Alam Fana

Shin membuka matanya perlahan. Kedua prajurit sudah tak ada di sisinya.

Warna hijau dedaunan menjadi hal pertama yang menyapa matanya. Warna yang terlihat begitu asing tapi juga indah dipandang. Shin tak pernah merasa sesenang ini melihat warna selain putih.

"Awasssssss!!! Tolong minggir!!!"

Tubuh Shin berbalik ke arah suara teriakan.

Diatas bukit tepat dimana Shin berdiri, terlihat seorang pria tengah mengejar gerobak yang meluncur cepat ke arahnya.

Tanpa merasa panik. Shin mencoba menghentikan laju gerobak dengan kedua tangannya, berharap bahwa akan ada mana yang keluar namun ternyata gagal.

Shin tak menduga mananya berkurang banyak setelah dia tertidur.

Lebih buruknya lagi, di belakang Shin terdapat jurang yang cukup dalam. Bagaimana ini? Haruskah dia berakhir seperti ini?

Apakah dia akan terdorong gerobak ke jurang saat pertama kali menginjakan kaki di bumi? Bahkan sebelum Shin sempat bertemu dengan salah satu iblis.

Setelah ini Shin harus puas jika dia menjadi bahan tertawaan seluruh langit.

Shin hanya bisa menutupi dirinya dengan kedua lengan. Dia menutup mata dan memalingkan wajah. Merasa pasrah dengan apa yang akan terjadi.

BRAK.

"Setidaknya berusahalah menghindar." Suara berat seseorang membuat Shin membuka kedua matanya.

Mendongak. Shin melihat seseorang membantunya menahan gerobak dengan satu tangan.

Pria itu tersenyum. Dengan tubuh beberapa senti lebih tinggi darinya. Si pria sedikit menunduk saat menatap ke arah Shin.

"Terimakasih, terimakasih tuan. Anda benar-benar menolong saya." Pria paruh baya berbadan dempal itu berlari menuruni bukit sambil Tergopoh.

Pria berkumis putih itu menatap sendu pada kedua orang di depannya yang selamat. Bukan hanya itu, bahkan gerobak kesayangannya juga masih utuh dan tidak jadi hancur.

Dia hampir saja menangis dan tak tahu apa yang harus dikatakan pada istrinya saat pulang ke rumah nanti.

Bisa-bisa dia yang dimasak sang istri untuk makan malam jika sampai satu-satunya alat pencari rejeki mereka hancur.

Padahal sang istri tak sekalipun lupa mengingatkan untuk mengganjal roda gerobak jika sang suami akan meninggalkan gerobak itu di suatu tempat. Tapi apa daya, umurnya sudah tak muda lagi.

Apalagi jika tadi gerobaknya tidak hanya hancur, melainkan melukai orang lain juga. Jelas dia takkan berani pulang ke rumah malam ini.

"Saya harus berterima kasih, benar-benar berterima kasih. Apakah tuan berdua baik-baik saja?"

Shin mengangguk pada pria pemilik gerobak. Tidak lupa tersenyum ramah menandakan bahwa dia baik-baik saja.

Shin melihat pria di sebelahnya telah menghilang. Matanya tanpa sadar langsung mencari keberadaan pria itu. Tidak dia tidak pergi. Ternyata pria itu sedang menepikan gerobak ke permukaan yang lebih datar.

Betapa terkejut nya Shin melihat pria itu memindahkan gerobak dengan mudah. Apakah gerobak kayu terlihat seringan itu? Seingatnya, dia menahan gerobak yang cukup berat.

"Apakah tuan berdua ini seorang pendekar?" tanya pria pemilik gerobak.

Pria itu mengangguk sambil tersenyum, "saya sedang berburu untuk makan malam dan kebetulan melewati bukit ini."

Mata Shin mengarah ke anak panah dibahu si pria. Tangan kiri pria itu tengah memegang busurnya. Pantas saja dia hanya menahan gerobak tadi hanya dengan satu tangan.

