Seorang wanita paruh baya bergegas menuju pekarangan rumah saat mobil sang putra terdengar di sana. Mengenakan daster panjang dan juga kerudung yang panjang, wanita yang kerap dipanggil bunda oleh Agam mengulas senyum saat pandangan mereka bertemu.
"Sudah puas berlama-lama di pantai? sampai lupa dengan bunda di rumah."
Agam menarik cinta pertamanya kedalam pelukan"Maaf cantik, tadi malam hujan turun sangat deras di sana. Saat reda hari pun sudah sangat malam" ujarnya masih mendekap sang bunda yang hanya tertawa dalam pelukannya.
"Hem, bunda sudah tahu. Bagaimana keadaan Gibran? apa dia sudah sembuh dari demam?."
Agam mengusap pelan punggung sang bunda"Dia sudah sembuh, apalagi setelah mendengar suara bundaku yang cantik ini kesehatannya semakin membaik" pujian demi pujian tak hentinya Agam berikan pada sang bunda, membuat wanita itu terus tersenyum saat sedang bersamanya.
"Kau memang pandai memuji, sampai kapan kau akan memanggil bunda dengan sebutan cantik?."
"Selamanya, bunda adalah wanita tercantik di dunia ini. Bagaimana Agam bisa berhenti memanggil bunda dengan sebutan itu sedangkan kecantikan bunda selalu abadi."
Nyonya Nur Arabella kembali tertawa, kali ini wanita itu melepaskan pelukan sang putra sembari memukul pelan lengan sang putra"Mulutmu terlalu banyak memakan permen jeruk, kata-kata mu menjadi terlalu manis, Agam."
Lantas Agam mengeluarkan permen jeruk yang kerap dia bawa kemana-mana"Permen yang ini? apa bunda tahu bahwa permen ini akhirnya bertemu dengan orang yang sangat menyukai rasanya kemarin?."
"Apa kau bertemu Jena?."
Agam mengangguk senang.
"Apa yang membuatmu senang? dia wanita yang telah bersuami, ingat Agam kau tidak bisa terus menyukainya, carilah wanita lain yang juga menyukaimu" ujar Arabella yang belum mengetahui status baru Jena.
Agam duduk bersama Arabella di sofa beranda, sembari memainkan daun bunga Teronia ungu di atas meja"Apa bunda akan marah jika mendapat menantu seorang janda?."
"Agam! apa maksudmu?" Arabella terkejut, tidak di sangka-sangka Agam akan melontarkan pertanyaan itu.
Pria itu menundukan wajah"Agam hanya bertanya bunda."
"Bunda kenapa terkejut sekali dengan pertanyaan itu?" lanjutnya masih memainkan daun-daun hijau pada bunga berbentuk seperti lonceng kecil.
"Seharusnya bunda yang bertanya, kenapa kau menanyakan hal itu? kita sedang membahas Jena bukan? apa hal ini berhubungan dengannya?."
Sang putra semata wayang kembali mengangguk. Jawaban itu membuat Arabella menarik napas, begitu besarkah rasa suka putranya kepada Jena, wanita itu bahkan lebih tua darinya meski hanya satu tahun.
"Jena telah resmi berpisah dengan Dewa, dan sekarang dia tinggal di rumah pantai."
"Bagaimana bunda?" sentuhan lembut mendarat di jemari Arabella, dia dapat merasakan betapa tulus perasaan Agam ingin memiliki Jena.
"Apa dia juga menyukaimu?."
"Agam tidak tahu, bunda."
"Apa dia tahu tentang perasaanmu padanya?."
"Tidak, bunda."
"Lantas, kenapa kau bertanya kepada bunda sedangkan kalian belum saling bicara?."
"Agam akan melamarnya jika bunda mengijinkan."
Sebuah tawa terbit di wajah sang bunda, waktu berlalu begitu saja, tak terasa sang putra sudah dewasa dan memikirkan sebuah pernikahan.
"Apa masa Iddah nya telah usai?."
"Agam tidak tahu."
"Agam, kenapa kau terkesan tergesa-gesa? ini tentang pernikahan, kau tidak bisa langsung melangkah tanpa mempertimbangkan banyak hal di belakangnya."
