Mengambil duduk di sebuah kursi taman, sore itu Agam kembali menemani sang bunda mengikuti pengajian rutin di pondok pesantren Al-jannah. Tak jauh dari pandangan, anak-anak TPA sedang berbaris menunggu giliran untuk salim pada sang guru mengaji mereka. Seperti biasa, saat kajian akan segera dimulai maka waktu bagi anak-anak itu untuk pulang telah tiba.
Sesosok wanita mengenakan kerudung berwarna abu-abu tengah bercengkrama bersama anak-anak, dialah Zafirah, anak pak kiyai yang juga sebagai pengajar di pondok pesantren tersebut.
Usai mengantarkan para anak-anak menuju bus yang akan mengantarkan mereka pulang, Zafirah yang melihat kehadiran Agam di taman sana segera menghampirinya.
"Bang Agam, kenapa tidak masuk saja."
"Aku ingin menikmati angin segar di sini."
"Kau ingin di temani?."
Agam menggelengkan kepala"Tidak perlu, akan menjadi fitnah jika kita terlalu sering berduaan. Meskipun kau ku anggap sebagai adik tapi semua orang tahu kita tidak memiliki hubungan darah."
Bagai petir di sore hari, kata-kata itu menyambar dan membuat ngilu hati Zafirah. Ini kali pertama Agam bersikap begitu kepadanya, tidak seperti biasanya yang selalu bersikap manis.
Alih-alih pergi menuju aula untuk menghadiri pengajian, Zafirah mengambil duduk di dekat Agam"Apa aku melakukan kesalahan? kenapa sikapmu tiba-tiba berbeda?."
Sedikit menarik diri agar menjauh dari Zafirah"Kau tidak melakukan kesalahan, kita sudah sama-sama dewasa lebih baik mulai sekarang kita menjaga jarak. Tidak baik bagi dua insan berbeda jenis jika terlalu dekat seperti kita selama ini."
"Bang Agam, apa selama ini kau merasa cukup memahamiku?."
Sekilas Agam menatap Zafirah"Memahami dalam hal apa?" sejurus kemudian Agam mengalihkan pandangan pada para santri putra yang mulai turun dari asrama mereka, sepertinya mereka akan bermain bola basket di tengah lapangan.
Zafirah mengulum bibir, lidahnya terasa kelu untuk mengatakan segala isi hati. Terlalu lama menunggu membuat Zafirah kehilangan kesabaran.
"Bang Agam, aku ingin kau mel___."
"Fikri!!!" teriak Agam pada salah seorang santri putra" bolehkan abang bergabung bersama kalian?."
"Ayo bang!" pemuda-pemuda di tengah lapangan balas berteriak, dengan senang hati mereka menerima kehadiran Agam. Pria itu juga jago bermain basket, sebuah tantangan bagi mereka untuk bisa mencetak skor darinya.
Segera berdiri Agam menarik zipper pada jaket yang dia kenakan kebawah"Kau segeralah masuk ke aula, aku ingin bermain basket bersama mereka" tanpa menunggu jawaban atas perkataannya Agam segera undur diri dari hadapan Zafirah.
"Aku ingin kau melamarku" batinnya melanjutkan kata yang terputus. Wanita itu hanya bisa pasrah menatap punggung Agam yang kian menjauh"Apa sekarang kau menghindariku?" gumannya bertanya.
*
*
*
*
Di rumah pantai Jena kembali bersitegang dengan Kirana, editor gila yang terus saja memaksanya untuk meminta maaf.
"Dia punya naskah asli sebelum mengetik naskah itu dan menyerahkannya pada pihak editor."
Menopang wajah dengan kedua tangan, Jena meladeni celotehan Kirana sembari melepas pandangan ke laut luas"Harus berapa kali aku meminta, pertemukan saja kami maka masalah ini akan selesai!."
"Dia bersikeras tidak ingin bertemu, jadwalnya sangat padat, Jena."
Wanita itu melepaskan kacamata baca yang sedari tadi bertengger di hidung"Jika dia tidak bisa datang menemuiku, maka aku akan senang hati datang menemuinya. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya, Kirana. Lagi pula, bukankah tempo hari kau mendukungku? kau mengatakan tidak yakin aku akan melakukan plagiarisme seperti yang orang tuduhkan kepadaku kan?" kini dia telah memutar tubuh menyamping, berhadapan langsung dengan Kirana yang duduk di kursi bulat.
"Tapi...., dia punya bukti yang sangat kuat Jena. Oretan sebelum naskah itu benar-benar dibuat ada padanya. Dia memiliki bahan sebelum merangkai naskah itu hingga menjadi novel."
"Apa kau melihatnya?."
"Ya."
