Di antara banyaknya pengunjung Mall, tiga pemuda di konter ponsel kerap menyita perhatian para wanita, terlebih wanita dewasa sang pemangsa pria muda. Angga dengan status jomblo abadi, terlihat sangat berpengalaman melayani wanita-wanita yang sekedar membeli gantungan ponsel atau aksesoris lain penunjang kecantikan ponsel mereka. Jika wanita-wanita itu melontarkan candaan kepada Angga, maka Angga pun melontarkan candaan bermuatan marketing kepada mereka.
Senyuman terus mengembang di wajah lugu Angga, siapa yang tahu di balik wajah lugu itu bersembunyi lelaki yang haus akan pembeli. Berbeda dengan Kanaya sang sepupu yang terlahir dari keluarga berada, Angga nyatanya hanyalah seorang anak dari keluarga biasa-biasa saja. Tuntutan hidup membuat Angga yang awalnya pemalu menjadi gemar bertegur sapa, selalu bersikap ramah tamah terhadap sesama apalagi kepada pelanggannya.
Bergabung bersama Gibran dan Agam, mereka bertiga membangun sebuah konter ponsel dengan modal yang tidak sama. Agam dan Gibran lebih banyak menanam modal dalam bisnis itu, Angga dengan segala tabungan yang dia punya bahkan tidak sanggup menyumbangkan modal yang sama dengan kedua sahabatnya. Beruntung, Angga memiliki dua sahabat yang sangat baik dan pengertian meski menyebalkan.
Tidak mengapa jika Gibran sang pemalas hanya datang 3/4 kali dalam seminggu untuk menjaga konter. Tidak mengapa jika Agam yang selalu sibuk melayani bunda tercinta, selalu pulang lebih awal dan datang lebih siang dari dirinya.
Sebab, kedua sahabatnya itu memiliki hati seluas samudera, mereka membagi rata laba dari usaha mereka kepada Angga. Selain lebih banyak mendedikasikan diri pada bisnis itu, apalagi yang bisa Angga lakukan untuk membalas kebaikan mereka berdua.
Dirinya yang dahulu hanya berkendara roda dua untuk bepergian, kini mampu membeli kendaraan roda empat berkat bisnis itu. Dapat menghidupi kedua orang tua dan adik-adiknya dengan hasil jerih payah sendiri, bukan apa-apa bagi Angga jika harus menghabiskan lebih banyak waktu bergelut dalam bisnis mereka.
Siang itu, Gibran baru saja melepas penat di kursi kebesarannya. Meraih ponsel hendak memasuki laman game, tiba-tiba kehadiran seorang lelaki tua menyita perhatian. Lelaki tua itu memang bertujuan untuk menemuinya, lantas niat bermain game pun segera Gibran urungkan.
"Bagaimana kabar kamu, nak Gibran?."
"Alhamdulillah, Gibran baik-baik saja om Bagas. Om sedang mencari ponsel? kami punya ponsel pintar dengan fitur terkini Om.""
Bagas tersenyum"Untuk seorang tua seperti diriku, cukup memiliki ponsel sederhana seperti ini saja, nak Gibran" ujarnya memperlihatkan gawai kepada Gibran.
Sebuah gawai dengan merek buah tergigit, Angga tersenyum simpul melihat gawai di tangan lelaki tua itu.
"Gam, apa semua pengusaha kaya menyebut gawai dengan merek itu barang sederhana?."
"Entahlah, aku belum menjadi pengusaha dengan harta berlimpah seperti pak Bagas, jadi aku tidak bisa memberikan jawaban padamu."
Sembari memajukan bibir, kesal"Setidaknya kau bisa memberikan jawaban dengan berkaca pada ayahmu, bukankah dia juga pengusaha kaya."
"Bagaimana aku hendak bertanya, ayahku menggunakan ponsel pintar dengan merek lain."
"Hais! bertanya kepadamu hanya membuang waktu."
"Kau juga membuang waktuku, Angga" balas Agam.
"Ada apa denganmu?, apa kau tertular sifat menyebalkan Gibran?. Aku tahu kau dan dia sama-sama menyebalkan, hanya saja hari ini tingkat menyebalkanmu hampir sama dengan Gibran."
Terdengar helaan napas berat seorang Agam"Entahlah, aku hanya sedikit lelah."
Menilik dari situasi, Angga menangkap sebuah masalah tengah hinggap di pikiran sahabatnya.
"Apa ini berhubungan dengan kak Jena?."
"Bisa dibilang seperti itu, tapi juga bisa dibilang tidak seperti itu."
