Di bawah naungan malam nan kelam, adalah sebuah lingkaran besar dengan banyak lilin sebagai dindingnya. Tiga beradik tengah berdiri dalam lingkaran lilin itu, juga dengan beberapa lilin yang menyala sebagai pemisah di antara mereka.
Di hadapan lingkaran lilin yang menyala-nyala, nampak pula tiga orang dewasa berdiri tegap. Dua di antara mereka adalah orang tua para bocah-bocah itu. Satu yang berpakaian serba merah sedang memegang tongkat bergemerincing banyak di tangan kirinya, sementara tangan kanan menari-nari di udara dengan mulut yang terus melafalkan sebuah mantra. Sorot mata wanita berpakaian serba merah itu terpaku pada gadis kecil dalam lingkaran, seorang gadis berusia delapan tahun, berdiri di antara abang dan adik laki-lakinya.
"Arkan!! Arkan bangun nak.!!"
Gadis kecil itu perlahan keluar dari lingkaran, wajah lugunya berubah tegang. Cahaya kehidupan seolah padam, menggiring langkah kaki menuju tepian jurang yang tak jauh dari lokasi ritual tersebut.
Orang tua gadis itu hanya diam melihat anak gadisnya berjalan menuju jurang, namun teriakan mereka bergema saat salah satu dari anak laki-laki mereka juga melangkah mengikuti saudaranya.
Peluh membasahi seluruh tubuh Arkan, pria itu masih berpeluk erat dengan sang mimpi.
"Arkan anakku!!! bangun nak!! " Adila menggoyang-goyangkan tubuh anak pertamanya, lagi dan lagi Arkan terusik mimpi buruk itu.
"Ahmad Arkan!!!" teriak Adila.
"Jena !!" sontak tubuh bergetar itu terbangun, mimpi buruk yang telah lama hilang dari hidupnya hadir kembali.
Usai terbangun, Arkan mengusap wajah. Mengedarkan pandangan pada setiap sudut kamar, pria itu kini bertatapan dengan sang Ibu.
"Jenaira____."
Nampak malas"Lupakan mimpi itu Arkan, kau terlalu memikirkan Jena hingga mimpi itu datang lagi. Tidak seharusnya kau terus datang menemui Jena, cukup Gibran saja yang bersamaan di sana."
Pria itu melontarkan sebuah pertanyaan"Bu, Jena juga anak ibu kan?."
"Tentu saja, dia lahir dari rahimku sendiri. Apa kau tidak lelah menanyakan hal itu terus-menerus beberapa hari ini?."
Arkan menggeleng berkali-kali, mimpi itu terasa sangat nyata. Nyala api menari-nari dalam kepalanya dan membuat kepalanya berdenyut hebat.
"Lantas, kenapa Jena diserahkan pada kakek dan nenek?, kenapa sikap ayah dan ibu sangat berbeda kepadanya?, sikap kalian membuatku berasumsi bahwa kami bukanlah saudara kandung!."
Adila mengambil duduk di sofa tunggal, memikirkan Jena membuat batinnya tersiksa.
"Apakah dengan menceritakan segalanya mimpi buruk itu akan hilang selamanya dari hidup Arkan" bisik hatinya.
"Kalian bersaudar kandung, hanya saja jika aku boleh meminta......, aku ingin dia terlahir sebagai pria saja" sebuah kata yang menggelitik emosi Arkan.
"Bu! apa ibu sedang menyalahkan takdir yang mengiringi Jena?."
Adila menggelengkan kepala"Takdir tidak bisa disalahkan. Hanya saja demi kedamaian kita Jena memang harus tinggal berjauhan dengan kita" begitu ringan, Adila seperti tanpa beban mengatakan hal itu.
Kedua alis Arkan beradu, keningnya berkerut. Apa kesalahan yang telah Jena lakukan hingga harus tinggal berjauhan dari keluarganya.
Wanita itu kembali berucap"Mimpi yang selalu menghantuimu bukanlah sekedar mimpi, kejadian itu memang pernah terjadi saat kalian masih kecil" terdengar pelan, namun terasa sangat menghantam.
"Hah??" kedua bola mata Arkan membesar, pantas saja mimpi itu terasa sangat nyata.
"Kehadiran Jena sempat membawa kebahagiaan bagi ayah dan ibu, namun kehadiran Jena juga membawa bencana bagi kami" perlahan Adira mulai bercerita kepada Arkan.
