Malam semakin dalam, hujan perlahan reda meski sang rintik tak sepenuhnya sirna. Usai menunaikan kewajiban perlahan Agam melajukan mobil menuju kediaman Jena. Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an masih mengalun dari dalam mobil itu, masih tertidur wajah lelah Jena terlihat lebih tenang dan damai.
Selain mobil milik Angga, sebuah mobil juga terparkir di halaman kediaman Jena dan Gibran. Sembari menerka-nerka Agam memandangi mobil itu dengan seksama, nampak tak asing tapi dia lupa siapa pemiliknya.
Beralih pada Jena, masih tertidur lelap Agam jadi tak tega mengusik kedamaiannya dalam alam mimpi. Memberi waktu, dia biarkan wanita itu tertidur sedikit lebih lama.
"Tok-tok" seseorang mengetuk kaca mobil.
Sempat terhanyut dalam lamunan Agam kini menatap seseorang itu lekat-lekat.
"Bang Arkan" wajah itu mengingatkan pada sang pemilik mobil di depannya.
"Kau tidak masuk? lebih nyaman tidur di dalam sana dari pada di sini."
Sekilas Agam melirik jam yang melingkar di tangan kiri, jam sudah menunjukan pukul sebelas malam.
Penghuni rumah pasti sedang gaduh saat ini, meraih ponsel dan dia mendapati panggilan dari sang bunda lebih dari sepuluh kali.
"Sebaiknya Agam pulang saja bang, bunda pasti sangat khawatir."
"Baru saja dia menelpon Gibran, dia sudah tahu kau berada di sini. Lebih baik menginap saja, lagi pula....aku kelaparan. Aku rindu masakan olahanmu" tangan kekar Arkan yang gemar berolah raga mengusap perutnya yang kelaparan.
Bukan rahasia lagi bahwa Agam memiliki keahlian di bidang mengolah makanan. Sudah lama tak berjumpa dengannya, ketimbang menanyakan kabar Arkan justru lebih tertarik pada masakannya.
Seketika seulas senyum terbit di wajah pria berlesung pipi itu"Baiklah, aku juga belum makan malam bang, kalau begitu bisakah kau menggendong kak Jena masuk ke dalam?."
Kedua alis Arkan menukik naik"Kenapa tidak kau saja?."
"Aku tidak berhak menyentuhnya bang."
"Ah, aku lupa kau sangat takut bersentuhan dengan lawan jenis."
"Bukan begitu, hanya tidak terbiasa saja."
"Benarkah? cobalah sesekali, kau akan ketagihan."
"Bang Arkan...." setengah berbisik Agam berujar lirih kepada Arkan. Tak berbeda dengan Gibran, anak tertua dari keluarga Ahmad ini juga suka menggodanya.
"Hahahah, aku heran pria setampan dirimu belum juga memiliki seorang kekasih. Atau jangan-jangan sekarang kau sudah memiliki kekasih?" ujarnya berputar menuju pintu mobil.
Sembari membuka pintu untuk keluar dari mobil Agam menggeleng.
"Benarkah?? apa wajahmu tidak menarik perhatian wanita? aku tidak yakin akan hal itu."
Dari pada menjawab perkataan Arkan, Agam justru meletakan jari telunjuknya di mulut dan meminta Arkan untuk menurunkan nada bicaranya"Syuuut! pelankan suara bang Arkan, kau bisa membangunkannya dan membuat kita menerima omelannya."
Hal itu dibenarkan Arkan dalam benak, hingga dia pun langsung diam dan menggendong Jena sembari berjalan perlahan memasuki rumah.
Tertatih-tatih Arkan menaiki tangga, sekecil apa pun tubuh Jena tetap saja terasa berat baginya. Dia menggendongnya dengan dada berdebar, jika sang adik terbangun pasti akan terjadi kegaduhan di tengah malam ini.
Dengan lembut dan perlahan tubuh kecil itu akhirnya sampai di tempat tidur. Sejurus kedua mata Arkan tersita pada bingkai foto yang terletak di meja kerja Jena. Dia membuka bingkai foto yang tertutup ke bawah itu dan mendapati gambar mereka bertiga di sana. Mereka masih sama-sama kecil saat itu, Jena dengan kuncir kudanya terlihat tersenyum saat dirinya dan Gibran mengapit erat tubuhnya untuk diambil foto.