"Apa dia mengirimkan fotonya? perlihatkan padaku" tangannya terjulur meminta bukti.
"Aku tidak punya fotonya, kami berkomunikasi lewat video call dan saat itulah dia memperlihatkan bukti itu padaku."
Jena menarik tubuh Kirana, mencari keberadaan gawai milik editornya itu yang dia temukan di saku dalam jaketnya.
"Kau mau apa?."
"Melakukan panggilan video dengannya, cepat lakukan hal itu!."
"Dia tidak ingin bertemu denganmu, Jena!."
"Aku akan menjauh darimu, aku ingin tahu siapa pecundang itu" ujarnya berusaha meraih gawai yang kembali Kirana rebut darinya.
Nampak ragu Kirana mencari nama sang penulis dari kontak ponselnya"Jena...., aku rasa ini tidak akan membantu."
"Jujur saja Kirana, apa kau bersekongkol dengannya?" tuduhan itu tidak bisa lagi Jena sembunyikan. Cara Kirana menangani masalah ini terkesan lambat, Jena bahkan tidak diperbolehkan bertemu penulis itu, bukankah itu sangat menggelikan.
"Bukan begitu Jena, dia...."
Langkah kaki membawa Jena lebih dekat pada Kirana, sorot mata setajam belati seakan menguliti Kirana sang editor.
"Ka____kau, hentikan Jena. Sorot matamu sangat menakutkan."
"Cepat hubungi penulis itu, atau aku akan menuntutmu atas ketidak becusanmu mengurus masalahku!."
Ancaman Jena membuat Kirana kelimpungan, panggilan video pada nomor sang penulis pun terjadi. Tanpa menunggu waktu lama sang penulis menerima panggilan video itu.
"Apa di bersedia meminta maaf padaku?."
Suara itu.....
Jena merampas gawai di tangan Kirana, hingga wajahnya bertatapan langsung dengan wajah sang penulis yang mengakui karyanya.
"Jadi kau penulis itu!!" sentak Jena menunjuk tepat di depan wajah yang sangat tidak ingin dia jumpai.
Panggilan video terputus. Jena kembali melakukan panggilan tapi nomor tersebut sudah tidak bisa dihubungi.
Sorot matanya beralih pada Kirana"Kau tahukan siapa dia?."
"Karena itulah aku tidak bisa berbuat banyak. Kau tahukan kekuatan keluarga Dewa, aku hanya seorang editor yang ingin hidup dengan tenang dan damai. Jika kau merelakan karya itu maka masalah kita akan selesai."
"Kau sangat keterlaluan Kirana, kau sangat tahu betul bagaimana dia menyakitiku, menghancurkan hidupku, setelah merebut suamiku kau biarkan dia merebut karyaku?! kau sangat membuatku kecewa Kirana!!."
"Pergilah dari sini, aku akan melaporkan hal ini pada Pak Salman. Mulai detik ini kau bukan lagi editorku!!" tubuh ringkih Kirana di dorong paksa.
"Jena___" cicitnya mencoba bertahan di situ.
"Menjauhlah dariku Kirana, seharusnya kau katakan saja dari awal bahwa penulis itu adalah Tiara. Seharusnya kau katakan saja jika tidak ingin menanggung masalah ini bersamaku."
"Aku bukan tidak ingin menanggung masalah ini bersamamu, Jena. Mantan mertuamu memintaku membujukmu untuk berdamai. Dia ingin karya itu dikenal atas karya Tiara, menantunya. Tiara terkenal sejak rating karya itu melambung naik" akhirnya Kirana bicara, namun semua itu telah terlambat untuk Jena.
"Pencuri!! kau tidak ada bedanya dengan kaki tangan pencuri. Ah, aku baru ingat. Apakah bukti yang kau katakan adalah bahan naskah yang tertulis dalam sebuah binder berwarna merah?."
Kirana mengangguk.
Jena membuang napas kasar, jadi binder itu ada padanya. Dahulu binder itulah tempat Jena mencurahkan segala ide untuk membuat novel. Sudah lama dia mencari keberadaan binder itu, tidak disangka sekarang berada di tangan Tiara.
Dengan langkah lunglai Kirana pergi dari kediaman Jena, saat hendak menyalakan mobil Jena terlihat keluar dari kediamannya. Kirana pikir Jena akan datang padanya, ternyata dia salah menerka. Wanita itu mengeluarkan kunci dari ranselnya, menarik motor maticnya dan tampak acuh melewati Kirana.
"Kau hendak kemana, Jena?."
Rambutnya bergerai, sentuhan angin membuat rambut panjangnya menari-nari" Bukan urusanmu, cepatlah pulang. Lihatlah langit mendung itu, aku baru saja memanjatkan doa kepada Tuhan, jangan sampai doa itu benar-benar dikambulkan-nya" dia merapikan rambut sebelum mengenakan helm.
