"Sampai kapan kau akan terus memandangi layar komputer itu, sebaiknya aku mengantar kau pulang saja, Jena."
Jena tak menghiraukan perkataan Arkan, dia pun tak tahu apa yang harus dia lakukan saat ini. Sebelum masuk ke kawasan pantai dia mendapat telepon dari Salman, jika memang dia bisa membuktikan bahwa karya itu miliknya maka Salman akan membantunya dengan segala cara.
Tiara dan Jena sama-sama penulis terkenal, berbeda dengan Jena yang wajahnya mulai dikenal khalayak ramai, sampai saat ini Tiara masih bersembunyi dibalik nama penanya.
"Apa yang kau cari menggunakan komputer itu? lebih baik kita pulang saja. Abang akan membantumu menyelesaikan masalah ini."
"Kau bisa diam tidak? jika tidak ingin pergi dari sini setidaknya tutup mulutmu."
"Jenaira...., aku tau kau kelelahan. Sebenarnya apa yang sedang kau cari? apa kau tidak ingin berbagi masalahmu denganku? kita saudara Jena."
"Kletak " Jena melempar bolpoin"Abang tahu siapa penulis peniru itu?."
Arkan menggeleng.
"Dia Tiara"
"Sahabatmu?" tanya Arkan.
"Lebih tepatnya mantan sahabat" jelas Jena, begitu enggan dia membahas Tiara.
Kening pria itu berkerut, Sejauh ini Jena tak pernah benar-benar bercerita perihal karamnya biduk rumah tangga. Keluarganya hanya tahu bahwa sudah tidak ada kecocokan antara dirinya dan Dewa.
"Apa kau dan Tiara berselisih? kenapa karyamu bisa diakui oleh Tiara?."
Entah mendapat bisikan dari mana, Jena yang biasanya tak ingin berbagi, malam itu membuka kisah kelam rumah tangganya kepada Arkan, kakak laki-lakinya.
Mati-matian Arkan menahan amarah saat mengetahui segalanya, rahangnya mengeras dengan kedua mata sangat merah. Arkan gusar, tidak disangka rumah tangga adiknya karam dan kandas karena orang ketiga, terlebih orang ketiga itu adalah sahabat adiknya sendiri.
Sesuka hati Tiara meniru karya milik orang lain, dan mengunggahnya di laman menulis novel. Karya itu membuka jalan kedunia impiannya, dunia yang selama ini dia impikan. Selain suami, Tiara juga mengambil sesuatu yang sangat berharga bagi adiknya. Abang mana yang tidak akan marah saat hal itu terjadi kepada adik kesayangannya. Meskipun sikap Jena selalu dingin bahkan kerap menolak kehadirannya, Arkan tidak bisa diam saja.
"Coba kau lihat tanggal terbitnya karya milik Tiara, siapa yang lebih dahulu mempublikasikan karya itu di antara kalian berdua."
Astaga!!! kenapa Jena melupakan hal itu. Bukankah dari tadi dia bolak balik di antara karyanya dan karya Tiara.
Jena mulai menguap, Arkan tahu apa yang sedang diperlukan Jena saat ini"Apa kau haus? mau kubawakan kopi?."
"pantry nya ada di sebelah sana" sahut Jena menunjuk arah tak jauh darinya.
Jemari kecil Jena menari dengan lincah di atas keyboard, memasuki laman aplikasi menulis wadah Tiara menelurkan karyanya. Jena mulai sibuk mencari-cari, Arkan meninggalkan wanita bersurai panjang itu dengan kesibukannya.
Di lorong hendak menuju pantry, Arkan bertemu Agam dan Gibran"Satpam itu mengijinkan kalian masuk?."
"Dia satpam yang ramah, setelah mengetahui Gibran adik kak Jena, dia langsung mempersilahkan kami masuk."
"Satpam model apa itu, dia bahkan tidak menaruh curiga pada kalian. Bagaimana jika kalian adalah orang jahat, akan sangat berbahaya bagi Jena" protesnya. Arkan akan menyampaikan hal itu nanti pada pak satpam.
"Tidak ada orang jahat bang, kak Jena kan orang baik."
"Kau sangat yakin mengatakan hal itu, apa kau tahu masalah yang sedang Jena hadapi adalah karena ulah sahabatnya sendiri."
Agam dan Gibran terkejut, Arkan pun menceritakan segalanya kepada mereka berdua. Usai bercerita, Arkan juga meminta mereka untuk selalu menjaga Jena, sepertinya keluarga Dewa akan terus mengusik ketenangan hidupnya.
Di meja kerja Kirana, Jena menemukan fakta bahwa novel milik Tiara terbit dua bulan setelah karyanya di terbitkan. Ada setitik harapan di hatinya, seandainya binder merah itu ada padanya Jena pasti akan lepas dari tuduhan itu.
Perlahan Agam menghampiri Jena"Apa kau perlu bantuanku?."
Suara itu mengejutkan Jena, tidak menyangka Agam akan ada bersamanya saat ini. Ekor matanya menangkap sosok Gibran di ujung lorong, tengah berjalan bersama Arkan ke arahnya.
"Apa yang kalian lakukan di sini?."
"Tentu saja untuk menemanimu, Jena" sahut Arkan.
Satu alis milik wanita itu menukik naik"Apa aku tidak salah dengar?? kau? menemaniku di sini?" seringai tawa terbit di wajah Jena. Jari telunjuk nya mengarah pada Gibran, adik tengil kesayangan orang tuanya.
Pandangannya lurus menatap Gibran"Aku sedang dalam masalah, apa kau sangat senang sekarang, hingga datang kesini untuk menambah masalahku?."