Kedua mata Angga berputar jengah, perkataan Agam saja sudah membuatnya bingung, bagaimana dengan Agam yang tengah menghadapi kebingungan itu.
"Mau membagi masalahmu denganku?."
Agam hanya diam, jemarinya tengah menari di atas layar ponsel. Menemukan sebuah surah di sana, Agam mengambil earphone"Bisakah aku menenangkan diri terlebih dahulu?."
Kedua tangan Angga terjulur, pria itu juga membuka pintu menuju ruangan pribadi mereka di konter mereka.
"Silahkan, Tuan Agam."
"Plak!" Agam memukul lengan Angga. Di saat seperti ini Angga masih saja menggodanya.
Seperginya Agam menuju ruangan pribadi mereka, Angga melirik Gibran yang masih berbincang dengan mantan mertua Jena. Terlihat pak Bagas menyerahkan ponselnya kepada Gibran, dan menerima kembali ponselnya usai Gibran mengetik sesuatu di sana.
Rasa penasaran menjalar dalam hati Angga, namun cepat-cepat rasa penasaran itu dia tepis untuk menjauh. Menurut nasehat yang pernah dia dengar dari kiyai Bahi, tidak baik jika selalu ingin tahu tentang urusan orang lain. Memilih melangkah ke muara konter, Angga kini disibukkan dengan berbincang ringan bersama pedagang lain.
*
*
*
*
Senja, langit berwarna jingga selalu indah di mata Jena. Meski ombah nan memercik hingga menyapa sang wajah, Jena tidak berniat untuk pergi dari perahu yang dia naiki. Perahu kepala desa yang tengah bertambat di belakang kediamannya, menjadi sasaran empuk untuk wadah menikmati senja kala itu. Di tengah pikiran yang terkecamuk, Jena mencoba mencari ketenang demi mempertahankan kewarasan pada diri sendiri. Sungguh Jena tidak ingin menambah kebahagiaan Tiara dengan menjadi wanita gila sebab masalah yang tengah dia hadapi.
Di atas kapal itu Jena melepaskan semua rasa lelah. Di ayun ombak, di belai sang angin, semesta memberikan pelukan pada wanita lemah itu. Cukup sang pencipta yang tahu betapa lemahnya Jena saat ini, di mata sesama manusia Jena selalu berdiri tegak tanpa takut akan hal apapun.
Dering sang ponsel terdengar samar dari dalam saku jaket yang dia kenakan, sebuah nomor baru tertera di layarnya. Sempat ragu, Jena akhirnya menerima panggilan itu setelah panggilan ke dua.
"Nak Jena."
Suara di ujung sana membuat jantungnya berdebar.
"Aku tahu kau di sana, nak" suara itu kembali terdengar, membuat Jena yang sempat terdiam akhirnya bersuara.
"Ayah Bagas"
"Kau masih mengenali suaraku, syukurlah."
Hati seperti apa yang harus Jena miliki, saat dirinya hendak menenangkan diri, orang-orang di masa tersulitnya terus berdatangan.
"Ada apa ayah Bagas?."
"Bisakah kita bertemu?."
Wanita itu menggigit bibir, hal apa lagi yang ingin disampaikan lelaki tua ini. Bukankah di hari palu sang hakim diketuk mereka sempat bertemu, kenapa tidak dia gunakan saja waktu di hari itu untuk berbicara.
"Jena, ijinkan pria tua ini melakukan hal benar, nak" suaranya terdengar bergetar. Apa yang ingin dia sampaikan memancing rasa ingin tahu Jena.
Melalui panggilan itu mantan menantu dan mantan mertua mengatur waktu untuk bertemu. Sehari setelahnya, mobil milik Bagas terlihat terparkir di halaman kediaman Jena, tentu saja setelah kepergian Gibran menuju konter. Ada banyak hal yang telah Bagas sampaikan kepada Jena.
Tidak seperti biasanya yang selalu tertutup, Jena membuka semua ceritanya bersama Tiara baik di masa lalu juga masa kini.
"Katakan nak, apa yang bisa ayah bantu?."
"Binder merah ayah, aku akan sangat berterimakasih kepadamu jika berhasil membawa binder itu kepadaku."
To be continued....
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nindira
Nah betul apa kata kiyai Bahi lagian biat apa kepoin urusan orang manfaatnya apa coba?
2022-10-13
0
Ria Diana Santi
Wah, tampaknya binder itu amat sangat berharga. Ya pasti itu.
2022-08-11
2
Ria Diana Santi
😆😆😆🤦🏻♀️ Hadehhh ampun dah riweh banget pembahasan kalian ya'
2022-08-11
2