"Sejak kelahirannya bisnis yang kami geluti mengalami kerugian, usaha apapun yang kami coba selalu berujung kegagalan. Hingga saat ayah bertemu sahabatnya, ayah berbagi cerita pada sahabatnya itu tentang musibah yang selalu datang pada kami. Sahabat ayah menyarankan untuk mengintip nasib pada seorang peramal , sejak bertemu dengan peramal itu kehidupan sahabat ayah kian membaik. Bisnisnya lancar dan kemakmuran selalu menyertainya."
Arkan mendengarkan dengan seksama, sudah lama dia menantikan saat-saat seperti ini.
"Dan ayah menemui peramal itu?" tanya Arkan.
"Iya, dan apa kau tahu, penyebab kesuraman yang menaungi kita saat itu?."
"Apa ini berhubungan dengan Jena?."
Adila mengangguk.
Emosi kembali melonjak dalam dirinya"Di mana letak kesalahan Jena, bu?" wajah yang senantiasa tersenyum pada sang ibu, pagi ini terlihat masam.
"Dia terlahir saat kandungan ibu berusia tujuh bulan. Dia terlahir baik-baik saja, namun kelahiran yang terlalu cepat itu membawa kesialan bagi kita semua."
Arkan tak habis pikir, jenis pikiran seperti apa yang di miliki ayah dan ibunya ini.
"Dan tidak seharusnya dia terlahir sebagai wanita. Ibu memiliki nasib tiga pandawa, yang berarti ibu harus melahirkan tiga anak lelaki. Kelahiran Jena jelas menyalahi takdir ibu, dan sebab itulah kita harus menjauhinya. Agar kesialan yang dia bawa tidak berdampak kepada kita."
"Ibu!!! apa peramal itu yang mengatakan hal itu. Di mana alamat peramal itu, Arkan akan memberikan pelajaran padanya" tukasnya dengan kedua tangan mengepal, peramal sialan itu telah sukses mencuci otak kedua orang tuanya hingga Jena menjadi korban.
"Tenanglah Arkan, peramal itu justru sangat membantu kita. Berkat sarannya untuk menjauhkan Jena dari kita, sekarang bisnis yang kita jalani berkembang dengan pesat kan. Kita bahkan dikenal sebagai agen real estate terpercaya di kota ini" sebuah pembenaran, Adila merasa sikapnya tidak salah selama ini. Dia melakukannya demi keluarga, demi suami dan anak laki-lakinya. Lantas bagaimana dengan Jena? bukankah Jena juga bagian dari keluarga mereka?.
"Cih, Arkan pikir alasan ayah dan ibu menjauhi Jena karena dia bukan anak kandung kalian. Sangat tidak disangka alasan kalian sangat menggelikan. Bukankah ayah dan ibu orang berpendidikan, adakah orang berwawasan luas seperti kalian yang tega menelantarkan anak gadisnya hanya karena sebuah ramalan?."
Adila tidak terima mendapat protes dari anak tersayang, lagi-lagi wanita ini membutakan diri dengan pembuktian ramalan itu"Arkan, itu sebuah kenyataan. Lihatlah apa yang kita miliki sekarang!. Sebab dari kecil Jena tidak bersama kita, maka kejayaan ini kita miliki. Lagipula kami tidak menelantarkan Jena, kakek dan nenek kalian yang ingin mengasuhnya."
Bahkan wajah teduh itu berubah merah padam "Dan Arkan yakin alasan kakek dan nenek membawa Jena bersama mereka karena sempitnya pikiran ayah dan ibu. Hanya kalian yang tega melihat kesedihan Jena, kakek dan nenek pasti sangat terluka mendapati cucu kecil mereka diperlakukan berbeda. Bahkan di dalam ruang lingkup keluarganya sendiri" ingin sekali Arkan menunjuk wajah sang ibu, tapi ahk sudahlah, Adila tetaplah ibu tersayang yang harus dia hormati.
"Hentikan Arkan, baru beberapa hari berada di dekat Jena, kau sudah berani menasehati ibu!."
Arkan menghela napas berat"Bu, tidak adakah sedikit pun rasa sayang di hati ibu untuk Jena?, bahkan sekarang banyak orang sedang menghujatnya. Dan apa ibu tahu alasan perpisahan Jena dan Dewa?."
"Itu karena kesalahan dia sendiri, Arkan. Kau tidak perlu membelanya. Lagipula kami sudah mengirim Gibran untuk tinggal bersamanya. Menurut peramal itu bintang kemujuran Gibran mampu melawan kesialan Jena. Jadi kita cukup mempercayakan segalanya kepada Gibran saja."