"Bukan begitu kak Jena, Gibran sangat khawatir ketika kau tidak ada di rumah. Dia bahkan menelponku dan Angga untuk membantu mencarimu."
Jena terdiam.
"Kedatanganku juga karena menerima kabar hilangnya dirimu, Jena" Arkan menambahkan.
"Aku tidak hilang, buktinya sekarang aku bersama kalian" sentak Jena tak senang dikatakan hilang.
Gibran pun berucap"Iya sekarang kau bersama kami, tapi beberapa jam yang lalu kau tidak berada di rumah, sementara waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam."
Jena kembali menatap layar komputer"Aku bukan akan kecil yang perlu kalian cari saat menghilang."
Gibran mendekati Jena"Kak___."
"Diamlah!! aku sedang sibuk. Jika kalian diam aku tidak akan mengusir kalian dari sini."
Mereka para pria berpandangan"Baiklah" ujar mereka bersamaan.
Tiga pria itu pun sepakat untuk diam, Arkan meletakan kopi di hadapan Jena, Agam menyibukan diri dengan melihat-lihat novel horor karya Jena di rak buku, Gibran merebahkan diri di sofa. Rasa khawatir sangat menguras tenaga, merebahkan diri di sana terasa sangat nyaman hingga membuatnya terlelap.
*
*
*
*
Pagi nan cerah di kediaman Dewa, kicau burung saling bersahutan di luar jendela. Suara itu bagai nyanyian pagi yang membangunkan Dewa untuk segera melakukan aktivitas pagi yang kerap dia lakukan. Pria itu mengecup mesra kening sang istri sebelum beranjak ke kamar mandi, membasuh muka dan menyikat gigi, Dewa segera bersiap untuk lari pagi di sekitaran rumahnya.
"Bagaimana keadaan menantuku? apa dia tidur dengan nyenyak?" tanya Jelita mendapati Dewa di halaman rumah.
"Sepertinya sedang ada masalah, bu. Dia sempat mengigau tadi malam."
Jelita membuang napas"Wanita mandul itu mengganggunya."
Ada rasa marah saat Dewa mendengar ucapan Jelita, sejujurnya dia tidak rela Jena selalu dipanggil dengan sebutan wanita mandul"Bu, Jena sudah tidak ada di sini, bisakah berhenti memanggilnya dengan sebutan itu."
Jelita melengos"Kau selalu membelanya!."
"Bukan begitu bu, dia sudah mengalah. Dia sudah pergi dari kehidupan Dewa, Dewa juga sudah berbahagia bersama Tiara yang sedang mengandung cucu yang ibu idam-idamkan."
"Dia pergi dengan uang pesangon yang banyak, aku membayar waktu yang dia habiskan di sini. Lagipula, dia memang mandul kan, kenapa aku tidak boleh memanggilnya dengan sebutan itu??" celotehan Jelita tak berperasaan. Dia memang memberikan sejumblah uang kepada Jena, dan Jena yang tidak bodoh jelas menerima uang itu. Mobil yang di hadiahkan Dewa padanya dia tinggalkan, anggap saja uang itu sebagai ganti rugi atas mobil yang seharusnya dia bawa.
Dewa mengusap wajahnya kasar"Dewa pusing! terserah ibu saja."
"Dewa!" sentak Jelita saat putranya hendak bergegas pergi.
"Katakan apa yang di igaukan Tiara tadi malam."
Dewa kembali mendekati Jelita"Dia meracau, Dewa juga sedang tertidur jadi apa yang dia katakan tidak terdengar jelas di telinga Dewa."
"Kau berbohong!."
"Ck! jika tidak percaya kenapa bertanya pada Dewa, sudahlah bu Dewa ingin olah raga."
Jelita merengut kesal atas kepergian Dewa, kepergian Jena merubah pribadi putra semata wayangnya. Entah pelet apa yang Jena berikan kepada Dewa, sudah menghilang dari kediamaan itu pun Dewa masih saja membelanya.
Jena dan Tiara, dua wanita itu memang ada di hati Dewa namun tahta tertinggi tetap berada di tangan Jena. Terlanjur berselingkuh dengan Tiara, Dewa tidak kuasa menolak perintah Jelita untuk menikahi wanita itu. Penolakan Jena untuk di madu menambah keresahan di hati Dewa, sedangkan bayi dalam kandungan Tiara sangat Jelita inginkan. Sebuah keputusan terberat saat dirinya memilih Tiara dari pada Jena, mengetahui betapa menderitanya Jena selama mengarungi bahtera rumah tangga bersamanya, membuat Dewa terpaksa melepaskan wanita itu begitu saja. Biarlah dia mencari kebahagiaannya sendiri, Dewa sungguh tak tega mendengar hinaan yang selalu Jena terima dari Jelita.
*
*
*
*
Belum usai masalah yang sedang dia hadapi, Jena kini terdiam kaku setelah mendapat telepon dari ibu yang melahirkannya.
"Kau sudah dewasa Jena, kenapa kau merepotkan Arkan dan Gibran dalam masalahmu?. Lihatlah pagi ini Arkan terlambat ke kantor, dia hampir melewatkan rapat penting dengan klien."
Deru ombak di tengah lautan bagai sebuah undangan untuk Jena bergabung di sana. Mengapung sejenak hingga akhirnya tenggelam, menari-nari dalam lautan hingga akhirnya hilang ditelan samudera. Ah, pikiran itu tengah menghinggapi Jena pagi itu.
To be continued....
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nurlela Nurlela
akan>>>anak
2022-11-06
0
Nindira
Semangat cantik🥰💪
2022-10-10
0
Maya●●●
2 like mendarat thor
2022-09-30
1