Jika pria ini bisa menahan gerobak dengan satu tangan, bukankah sekarang kekuatan Shin tidak lebih dari manusia biasa?

Shin menghela nafas berat. Sepertinya Shin tak ada harapan untuk kembali ke langit.

"Sebagai permintaan maaf serta rasa berterima kasih saya, jika tuan tidak keberatan silahkan mampir ke gubuk saya di desa."

Wajah pak tua itu memelas penuh permohonan. Siapa yang akan menolak permintaan dengan wajah seperti itu.

Sebenarnya Shin sempat akan tertawa melihat wajah pemilik gerobak, tapi dengan sekuat tenaga dia tahan. Dia tak menyangka ternyata manusia begitu jenaka.

"Dengan senang hati kami akan menerima tawaran baik tuan jika tidak merepotkan, " jawab pria tadi. Pria itu merangkul Shin ramah.

Shin tak keberatan dengan rangkulannya, hanya saja tidakah ini terlalu berlebihan? Mereka bahkan tak saling mengenal nama satu sama lain.

Pada akhirnya Shin hanya membiarkan. Setidaknya berkat pria ini dia bisa membaur dengan manusia lebih cepat tanpa harus berpikir bagaimana caranya memulai.

"Tidak, tentu saja saya tidak keberatan sama sekali. Tuan berdua telah menolong saya, sangat tidak sopan jika saya membiarkan tuan-tuan pergi begitu saja."

"Cukup panggil aku Khun dan temanku ini... " Khun menjeda kalimatnya menatap Shin tanpa melepas rangkulannya.

"Shen, cukup panggil saya Shen."

Entah kenapa Shin menyamarkan namanya. Apa yang dia takutkan?Entahlah. Dia hanya teringat seseorang saat pria paruh baya itu menanyakan namanya.

"Anda bisa memanggil saya Aphoi."

Aphoi pamit mengambil kerbaunya yang masih diatas bukit, sebelum memasang dan mengendarai gerobak untuk kembali ke desa.

Sesampainya di desa, mata Shin dimanjakan oleh pemandangan baru. Banyak orang begitu beramah tamah, saling menyapa dan sangat ramai.

Mereka sahut menyahut berbicara, tertawa, marah dan bahkan ada anak kecil yang menangis. Tentu saja hal itu tak pernah terjadi di langit.

"Ramai sekali, kan?"

Shin mengalihkan pandangannya ke Khun saat pria itu bertanya.

Bukankah ini aneh? Shin belum pernah bertemu dengan Khun, tapi kenapa Shin merasa mereka tampak begitu akrab.

Bahkan Khun tak segan berbicara informal padanya. Shin juga tak merasa keberatan sama sekali saat Khun melakukannya.

"Apa yang mereka tukarkan dengan buah-buahan itu?"

"Yang mana?" Khun mendekat ke arah Shin. Memusatkan mata pada arah tangan Shin menunjuk.

"Ohh, itu perak. Mereka melakukan jual beli dengan logam mulia seperti emas, perak dan perunggu," jelas Khun.

Shin hanya mengangguk mendengar penjelasan dari Khun, sedangkan pria itu hanya terus tersenyum ke arah Shin.

Shin jadi bingung. Apa yang sebenarnya Khun tertawakan darinya. Apakah ada yang aneh dari penampilannya?

Belum sempat Shin bertanya, suara Aphoi membuat Shin teralihkan.

"Anda bisa turun, Tuan. Gubuk saya sangat sederhana tapi saya berharap dapat menjamu tuan-tuan dengan baik. Apa tuan memiliki makanan yang tidak disukai?"

Khun menggeleng, "saya makan apapun."

"Saya juga bukan pemilih soal makanan."

"Sungguh mulia, silahkan duduk. Saya akan menyuruh istri saya untuk segera menyiapkan makan malam."

Mereka berdua mengangguk sambil duduk di ruang depan. Ruang terluas yang berada di rumah itu.