"Bagaimana dengan Zafirah? pagi-pagi sekali gadis itu mengantarkan kue kesukaanmu."
"Dorayaki?" tanya Agam.
"Dengan isian kacang merah di dalamnya" terang Arabella.
"Bunda menyukai Zafirah?."
"Dia gadis yang baik, cantik, lemah lembut, suaranya sangat merdua saat mengaji. Satu lagi Agam, dia berpakaian tertutup" ya, Zafirah yang lahir dan tinggal di lingkungan pesantren jelas saja pandai mengaji dan memakai pakaian tertutup. Zafirah juga gadis yang ceria, tak jarang Arabella merasa terhibur saat berbincang bersamanya.
"Siapa yang tidak menyukai gadis semanis Zafirah, dia juga pandai memasak, bukankah kau sering memuji kue-kue buatannya."
Agam terlahir dalam keluarga yang sangat kental akan agama, sejak kecil saat libur sekolah tiba Agam kerap dikirim sang ayah untuk mengikuti kegiatan pesantren kilat di pondok pesantren Al-jannah, pesantren yang dipimpin ayahnya zafirah.
Di sanalah dia mendapatkan banyak pelajaran tentang agama, di sana pulalah Agam membawa kedua sahabatnya, Angga dan Gibran untuk lebih mendalami agama.
Kedekatan keluarga Agam dan kiyai Bahi yang terjalin sejak lama membuat anak-anak mereka saling mengenal satu sama lain. Agam yang seorang anak semata wayang menganggap Zafirah sebagai seorang adik perempuan saja, sedangkan Zafirah berbeda, sejak pertama berjumpa hatinya telah jatuh cinta kepada Agam.
"Apa kau tidak ingin mempertimbangkan Zafirah?."
"Dia sudah seperti adik bagi Agam" sahutnya.
"Tapi bunda sangat mengerti dengan perhatian yang dia curahkan kepada kita selama ini, dia selalu menanyakan dirimu saat kau tidak ada di sini nak."
Agam terdiam, sepertinya bunda lebih menyukai Zafirah dari pada Jenaira. Kebahagiaan bunda adalah kebahagiaannya, jika sudah begini apa yang harus dia lakukan?
Jena dan Zafirah, dua wanita yang sangat jauh berbeda. Meski Jena yang selalu berantakan, wanita itu jauh lebih menarik hatinya ketimbang Zafirah yang selalu anggun dalam balutan pakaian muslimahnya. Sejujurnya Agam memimpikan memiliki istri dengan pakaian tertutup seperti Zafirah, tapi tidak harus Zafirah yang menjadi istrinya kan.
"Kau tidak pergi bekerja?" tegurnya saat Agam termangu.
"Ah, Agam akan segera mandi dan pergi bekerja bunda" tanpa menyentuh kue buatan Zafirah, pria itu melesat menuju kamarnya.
"Jangan lupa untuk sarapan dulu sebelum pergi nak" bunda setengah berteriak sebab Agam langsung menghilang di balik pintu.
Seketika kepala sang putra menyembul dari balik daun pintu"Agam sudah sarapan bunda, menikmati ikan bakar ditemani deru ombak membuat sarapan jadi tambah nikmat."
Kedua alis Arabella saling beradu"Kau, makan ikan? bukankah kau tidak menyukai olahan ikan?."
"Sebelumnya begitu, tapi setelah Agam rasa-rasa ternyata ikan bakar nikmat sekali" ada riak bahagia dibalik senyumnya saat itu. Ikan jenis apa yang dia makan sampai wajahnya begitu bahagia.
"Kau membakar ikan itu sendiri? atau ditemani Gibran? bunda ingin tahu bumbu apa yang kalian pakai, di lain waktu bunda akan membuatkan ikan bakar seperti itu untukmu."
"Agam membakar ikan itu dengan Jena, nanti Agam akan meminta resep bumbunya padanya."
Mendengar nama Jena, Arabella jadi mengerti kenapa Agam mau menyantap hidangan itu. Cinta seperti apa yang tengah hinggap di hati sang putra, hingga hal yang tidak dia sukai dapat dia terima dengan senyum dan tawa.
