sang ibu.
Setidaknya dengan uang itu, Winda bisa keluar dari semua masalah yang membebani pundaknya.
"Pakai aja!"
"Tidak ada makan siang gratis di dunia ini, aku tidak punya jaminan. Bagaimana bisa kau meminjamkan aku uang sebanyak ini?"
Kavi terdiam, kemudian menatap Winda dari atas sampai ke bawah.
"Kau ... kau jaminannya!"
Winda langsung memeluk tubuhnya sendiri.
"Jangan gila! Aku tidak menjual diriii!" sergah Winda yang tidak suka cara Kavi menatapnya dari ujung rambut sampai kaki.
"Ya sudah! Kembalikan semampumu!" ucap Kavi santai.
"Mana bisa begitu?" Jelas Winda menolak. Ini pinjaman yang aneh.
"Lalu bagaimana? Terserah kau saja."
"Kau tinggal di mana?"
Dahi Kavi langsung mengkerut, bukannya Winda sudah tahu alamatnya?
"Kenapa memangnya?"
"Setelah bekerja di kantor, aku akan bekerja di rumahmu. Gajiku akan aku berikan padamu tiap bulan, ditambah aku akan bekerjalah membersihkan apapun di rumahmu. Apa saja. Agar hutangku lunas!"
Tanpa diketahui Winda, sudut bibir Kavi terangkat naik sedikit.
'Boleh juga!'
Kavi yang memang suka menguji adrenaline, ia pun merasa tertangtang dengan ide Winda tersebut.
"Oke! Coba dulu satu tahun kerja di tempatku."
Winda nampak berpikir, satu tahun? Kapan akan lunas? Namun, kemudian ia mengangguk.
"DEAL!"
Dua orang itu saling salaman. Karena sudah deal dan tidak ada yang perlu dibahas, keduanya keluar pintu darurat bergantian.
***
Sepanjang hari Winda bekerja tidak tenang. Sampai ke kamar mandi saja ia tunda, takut uangnya yang satu ransel itu raib. Itu adalah alat untuk menyelamatkan ibunya dan dirinya dari rasa bersalah yang mendalam atas hilangnya nyawa Pak Lukman.
Sampai senja tiba, dia buru-buru pergi paling awal. Winda dengan ransel tersebut, bergegas naik taksi menuju rumahnya.
...
Kediaman Pak Lukman
"Kamu pikir suami saya bisa ditukar dengan uang?" teriak istri dari almarhum Pak Lukman tersebut. Ia masih sangat marah jika berbicara dengan Winda.
"Bawa uang itu pergi! Kami tidak butuh!" sentaknya lagi.
Keributan kembali terjadi, kali ini kemarahan tidak hanya dari pihak keluarga, tapi semua warga pun sepertinya kesal pada sikap Winda selama ini.
"Lebih baik tinggalkan tempat ini. Kami tidak mau berdekatan dengan manusia-manusia pembawa sial!" celetuk salah satu warga yang datang karena terdengar keributan di kediaman almarhum.
"Baik ... saya akan meninggalkan tempat ini. Sekali lagi maaf, maafkan kesalahan dan kecerobohan saya."
Wajah Winda terlihat sangat berat, tapi ini memang lebih baik. Sepertinya ia juga tidak akan sangup tinggal di lingkungan tersebut untuk kedepannya. Lebih baik pindah, apalagi ibunya juga sudah di pindah ke tempat yang seharusnya. Suka atau tidak, sepertinya ini yang terbaik.
"Bawa benda itu!" ujar istri Pak Lukman yang tidak mau melihat ransel berisi uang tersebut. Ia tidak mau uang, hanya ingin suaminya kembali.
Winda sendiri menebalkan telinganya, pura-pura tidak dengar. Ada makian, hinaan dan kemarahan. Ia terima meskipun berat. Memilih pergi, kembali ke rumahnya dan hanya membawa barang-barang yang penting saja. Satu tas besar serta slempang kecil. Sedangkan ransel berisi beberapa ratus juta ia tinggalkan di rumah almarhum Pak Lukman.
Ia keluar kontrakan seperti orang yang terusir. Setelah membayar sewa, dan titip barang-barangnya pada si pemilik kontrakan.
"Besok atau lusa saya akan kembali untuk mengambil barang yang ada di sini, Bu. Maafkan jika selama ini saya banyak salah."
Pemilik kontrakan hanya menepuk pundak Winda, ia merasa prihatin. Tapi tidak bisa membantu apa-apa.
"Jaga diri baik-baik Mbak Winda!" ucap pemilik rumah.
Winda mencoba tersenyum meski batinnya menangis.
***
Sudah malam, tidak tahu mau ke mana. Saat berjalan seorang diri tidak tentu arah, karena tidak punya tempat tujuan. Winda pun hanya menatap kendaraan yang lalu lalang di sekitarnya. Ia melamun, menatap kosong pada macam-macam kendaraan yang lewat. Sesaat kemudian, tiba-tiba ponselnya berdering.
Pesan M-banking kembali masuk dalam ponselnya. Ia tersenyum getir. Kemudian memasukkan ponsel ke dalam tas slempang yang ia pakai.
Drett drett drett ...
Ponselnya kembali menyala, tapi bukan pesan yang masuk tapi panggilan telpon.
"Apa sudah masuk uangnya?" tanya suara yang tidak asing lagi di telinga Winda.
"Ya, sudah. Terima kasih."
Mbrem .. Wrengg .... tin ... tin ...
Terdengar suara klakso bersautan. Dan suara bising yang cukup ramai.
"Kau di mana? Masih di luar? Ini sudah malam."
'Hanya karena dia meminjamkan aku uang bukan berarti dia bisa mengaturku!' gerutu Winda yang kepalanya pusing karena harus memikirkan tinggal di mana malam ini. Matanya tiba-tiba tertuju pada hotel di seberang.
"Sudah, ya. Nanti aku telpon. Aku di jalan."
"Hallo! Hallo! Tunggu ... Win!"
Winda menyeberang jalan sambil menempelkan ponselnya di telinga.
"Nanti aku hubungi lagi."
Baru akan mematikan ponselnya, tiba-tiba sebuah cahaya menyorot matanya. Membuat Winda silau dan ....
BRUAKKK
....
....
....
"Win!!! Winda ... Suara apa itu? Winda?"
Tut Tut Tut
BERSAMBUNG
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Reni Ajja Dech
terlalu sombong cewek gw jd ilfil bacany Thor.
2023-10-18
1
putia salim
smpek tegang gw
2022-09-09
0
Kiss me💋
.
2022-08-01
0