Tiara menatap layar laptop, panggilan video itu merusak mood menulisnya. Dirinya dan Jena dulunya adalah sahabat, memiliki hobby yang sama yaitu menulis membuat dua wanita itu memiliki impian yang sama, yaitu menjadi seorang penulis.
Banyak kesamaan di antara mereka berdua, baik itu makanan juga minuman. Gaya berpakaian mereka juga sama, sama-sama anggun dan selalu rapi. Juga banyak hal yang sama-sama mereka sukai, termasuk hujan dan senja, dua wanita itu sangat menyukai dua hal itu.
Meski banyak hal sama yang mereka miliki, tetap saja gaya tulisan dan cara menulis mereka memiliki perbedaan. Tugas Jena sering kali mendapat nilai sedikit lebih tinggi dari Tiara, awalnya Tiara tak mempermasalahkan hal itu, hingga saat mereka memiliki kesamaan pada kriteria lelaki pujaan, persahabatan dua wanita itu mulai tipis hingga retak sebab pria yang mencintai Jena juga di cintai oleh Tiara.
Tak ingin kembali mendapat predikat peringkat kedua, Tiara mulai bertindak. Dan tindakan itu adalah awal dari perpecahan hubungan mereka. Dewa yang saat itu berstatus suami Jena ternyata memiliki ibu yang sangat ingin menimang cucu. Usia pernikahan Jena dan Dewa memasuki tahun kedua, namun Jena tidak juga memberikan kabar baik pada ibu Dewa. Mengetahui hal itu Tiara mulai mendekati keluarga Dewa, berstatus sahabat Jena dia datang dan pergi ke kediaman mereka dengan alasan mengunjungi Jena.
Perlahan namun pasti Tiara yang awalnya mengunjungi Jena menemukan celah untuk mendekati ibu mertua sahabatnya itu. Jelita, keseharian mertua Jena hanya berleha-leha saja, menghabiskan uang yang dihasilkan suami sementara dia selalu meminta Jena untuk bekerja diluaran sana. Kesal karena Jena bukanlah menantu yang penurut, Jelita kerap menyinggung bahkan memaki Jena. Sebutan wanita mandul sering dia gunakan ketika memanggil Jena saat itu.
Niat buruk Tiara berbuah manis, hubungannya dan Jelita semakin hari semakin baik. Bukan Jena lagi yang dia kunjungi saat bertandang ke kediaman Dewa, melainkankan Jelita. Pintarnya Tiara mengambil hati wanita paruh baya itu, ide gila pun menyeruak dalam pikiran.
"Apa??! ibumu ingin mengambil Tiara sebagai menantu? bukankah kau anak semata wayang mas?? jangan katakan aku dan Tiara harus bermadu."
"Ibu menyayangimu Jena, dia tidak ingin terus menuntut anak darimu. Jadi dia memilih Tiara menjadi istri keduaku, siapa tahu Tiara bisa memberikan dia banyak cucu hingga keluarga kita jadi damai dan bahagia."
"Jadi maksudmu kehadiranku tidak membawa kebahagiaan bagi keluarga ini?? aku sedang berjuang untuk mengandung mas, bisakah kau meminta ibu untuk sedikit bersabar?" Jena memohon pengertian dari keluarga Dewa. Awalnya hal itu Dewa pahami, namun kucing mana yang akan mampu bertahan saat daging segar selalu berlalu-lalang di hadapannya?
Bersekongkol dengan Tiara, Jelita menjerat anaknya sendiri untuk melakukan hal hina. Di belakang Jena mereka melakukan perselingkuhan hingga Tiara dinyatakan hamil.
*
*
*
*
Di sebuah cafe pinggiran kota, Jena melabuhkan diri di sana. Usai berjumpa dengan Salman dan menyampaikan keluh kesahnya tentang Kirana, wanita itu ingin melupakan sejenak permasalahan yang sedang menghinggapi hidupnya.
Memandangi nomor yang telah lama dia blok di akun gelembung hijau, malam itu Jena kembali membuka nomor itu. Foto profil yang Tiara gunakan saat itu membuat hatinya berdesir, pria itu tersenyum dengan kedua mata seperti bulan sabit. Memeluk Tiara dengan erat seolah dunia hanya milik mereka. Selera makan tiba-tiba sirna, bulir air mata memaksa turun dari kedua matanya.