"Doa apa yang kau panjatkan?."
"Aku meminta pada Tuhan agar kau mati disambar petir. Sebentar lagi hujan akan datang, jadi cepatkan kau pergi dari sini jika tidak ingin hangus tersambar petir" ujarnya menoleh sekilas, segera naik ke motor dan menyalakannya.
Kedua bola mata Kirana membulat, wanita di hadapannya ini sangat menakutkan. Belum sempat dia membela diri Jena sudah lebih dulu pergi bersama motor kesayangannya.
Kirana jadi teringat sesuatu, banyak yang mengatakan doa manusia teraniaya itu cepat di ijabah, mengingat posisi Jena yang kembali menjadi korban atas kekejaman keluarga Dewa, membuat jantungnya berdebar kencang. Tidak ingin doa seorang Jena benar-benar terjadi Kirana segera masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat itu.
*
*
*
*
Hujan lebih dulu turun di belahan bumi yang lain, lebih tepatnya di pondok pesantren Al-jannah. Agam yang telah bermandikan keringat tak mengindahkan sang hujan saat itu, begitu juga dengan pemuda-pemuda lawan bermainnya.
Mereka masih melanjutkan permainan hingga hari semakin petang. Berlarian kesana-kemari sambil mendribel bola, Agam terlihat senang menghabiskan waktu bersama mereka.
Jam sudah menunjukan pukul lima sore, pengajian di aula telah usai. Para jamaah yang memiliki mobil memilih langsung pulang sebab hujan tidak begitu deras, masih menyisakan beberapa jamaah yang enggan menerobos hujan mereka pun memilih menunggu sembari mengobrol bersama. Di antar para jamaah yang menunggu itu ada Arabella yang sedang berbincang bersama Zafirah, gadis itu menemani Arabella duduk di kursi sembari melihat Agam dan para santri bermain dalam hujan.
"Apa tante ingin ikut bersama Zafirah masuk ke asrama? Zafirah akan menyeduh teh hangat untuk tante."
"Tidak perlu Firah, om Abian sedang menunggu kami di rumah" sahutnya teringat sang suami yang sudah memberi kabar kepulangannya.
" Oh baiklah tante, Zafirah akan menemani tante menunggu Agam di sini saja" gadis itu mengusap lembut punggung tangan Arabella, hal biasa yang dia lakukan pada bunda Agam.
Menyadari para jamaah sudah ada yang meninggalkan pesantren, Agam menyudahi aktivitas bermain basket. Seperti anak kecil dia berlarian dalam hujan menuju mobil. Mengambil payung yang selalu tersedia di sana dan segera menuju bunda.
"Bunda mau pulang sekarang?."
"Tentu saja, ayahmu sudah ada di rumah. Kau, begitu senang bermain bersama mereka, sampai lupa dengan bunda."
"Ayolah bundaku yang cantik, saat merajuk kecantikan mu semakin bertambah. Kasihanilah putramu ini yang akan semakin mabuk karena kecantikanmu itu."
Zafirah tertawa, Agam memang pandai membuat Arabella tidak jadi marah.
"Kau lihat itu Zafirah, dia sangat pandai menggoda tante. Entah berapa kilogram gula yang selalu dia makan setiap hari hingga kata-katanya selalu manis seperti ini."
"Jangan terlalu manis bang, nanti diabetes " tegur Zafirah mengurai senyuman. Senyum itu memang manis tapi tidak lebih manis dari senyuman Jena yang jarang terlihat.
"Hehehe, baiklah..., aku akan lebih banyak memakan buah asam, agar kalian merasakan kecut dan berwajah masam saat aku berbicara."
Arabella mencubit pelan lengan sang putra, membuat kulit putihnya yang basah mencari sedikit memerah"Jika berwajah masam maka kecantikan bunda akan sirna."
"Oh tentu tidak, bunda selalu cantik dalam keadaan apapun."
Pujian itu membuat Zafirah sangat iri kepada Arabella, dia memiliki anak yang sangat sayang dan perhatian kepadanya. Sosok seorang Agam sangat jarang ditemui, bagaimana hati seorang Zafirah tidak lemah jika dengan sang bunda saja dia begitu suka menggoda. Apalagi kelak dia bertemu jodohnya, Agam pasti memanjakan dan menyayangi wanita beruntung itu.
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nindira
Tega banget sih ngedoain disambar petir
2022-10-11
0
Ria Diana Santi
Pengen punya pendamping seperti Agam. 🥰👍🏻❤️
2022-07-31
2
Ria Diana Santi
Sungguh doa yang memilukan! 😢
2022-07-31
2