"Sudah lama sejak senyum ini terlihat di wajah cantikmu, Jena" bisiknya.
"Dan jangan harap kau akan melihat senyum itu lagi."
Seketika Arkan berpaling pada Jena, dia mendapati wanita itu duduk di atas tempat tidur dengan pandangan tajam" Apa yang kau lakukan disini?."
"Aku mendengar Gibran sakit___."
"Mendengar dia sakit kau langsung ke sini, apa yang kau lakukan ketika aku sendirian di ruang sidang?."
Arkan menelan saliva, saat itu dia tengah di luar kota karena urusan pekerjaan.
"Maaf Jena."
"Ya, aku memaafkanmu. Sekarang pergilah dari sini."
"Ini sudah tengah malam."
"Itu bukan sebuah alasan, pergilah. Bawa Gibran bersamamu. Kehadiran kalian sungguh mengganggu" wanita itu bangkit dari tempat tidur dan segera menuju lantai bawah. Melepaskan ikatan pada rambutnya dan membiarkannya bergerai. Meski berantakan Jena masih terlihat cantik saat itu.
"Aku meminta Agam untuk memasak, aku akan segera pulang setelah menyantap masakannya" mengekor langkah sang adik menuruni tangga, Arkan berusaha bertahan di kediaman itu.
"Bocah itu masih di sini? apa dia tidak punya kerjaan" sungut hati Jena.
Menginjakan kaki di area dapur aroma masakan Agam memenuhi indra penciuman. Di meja makan ada Gibran, kanaya, dan Angga di sana. Masing-masing dengan piring dan sendok yang sudah tersedia di depan mata, mereka terlihat seperti kakak beradik kelaparan yang sedang menunggu jatah makan dari ayah tercinta.
Kedua tangan Kanaya melambai ke arah Jena" Kak Jena, sini duduk di sebelah Naya."
"Aku tidak lapar " ujarnya meraih cangkir untuk menyeduh kopi. Datar dan dingin, tak ada senyum di wajah itu.
"Biarkan dia sendiri, kau cukup menyapanya saja" bisik Angga.
Kanaya ber oh saja, mengingat ini kali pertamanya berjumpa dengan calon kaka ipar. Mungkin perlu waktu untuk saling mengenal dan mendekatkan diri satu sama lain.
Arkan mengambil duduk di antara tiga bocah kecil itu, begitu kira-kira kebiasaan Arkan menyebut seseorang yang lebih muda darinya dan kebiasaan itu kini juga dilakukan Jena, adiknya.Tiba-tiba ponsel di saku Jena berdering, nama sang penelepon kali ini juga membuat jena menarik napas kasar.
"Ibu kalian menelpon " benda pipih itu dia letakan di atas meja makan, sementara dia kembali mengaduk kopi yang baru saja dia seduh bersama air panas.
Keceriaan menyelimuti keadaan di meja makan, sementara Jena menarik diri dari keadaan itu. Membuka pintu dapur untuk sampai di beranda belakang, wanita itu memilih duduk menghadap laut lepas dengan secangkir kopi di tangan.
Ada rasa iri menyeruak di dalam dada, namun apalah daya, dengan jelas Jena mendengar hal pertama yang di ucapkan wanita bernama ibu itu"Bagaimana keadaan Gibranku?."
"Gibranku?" desis Jena. Senyum pahit terlihat lebih pahit dari kopi yang sedang dia nikmati.
"Kak Jena dicari mama" suara Gibran terdengar dari arah dapur.
Jena beranjak dari kursi santai dan melangkah semakin jauh ke ujung beranda, kakinya menjuntai menyentuh pasir basah yang terasa dingin.
Begitu enggan Jena masuk kembali ke dalam rumah, menghabiskan secangkir kopi saat tengah malam terasa lebih menarik baginya.
Sorot matanya menangkap bayang beberapa orang di pinggir pantai, mereka para nelayan yang bersiap melaut mencari ikan. Dengan ringan langkah kaki pun membawanya pada mereka, ternyata mereka tengah menarik jala besar dari arah laut.
"Wah, panen besar ya paman?."