"Sudah hampir 1 bulan, kenapa masih terasa sakit" matanya berkaca-kaca, lekas dia usap sebelum anakan sungai menggenangi kedua pipi. Betapa bodoh Jena saat ini, untuk apa memandangi potret dua pengkhianat itu, hatinya menjadi kembali tersakit.
Di sana, saat Jena duduk sendiran menikmati minumannya seseorang datang mendekat.
"Jenaira."
Wanita itu berbalik, mendapati rekan sesama penulis yang sudah lama tidak bertemu.
"Boleh aku duduk di sini?" tanyanya menunjuk kursi di hadapan Jena.
"Hem" sahut Jena singkat.
"Cafe ini memiliki varian kopi yang nikmat, apa kau sudah mencoba rasa terbaru?."
"Aku tidak suka mencoba-coba, Rio."
Pria bernama Rio itu melempar senyuman kepadanya"Oh, kemarin aku mencoba kopi ini. Cukup enak, kau mau mencicipinya?" gelas kopi yang semula ada di tangannya kini dia sodorkan kepada Jena.
Wanita itu hanya memandangi gelas yang Rio sodorkan tanpa ekspresi.
"Tenang saja aku belum meminumnya" tambah pria yang sangat menarik perhatian itu. Tubuh tinggi menjulang, wajah tampan dan penampilan yang menarik jelas saja kehadiran Rio menjadi pusat perhatian.
"Sudah ku katakan, aku tidak suka mencoba-coba" Jena memutar balik kopi itu menuju tuannya.
"Baiklah, aku tidak akan memaksa. Bagaimana kabarmu?."
"Aku baik-baik saja."
"Benarkah? aku mendengar kabar tidak enak tentangmu belakangan ini."
"Oh ya, tentang aku yang dituduh menjiplak karya orang lain? atau tentang kabar lain?" Jena mengerutkan kening, ada dua kabar yang sedang mengikutinya belakangan ini. Jena yang telah janda dan penulis yang menjiplak karya orang lain. Di antara kedua kabar itu bisa jadi Rio mengetahui semuanya.
"Apa yang akan kau lakukan, aku tidak yakin dengan tuduhan itu."
"Baguslah jika kau tidak yakin, setidaknya pikiranmu berbeda dengan isi kepala Kirana."
"Editor kita memang menyebalkan, apakah dia tidak mendukungmu?."
"Begitulah " ujarnya menghela napas.
"Aku melaporkan tindakannya pada pak kepala, sialnya aku masih harus bekerja sama dengan si gadis dungu."
"Kau berharap dia dipecat?."
Ujung mata wanita itu melirik tajam kepada lawan bicara"Aku hanya berharap pak Salman mengganti editorku, aku masih punya hati, Rio."
Seulas senyuman di wajah Rio kembali mengundang perhatian wanita-wanita lain di cafe. Berbeda dengan Jena yang tidak peduli akan hal itu"Jika kau masih punya hati bisakah aku memintanya untuk kumiliki?."
Seketika Jena dan Rio berpandangan, tatapan lembutnya disambut hambar oleh Jena.
"Berhentilah berharap pada manusia Rio, kau akan kecewa."
"Harapanku tidak akan berhenti Jena, kau masih menjadi tujuan hidupku" ucapnya masih memandang lembut wanita yang sudah lama dia sukai.
"Hentikan, kau membuatku muak" Jena berniat pergi dari situ, namun kecepatan tangan Rio berhasil menahan kepergiannya.
"Aku sudah tahu kabar pernikahanmu."
"Cih, kabar itu tersebar dengan sangat cepat" ujarnya menarik lengan dari genggaman Rio.
"Kau masih punya aku Jena."
"Aku tidak ingin memiliki siapapun, Rio."
"Sampai kapan kau akan menolakku? kita menjalani profesi yang sama, hobby yang sama, jenis minuman yang sama" ujarnya menunjuk kopi di atas meja.
"Dan sekarang kau sudah melajang, kau tidak punya alasan untuk menolakku lagi, Jena."
"Memiliki persamaan bukan sebuah alasan untuk kita harus bersama. Aku pernah memiliki seorang sahabat yang banyak memiliki persamaan denganku, namun perlahan dia merebut segalanya dariku. Apa kau pikir aku berniat kembali masuk kedalam hubungan yang didasari sebuah persamaan?."