Lagi-lagi peramal, membuat Arkan mencebik"Ck!!!, di jaman modern seperti ini, ibu sangat mempercayai hal itu?."
"Bagaimana ibu tidak akan percaya, apa yang peramal itu katakan semuanya benar. Ah, mengenai perpisahan Jena, peramal mengatakan hal itu terjadi sebab Jena memiliki pria lain. Apa yang bisa kami lakukan untuk membelanya jika kehadiran orang ketiga itu ada pada Jena??!."
Seketika Arkan berkata "Salah!!!! peramal itu salah besar. Perpisahan Jena dan Dewa memang karena orang ketiga, tapi Dewa yang berselingkuh bu, bukan Jena!."
Kedua mata Adila bergetar, dia berpaling muka.
"Ingat baik-baik bu, Dewa yang berselingkuh. Bukan Jena" ulang Arkan penuh penekanan.
"Ck, sudahlah. Jika memang begitu, mereka sudah berpisah kan. Itu sudah jalan hidupnya."
"Dia sedang di rundung masalah, tidak inginkah ibu berbagi tempat di rumah ini bersama Jena?, dia sedang membutuhkan kita?" ujarnya membujuk sang ibu.
"Tidak" suara berat Abian terdengar dari balik pintu. Kepala keluarga itu menolak untuk membawa darah dagingnya masuk dan tinggal bersama.
"Ayah, Jena sedang___."
"Cukup Arkan, bukankah kau sudah mendapat jawaban atas segala pertanyaan. Ayah akan membantunya tapi tidak untuk kembali ke rumah ini. Hari sudah siang, apa kau tidak bekerja?."
Baik Arkan ataupun Adila, tak satupun yang kembali berbicara di antara mereka.
Arkan segera bangkit dari tempat tidur, menyabet handuk dan menyampirkannya di pundak. Pria itu berjalan menuju kamar mandi tanpa sepatah katapun, begitulah Arkan jika sedang kecewa.
Adila keluar dari kamar Arkan, mengekor langkah suaminya menuju ruang makan.
"Peramal itu___" kata-kata Abian tercekat.
"Ada apa dengannya? selama ini kita hanya berkomunikasi via telepon, apa dia datang menemuimu?."
Alih-alih menjawab perkataan Adila, Abian menyerahkan ponsel pada istrinya. Pada salah satu laman media ternama, sang peramal tengah menjadi berbincangan. Bahkan berita sang peramal mampu menutup berita viral Jena dan gadis_pena.
"Seorang peramal abal-abal berhasil di ringkuk di kampung halamannya" sebuah judul berita yang membuat Adila mengerutkan kening.
*
*
*
*
Di kediaman Dewa
Nasib sial tengah bekerja dalam kehidupan Tiara. Bagas memergoki menantunya tengah berbincang dengan pria lain. Meski berbisik-bisik, pendengaran Bagas menangkap semua percakapan Tiara dengan sangat baik. Pria di ujung telepon mengatakan rindu kepada Tiara, wanita itu selalu tersenyum saat berbincang bersamanya.
Baru menyadari kehilangan menantu baik seperti Jena, membuat Bagas kesal saat memergoki keburukan sang menantu baru. Apalagi saat pria di ujung sana menanyakan keadaan sang jabang bayi, betapa kedua mata pria payuh baya itu membulat besar"Aku pikir itu benar-benar cucuku!!" geram hatinya.
Hilangnya sebuah dukungan, Tiara yang tengah berceloteh manja pada pria lain akan segera mendapat pelajaran dari seorang Bagas, ayah mertua yang awalnya memberi restu pada pernikahan mereka
Kura-kura dalam perahu, Bagas berpura-pura tidak tahu. Bersikap seperti biasa saat bertemu Tiara, tanpa orang lain tahu Bagas sedang meracik bom waktu yang akan dia lemparkan kepada Tiara jika saat nya tiba.
"Jena yang malang, tunggulah sebentar lagi. Ayah akan membantumu dari sini."
To be continued....
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nindira
Ibu jujur dong Jena itu anak siapa?
2022-10-13
0
Ria Diana Santi
Maksudnya ini apa ya?🙄 Apakah ini nyata adanya atau bagaimana?
2022-08-09
2
Ria Diana Santi
Sebenarnya, kau ibu jenis apa, Dira?🤐🙄
2022-08-09
2