Senandung siulan terdengar menemani langkah Agam keluar dari kamar, putra kesayangan Arabella akan segera pergi bekerja. Meraih tangan sang bunda dan menciumnya takzim, binar bahagia terpancar terang dari sorot matanya.
"Hati-hati di jalan nak."
"Iya bunda, Agam pergi dulu."
"Sebentar" panggilnya.
"Nanti sore bunda ada pengajian di tempat tante Mira. Apa kau bisa menemani bunda?."
"Tentu saja bisa, Agam selalu siap menemani bunda" menemani Arabella kemana-mana memang kerap Agam lakukan, tak heran jika dirinya sangat dikenal para teman-teman pengajian juga teman arisan sang bunda. Hanya itu yang bisa dia lakukan, ketika sang ayah tak bisa selalu hadir menjaga sang bunda maka dirinyalah yang akan selalu setia menemaninya.
Usai mengucap salam dan pamit diri bersama mobil kesayangan Agam berangkat menuju Mall terbesar di kota itu. Di sana sudah ada Angga dan juga Gibran, mereka tengah sibuk dengan urusan masing-masing. Tanpa penglaris Alhamdulillah usaha mereka selalu laris, ditambah pelayanan ramah dan sopan mereka kepada pelanggan menambah kenyamanan berbelanja di tempat mereka.
"Gibran, sepertinya kau sudah sembuh total" Agam mulai membuka obrolan.
"Apa karena Kanaya yang merawatmu, dia bahkan bersedia memasak untukmu. Kau sangat beruntung memiliki wanita seperti dia, lebih baik kau cepat halalkan dia" lanjutnya.
"Halal, halal" seru Gibran. Kau pikir menikah semudah membalikan telapak tangan. Jujur saja, aku sedikit takut dengan pernikahan setelah kepulangan kak Jena."
Angga pun berceloteh"Apa yang kau takutkan? seharusnya Kanaya yang takut jika menikah denganmu. Kau kan sangat menyebalkan, aku juga takut sepupuku itu akan mati muda jika menikah denganmu!."
Sebuah jitakan hampir mendarat di kening Angga"Lantas kenapa kau menjodohkan mereka?."
Angga yang gesit berhasil menghindari serangan jemari Agam"Heitt!! Aku tidak berpikir hubungan mereka akan sampai pada pernikahan" tangannya menangkis pergerakan Agam.
"Tapi menyenangkan juga membayangkan Gibran menikmati masakan Kanaya seumur hidupnya, hihihi" tawa seorang Angga terdengar mengejek.
"Berhentilah tertawa Angga, hapus pikiran aneh itu dari benakmu" gerutu sang sahabat.
"Aku tidak tertawa" Angga berkilah.
"Kau jelas mentertawakan ku!."
"Hahahah, tidak Gibran " tawanya semakin menjadi.
"Kita sedang membahas masakan calon istri Gibran kan, kenapa kalian jadi bertikai?."
Angga meletakan tangannya di pundak Agam, kemudian mulai bercerita"Apa kau tahu, masakan Kanaya sangat nikmat."
Sembari menunjuk-nunjuk Gibran"Wah, kau benar-benar beruntung. Angga saja mengakui kenikmatan masakan Kanaya. Tunggu apa lagi Gibran."
Gibran memukul kepala Angga dengan tali headset"Jika benar-benar nikmat kenapa wajahmu berubah masam kemarin?."
"Kau bahkan meminta izin pergi ke toilet kan, aku tidak yakin kau benar-benar ke toilet saat itu" nada bisa Gibran sedikit tertahan, tak jauh dari mereka banyak pelanggan memilah pernak-pernik gawai yang mereka miliki.
"Hehehe, maaf Gibran. Aku memang benar-benar ke toilet, untuk memuntahkan masakan Kanaya di sana."
Agam menatap kedua sahabatnya bergantian"Benar kata Gibran, kenapa kau memuntahkannya jika masakan Kanaya sangat nikmat?."