Kehadiran Jena membuat mereka terkejut" Nak Jena, ada apa tengah malam begini ke pantai, bahaya nak" ujar salah satu dari mereka.
"Iya nak, lebih baik nak Jena segera kembali ke rumah" seseorang dari mereka menimpali.
"Saya terbiasa bergadang paman, saat duduk di belakang rumah tidak sengaja melihat kalian."
"Oh, jangan mudah penasaran saat melihat sesuatu di pinggir pantai saat malam hari nak, bisa jadi itu halusinasi. Berbahaya" ujar para nelayan.
Jena mengerti akan perkataan mereka, sejak kecil dia juga pernah mendengar sang nenek memperingatinya akan hal itu. Pantai memang tempat yang menarik untuk menghibur diri, namun sesuatu yang cantik dan menarik kerap menyimpan rahasia mistis di dalamnya.
"Iya paman, terimakasih nasehatnya. Jena jadi teringat nasehat nenek saat masih kecil."
Melirik ikan yang berloncatan di dalam jala"Ikannya segar-segar, Jena ingin membelinya paman" ujarnya lagi.
"Nanti pagi-pagi sekali akan paman antarkan ke kediaman nak Jena, sekarang pulanglah dulu."
"Baiklah paman" Jena menuruti perintah para nelayan, dia pun melangkahkan kaki kembali ke kediamannya.
Tak berapa jauh dari area rumahnya seseorang berjalan kesana dan kemari. Saat Jena mendekat dia segera berlari pada wanita itu.
"Kau kemana saja??! ku kira kau menghilang."
"Kau sangat ingin aku menghilang? lebih baik kalian saja yang menghilang dari tempat ini" tukasnya berpahit lidah.
Arkan, pria itu mengatur napas perlahan. Sesaat yang lalu jantungnya berpacu kencang karena tak mendapati sang adik di balkon belakang. Syukurlah wanita itu baik-baik saja.
Meninggalkan Arkan di luar rumah, kini Jena telah berada di dapur. Angga menemani Agam membereskan dapur, Angga mencuci piring sedangkan Agam menata hidangan di meja makan.
"Makanlah, aku sudah menyiapkannya untukmu."
Jena tak menghiraukan Agam.
"Kak Jena" panggilnya pelan.
"Secangkir kopi sudah cukup membuatku kenyang."
"Apa kau tak menyayangi tubuhmu? seingatku tadi siang kau juga meminum kopi."
"Lantas, apa pedulimu?."
"Bukan hanya tadi siang, pagi-pagi buta dia sudah menikmati secangkir kopi sambil menatap jemuranku yang di guyur hujan" kehadiran Gibran mengundang desah napas berat dari seorang Jena.
"Makanlah walau sedikit kak" pinta Agam.
"Aku tak merasa lapar lagi, jangan memaksaku."
Wajah pria itu terlihat sendu, seperti anak kecil yang gagal mendapatkan apa yang dia inginkan. Ada sedikit rasa iba di hati Jena, setidaknya pria ini selalu bertutur kata lembut padanya.
Kursi di meja makan terdengar berderit, Jena menarik kursi itu untuk segera menikmati hidangan. Agam, Lesung pipit di pipinya terlihat dengan jelas, pertanda sang pemilik tengah mengukir senyum di wajahnya.
"Ada apa dengan wajah itu? apa kau sangat ingin pamer masakan ini kepadaku?."
Angga dan Gibran mengulum seyum, mereka turut gembira melihat Agam yang sedang tertawa.
"Hem, masakanmu memang enak. Beruntunglah wanita yang akan menjadi istrimu kelak" seketika senyum di wajah Agam mereda.
"Dasar wanita tak peka" gumam Angga.
"Jelaskan siapa wanita yang akan kau nikahi!" bisik Gibran menyikut tubuh sang sahabat.
"Apa yang kalian bicarakan, kau sudah mengantar kanaya untuk istirahat?" lagi-lagi Agam mengelak meladeni perkataan Gibran tentang rasa di dalam dada.
"Dia sudah tertidur pulas."
"Siapa? siapa yang tertidur pulas?" Jena menangkap obrolan mereka samar-samar.
Seringan bulu angsa Angga berucap"Kanaya kak, tadi Gibran mengantarkan Kanaya untuk tidur di kamar kaka."