Istri Aphoi tampak mengintip mereka sebentar sebelum kembali ke dalam dapur sambil tersenyum senang.

Shin tak begitu mengerti kenapa wanita tadi bersikap seperti itu.

"Dia melakukan itu karena kau tampan," celetuk Khun.

Shin menatap Khun terkejut. Bagaimana bisa orang di sebelahnya ini tahu apa yang sedang Shin pikirkan? Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya.

"Apa ada sesuatu di wajahku?"

"Sudah kubilang kau tampan, kan."

"Kamu terus tersenyum ke arahku karena aku tampan?" tanya Shin tak mengerti.

"Tidak juga. Aku hanya merasa terhibur."

"Terhibur karena?"

"Tidakah kau merasa disini menyenangkan? Aku hanya mudah merasa bosan dan disini sangat menyenangkan."

Shin menatap Khun tak semakin bingung dengan penjelasannya. Apa dia yang bodoh atau memang perkataan Khun yang sulit dimengerti? Kenapa pria ini sangat membingungkan.

"Makan malam sudah siap tuan-tuan. Silahkan masuk ke dalam."

Istri Aphoi menyambut mereka dengan gembira. Belum pernah dia menjamu tamu yang begitu rupawan seperti keduanya.

Dia memasak semua bahan makanan yang ada di rumah mereka. Tak peduli dengan suaminya yang terus memelas agar menyisakan beberapa untuk kedepannya.

"Tuan berdua benar-benar sangat rupawan? Apakah tuan-tuan ini seorang pendekar?"

Khun tersenyum, dia mengunyah makanan di mulutnya sambil mengangguk sebagai jawaban.

Wanita itu menatap Khun terkejut. Dia tak menyangka dapat bertemu seorang pendekar di desanya.

Dia baru sadar, kemungkinan alasan daerah ini masih aman dari serangan mayat hidup adalah keberadaan dari mereka berdua.

Seorang pendekar adalah manusia terpilih. Mereka dapat mengengbangkan dan berlatih energi mana yang ada pada diri mereka.

Sudah beberapa ratus tahun yang lalu. Manusia mulai berkembang dan mencari cara untuk melawan mayat hidup.

Bahkan negara-negara besar sudah memiliki perguruan yang membantu orang-orang terpilih untuk belajar dan mengembangkan energi mana.

Pendekar sangat dihormati oleh para penduduk karena sangat berjasa bagi mereka. Tentu saja siapa yang ingin berakhir dimakan oleh mayat hidup dan hantu.

Agar desa bisa damai dan aman. Setidaknya harus ada beberapa orang pendekar yang tinggal di sebuah desa.

Sayangnya sudah lama desa ini tak memiliki seorang pendekar. Walaupun begitu desa ini cukup aman untuk ditinggali. Namun tak sedikit juga penduduk desa yang berpindah karena tak ingin ambil resiko.

"Apakah tuan sudah lama menseterilkan daerah sini?" tanya istri Aphoi penasaran.

"Tidak, saya hanya kebetulan lewat saat berburu makan malam."

Suami-istri itu mengangguk mengerti.

"Desa kami begitu damai. Sepertinya daerah kami tidak banyak mayat hidup yang berkeliaran, bukankah begitu?" tanya istri Aphoi memastikan. Karena seharusnya kedua tamunya pasti lebih tahu daripada dirinya.

"Tidak juga. Menurutku desa ini ditinggali seorang iblis yang tidak bisa mereka lawan. Jadi, itu alasan yang membuat semua mayat hidup itu tak berani mendekat."

"Di desa ini ada iblis?" Kini giliran Shin yang bertanya.

Sepasang suami istri itu juga merasa terkejut dan ketakutan.

"Tenang saja, iblis itu hanya tinggal dan tidak akan menggangu. Bukankah itu bagus, lagipula desa ini tidak memiliki seorang pendekar."