"Aku tidak sama dengan orang itu."
"Aku tahu, tapi tetap saja kau dan aku tidak akan bisa menjadi kita."
Rio kembali meraih jemari kecil Jena, meremasnya penuh harap"Aku menunggumu, selamanya aku akan menunggumu."
Prilaku pria itu semakin menyita perhatian orang, dan Jena sangat tidak suka menjadi pusat perhatian"Maaf Rio, sebaiknya aku pulang saja" melepas kembali jemarinya dari genggaman Rio.
Pria tampan itu tidak menyerah begitu saja"Aku akan mengantarmu pulang, kau akan kembali ke kediaman orang tuamu kan?."
"Itu bukan urusanmu, aku bisa pulang sendiri."
"Ayolah, Jena" suaranya terdengar memelas.
"Apakah kau ingin aku menghindarimu?" sebaris kata yang mampu menyurutkan semangat Rio. Jika sudah begitu dia tidak akan bisa mendekati Jena lagi.
Usai membayar minumannya Jena segera pergi dari cafe, Rio sangat terkejut saat mengetahui Jena mengendarai motor. Bukankah wanita itu memiliki mobil sendiri?
Dalam malam yang temaram, Jena berniat kembali ke kediamannya. Meski sendirian dia tidak merasa takut melewati jalanan sepi saat malam hari. Membelah jalanan dengan kecepatan tinggi ponsel di saku ranselnya berdering.
Di ruman pantai, Gibran tengah gelisah menanti kepulangan Jena, jam sudah menunjukan pukul sepuluh lewat tapi wanita itu belum juga muncul.
Berkali-kali melakukan panggilan pada nomor sang kakak, Gibran tak kunjung mendapat jawaban. Kegelisahan semakin meraja dalam dirinya, dia pun memutuskan untuk mencari keberadaan Jena. Kabar plagiarisme yang dituduhkan kepada Jena sudah menyebar kemana-mana. Sebagai salah satu penulis terkenal dari perusahaan Will, membuat kabar itu mencuat ke permukaan dan berdampak buruk.
Para netizen dengan kekuatan jemarinya mulai berspekulasi, ada yang tidak membercayai tuduhan itu namun tidak sedikit yang mulai melontarkan komentar jahat kepada Jena.
"Dia penulis novel horor, bukan penulis bergenre romantis. Apakah dia benar-benar menjiplak karya itu?."
"Kemungkinan tuduhan itu 80%."
"Aku menyukai semua karyanya, aku bahkan sedang menunggu kedatangan novelnya di ******** ******, apakah aku harus membatalkan pesanan itu?."
"Kalian jangan termakan hoax, penuduh itulah yang menjiplak karya Senja_jingga" begitulah nama pena Jena mereka kenal.
"Aku sudah membaca karya Senja_jingga dan Gadis_pena, tulisan mereka sangat mirip. Aku tidak tahu siapa penulis asli dari karya itu."
"Jelas saja Gadis_pena, dia spesialis penulis novel romansa."
"Senja_jingga hanya menulis novel horor, sangat tidak mungkin jika dia menulis novel romansa."
Komentar-komentar itu membuat Gibran geram, pasti hilangnya Jena malam ini ada kaitannya dengan berita yang sedang ramai saat ini.
Sampai pada perkotaan Gibran tak menjumpai Jena di sepanjang jalan, kemana wanita itu pergi. Merasa memerlukan bantuan, Gibran menghubungi dua sahabatnya untuk membantu mencari Jena. Gibran juga menceritakan kabar yang mungkin menjadi penyebab hilangnya Jena kepada mereka. Tanpa membuang waktu meski malam semakin larut Angga dan Agam segera membantu mencari Jena.
Angga berkendara dengan kecepatan rendah, mungkin saja dia berjumpa dengan Jena di jalanan.
Agam keluar dan masuk kedai kopi, teringat Jena yang sangat menyukai kopi mungkin saja wanita itu sedang menghibur diri dengan menikmati minuman kesukaanya itu. Namun usaha Agam tak membuahkan hasil, dia juga berkali-kali menghubungi nomor Jena dan hasilnya nihil.