"Klontang!!" sendok di tangan Jena dia letakan dengan kasar.
"Kau sudah bosan hidup, Gibran?!."
Agam menggigit bibir, belum banyak makanan yang dia hidangkan untuk Jena nikmati, tapi kedua sahabatnya itu telah menyulut api amarah dalam diri Jena.
"Ada apa lagi?" Arkan masuk ke dalam usai mematikan rokok yang sedang dia nikmati.
Sorot mata Jena beralih pada Arkan"Kau sudah makan bukan?, cepat bawa adik lucknatmu ini pergi dari sini. Juga calon adik iparmu yang sedang mengambil alih kamar kesayanganku" sentaknya dengan pandangan membara, terlebih kepada Gibran. Seketika nyali adik laki-laki itu menciut, memiliki kakak pemarah sungguh membuat jantungnya tidak karuan saat ini.
"Jena, kak Jena" Agam coba menengahi"Ini sudah lewat tengah malam, kasihan bang Arkan jika harus pulang malam ini juga. Mengenai Kanaya, dia kan perempuan, sangat tidak pantas jika dia tidur di kamar Gibran."
"Belum lagi dengan adanya aku dan Angga di sana" lanjutnya berharap Jena mau mengerti.
Jena dengan kepala sekeras batu, jika dipikir-pikir ucapan Agam memanglah benar, tapi kerasnya hati seorang Jena tak bisa luluh begitu saja. Tujuan dia tinggal di kediaman ini untuk hidup dengan aman dan damai sendirian, tiba-tiba makhluk-makhluk ini berdatangan dan dengan leluasa berkeliaran di kediamannya.
Tak sempat menghabiskan hidangan, Jena, naik ke lantai atas meninggalkan mereka.
"Ck, apa dia akan kenyang jika makan sedikit saja."
"Setidaknya ada yang dia makan selain meminum kopi saja" tukas Arkan mengambil duduk di meja makan.
Masing-masing dari mereka terhayut memikirkan kemarahan Jena, saat itu Gibran melontarkan pertanyaan kepada Arkan.
"Apa kedatangan abang murni ingin menengokku sakit?."
"Tentu saja, menengokmu dan juga Jena."
"Dia___masih tak ingin menerima kita?."
"Kita? kau saja, sebab kau selalu mendukung ayah dan ibu. Saat mereka membiarkan Jena tinggal di sini bersama kakek dan nenek bukankah kau sangat senang? bahkan saat Jena tak lagi satu sekolah denganmu, kau juga senang."
"Aku hanya begurau, tidak ku sangka dia merajuk bertahun-tahun" wajah menyebalkan itu tertunduk lesu, sejujurnya dia selalu ingin hidup berdekatan dengan sang kakak.
Agam dan Angga diam saja, membiarkan dua beradik itu saling mencurahkan segala isi hati.
Arkan tak bisa berkata-kata, Gibran yang nakal di mata Jena wajar saja mendapat penolakan darinya, sementara dirinya yang selalu mendukung Jena meski sembunyi-sembunyi dari kedua orang tua mereka, masih juga mendapat penolakan dari adik perempuannya itu. Dampak ketidak adilan perlakuan kedua orang tua malah berimbas pada kerukunan mereka bertiga, padahal waktu kecil mereka bertiga sangat akur. Semua berubah saat Jena di bawa ke kediaman ini.
"Kita tidak bisa merubah masa lalu, setidaknya kita harus berusaha untuk merubah masa depan hubungan keluarga kita" ujar Arkan.
"Sebenarnya sudah lama aku penasaran kenapa ayah dan ibu membiarkan Jena tinggal terpisah dari kita, juga perlakuan mereka yang berbeda kepadanya. Mulai sekarang aku akan mencari tahu penyebabnya, jika masih bisa di perbaiki aku ingin keluarga kita rukun kembali."
To be continued...
Selamat membaca jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nindira
Kenapa harus diperlakukan beda sih?
2022-10-07
0
Ria Diana Santi
Semoga kalian bertiga bisa akur kembali seperti dulu. Aamiin. Ubahlah ketidak nyamanan Jena menjadi kenyamanan saat dia bersama kalian.
2022-07-30
3
Senajudifa
masa iya sh thor
2022-07-13
1