"Tapi apakah hal itu bisa terjadi. Maksud saya, apa kita bisa mempercayai seorang iblis?"

"Ungkapan jangan pernah percaya pada iblis itu memang benar, tapi kalian bisa percaya dengan yang satu ini. Aku sudah bertemu dengannya dan dia hanya ingin tinggal, tidak lebih. "

Akhirnya mereka makan malam dalam diam. Sepertinya setelah ini kedua pasangan itu akan memutuskan pindah. Lagipula bagaimana bisa mereka percaya pada seorang iblis? Bahkan mahkluk itu lebih mengerikan dari pada mayat hidup yang tak berakal.

...oOo...

Setelah keluar dari rumah kedua pasangan tadi, Shin memutuskan untuk kembali ke hutan. Jika apa yang dikatakan Khun benar, maka dia harus bertemu dengan iblis itu.

Shin tak begitu mengerti tentang iblis, tapi saat melihat reaksi ketakutan kedua pasangan tadi, tentu mereka tidak akan mudah untuk ditangani.

Shin melirik Khun yang bersiul sambil berjalan di sebelahnya. Sejak keluar dari desa Khun terus saja mengikutinya.

Sebenarnya Shin tak keberatan. Tentu dia sangat terbantu dengan adanya orang yang paham tentang iblis.

Hanya saja Shin merasa ada yang aneh tentang Khun. Dari awal Khun menghentikan gerobak, Shin berpikir apakah manusia biasa bisa menahannya dengan satu tangan?

Apa memang manusia sudah berevolusi menjadi kuat atau hanya dirinya saja yang berubah menjadi sangat lemah?

"Apa yang sedang kau pikiran di kepalamu itu?" tanya Khun pada akhirnya.

"Apa kamu sedang mengikutiku atau memang arah jalan kita yang sama?"

"Apa aku akan diusir?"

Shin menggeleng cepat. Bagaimana bisa dia mengusir orang yang telah membantunya.

"Mengusir dari mana? Bahkan hutan ini bukan milikku."

Khun tersenyum, tangannya yang membawa lentera dia arahkan pada pohon besar di depannya.

"Mau istirahat di sini? kurasa tempat ini tidak buruk."

Shin menatap pohon di depannya. Tingginya dapat membuat mereka terhindar dari hewan buas dan banyaknya dahan memudahkan mereka untuk tidur.

Tanpa menunggu jawaban dari Shin, Khun sudah terbang memanjat pohon dengan lihai membuat Shin terpana. Sungguh, apa benar manusia biasa bisa melakukan itu?

Dengan sigap Khun memasang dua utas tali di atas sana.

"Tidak ingin naik?"

Shin akhirnya terbang naik bersebelahan dengan Khun dan menempati salah satu tali yang sudah terikat.

"Darimana kamu belajar semua ini?"

"Hmm? Oh, aku diajari guruku saat pertama kali berburu malam. Tidur ditali tak begitu buruk, apa kau keberatan?"

"Bukan soal tali, maksudku belajar memanjat seperti tadi. "

"Melompat maksudmu?"

Melompat? Bagaimana bisa terbang disamakan dengan melompat?

"Aku belajar dari perguruan."

"Perguruan? Apa yang mereka ajarkan? Apa mereka juga mengajarkan cara mengembangkan energi mana?"

Khun mengangguk.

Shin menatap Khun tak percaya. Sudah 700 tahun lamanya. Siapa sangka manusia telah berkembang begitu pesatnya.

Lalu apa bedanya dewa dengan manusia, jika manusia saja sudah memiliki kemampuan layaknya seorang dewa?

"Apa kau tidak istirahat?" tanya Khun karena Shin masih saja terduduk, tak lekas berbaring.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin Shin tanyakan pada Khun soal perguruan dan tentu saja soal iblis.

Sepertinya Khun merupakan murid perguruan yang cerdas. Dia pasti menjadi murid yang selalu diandalkan teman-temannya.

"Tolonggggggg..."

###

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!