Lelah mencari Jena kemana-mana, tiga pemuda itu memutuskan untuk berkumpul di depan gerbang menuju pantai. Angga sampai lebih dulu di sana, disusul Agam setelahnya.
"Ponselnya tidak merespon, apa ponselnya mati?."
Ucapan Angga menambah kegelisahan pada diri Gibran, terlebih pada diri Agam.
"Apa mungkin dia pulang ke rumah mama?" gumam Gibran.
"Ya! coba kau tanyakan pada kedua orang tuamu" tukas Agam. Kekhawatiran tergambar jelas di wajah Agam, pria dengan kulit putih itu berkali-kali terdengar menghela napas kasar"Kau pergi kemana Jena" desisnya menyugar rambut sembari jongkok, rasa frustasi mulai menghinggapi dirinya. Agam takut terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap Jena.
"Mama tidak menemukan kak Jena di rumah" suara Gibran terdengar sendu.
"Aku akan mengabari bang Arkan" lanjutnya menghubungi nomor kakak tertua.
Masalah yang Jena hadapi telah sampai ke telinga Arkan, tanpa pikir panjang Arkan segera meluncur ke perusahaan Will. Meski tubuhnya terasa lelah usai meeting online, itu tidak menjadi halangan untuk mencari keberadaan sang adik. Sudah sangat banyak kesalahpahaman di antara mereka yang terjadi di masa lalu, Arkan tidak ingin di cap sebagai abang yang gila kerja dan tidak menghiraukan saudaranya lagi.
Entah dapat firasat dari mana, begitu saja Arkan teringat dengan perusahaan penerbit Will saat Jena di kabarkan hilang. Sempat bertanya kepada satpam yang sedang berjaga, Arkan Akhirnya dapat bernapas dengan lega.
"Jena di perusahaan penerbit Will" ujarnya berbagi kabar dengan sang adik laki-laki, Gibran.
"Apa yang dia lakukan di sana tengah malam seperti ini??" gerutu Angga.
"Sekarang dia sudah di temukan, apa kau ingin segera pulang?."
Angga mengangguk menanggapi pertanyaan Agam.
"Terimakasih sudah membantu mencari kak Jena, kalian memang sahabat terbaik" tutur Gibran.
"Aku akan menyusulnya ke sana, lebih baik kalian segera pulang."
"Aku akan ikut bersamamu" Agam masuk ke dalam mobilnya dan mengambil ponsel.
"Kau tidak khawatir dengan tante? mungkin dia sedang menunggumu pulang saat ini."
"Aku akan segera pulang setelah memastikan Jena bersamamu."
"Terserah kau saja Gam, yang jelas sekarang aku hanya ingin cepat pulang. Aku sangat lelah dan mengantuk."
Angga beranjak pergi dari sana, menyisakan Gibran dan Agam yang masih berbincang.
"Kau tidak menghubungi tante Arabella dulu?."
Agam memperlihatkan ponsel yang di pegang sedari pada"Aku akan mengirimkan pesan padanya, kenapa kau cerewet sekali Gibran."
"Aku hanya tidak ingin saudariku menjadi masalah bagimu, restu tante Arabella sangat berarti bagi hubungan kalian, bukan?."
"Tentu saja" Agam tak lagi berbicara setelah menjawab perkataan Gibran. Sebagai seorang sahabat Gibran menangkap signal tidak baik atas diamnya Agam.
"Apa tante tidak menyukai kak Jena?."
Sedikit terkejut"Wah!! apa kau seorang dukun?."
"Jadi tebakanku benar??" kedua alis tebal Gibran bertaut naik.
"Hem" Agam mengangguk dengan wajah tertekuk sedih.
Gibran ikut terdiam, nasib buruk apa yang terus mengikuti sang kakak. Sampai detik ini harapan Gibran agar Jena bahagia seolah kecil kemungkinan untuk tercapai.
"Duhai semesta, bisakah kau membuat senyumnya kembali?" lirih sang adik tengil.
To be continued.....
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nindira
Hadir thor
2022-10-10
0
Ria Diana Santi
Aihhh pait³ ... enaknya kau bicara sungguh tak tau menjaga perasaan dirimu itu Dewa. Hadehhh 🤦🏻♀️ ampun deh...
2022-08-02
3
Ria Diana Santi
Kenapa aku merasa ini adalah kisah nyata ya?😁
2022-08-02
2