Setelah selesai melayani pelanggan mereka"Terimakasih atas kunjungan anda" ujar Angga kemudian mengambil duduk di sofa.
"Aroma masakannya sangat wangi, aku sangat tergiur untuk segera mencicipinya.Tapi saat masakan itu sampai di lidahku, ya Allah....maaf Gibran" Angga meminta maaf terlebih dahulu kepada Gibran.
"Rasanya bagai meminum garam di tengah lautan, asin. Sangat asin!" sambung Angga. Tubuhnya bergidik mengingat betapa asin masakan Kanaya.
"Hahahha, bagaimana dengan Gibran?" tanya Agam.
"Dia memakannya sampai habis" jawaban Angga membuat Agam kembali tergelak tawa. Sementara Gibran hanya diam memandangi tingkah kedua sahabatnya. Mereka tampak bahagia mengetahui dirinya menjadi bahan tertawaan.
Demi sebuah rasa yang di sebut cinta, Gibran menghabiskan semua masakan yang Kanaya hidangkan. Melihat tawa yang terlukis di wajah manis Kanaya, rasa asin bukanlah apa-apa baginya.
"Kalian tidak akan mengerti, sebab kalian belum merasakan nikmatnya makan di suapi oleh gadis pujaan hati."
"Oh ya??? dasar budak cinta, apa masakan asin itu terasa nikmat bagimu?."
"Ya.....masakan Kanaya memang asin. Tapi apa kau lihat, senyumnya tak pernah putus saat menyuapiku."
"Senyumnya yang manis mengubah rasa asin itu menjadi sesuatu yang terasa nikmat. Aku bahkan tidak percaya berhasil menghabiskan semua hidangan" angannya menerawang mengingat apa yang mampu dia lakukan kemarin.
"Lihatlah Gam, sahabat kita telah gila karena cinta."
Agam menggeleng-gelengkan kepala, cinta memang mampu mengubah siapa saja. Seperti dirinya yang menyantap ikan dengan nikmat, begitu juga dengan Gibran yang mampu menghabiskan hidangan asin itu dalam sekejap.
"Aku sedikit memahami perasaanmu saat disuapi Kanaya" ujarnya akhirnya.
"Begitulah cinta " sambung Gibran.
"Huweekkkk!!!, ternyata bukan hanya Gibran yang menjadi budak cinta, kau juga Agam. Awh! untung saja hatiku yang suci belum mengenal apa itu cinta, dan semoga saja aku tidak akan pernah mengenal cinta."
"Heh, cinta itu anugera. Apa yang engkau takutkan" protes Gibran, ada apa dengan Angga, tidak pernah menjalin cinta membuatnya anti dengan perasaan asam manis itu.
Angga menggelengkan kepala berkali-kali" Biarlah aku tidak mengenal cinta, dari pada aku harus diperbudak cinta"
"Lantas bagaimana kau akan menikah jika tidak mengenal cinta?.
"Sandal jepit saja memiliki pasangan, lantas kenapa aku gundah perihal pasangan? jodohku pasti akan datang jika saatnya tiba. Masalah cinta....mungkin aku akan lebih bisa mengendalikan perasaan itu jika sudah bertemu jodohku, setidaknya jika itu nafsu maka akan menjadi ladang pahala untuk aku dan istriku kelak bukan."
Angga hebat juga, meski tak memiliki prestasi di dalam percintaan sudut pandangnya tentang cinta boleh juga.
Ada rasa kagum dalam diri Agam kepada Angga, pola berpikirnya cukup bagus. Agam jadi teringat akan nasihat Ali bin abi Thalib "Apa yang menjadi takdir mu akan mencari jalannya menemuimu."
"Jena...semoga kita saling menemukan jalan untuk bertemu" batin Agam.
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nindira
Semangat Agam buat dapatin hatinya Jena🥰
2022-10-07
0
Ria Diana Santi
Bila dia memang takdir mu, dia tidak akan pernah melewatkan mu. Akan ada saja cara untuk kalian saling bertemu. ❤️💝💗
2022-07-30
2
Ria Diana Santi
Wah, kue kesukaan Doraemon. 😁
2022-07-30
3