Kedatangan Angga dan Kanaya disambut hangat oleh Gibran, meski terasa pusing pria itu berusaha bangkit dari tidurannya demi menyambut kehadiran Kanaya. Wajahnya pucat dan suhu badannya terasa sangat panas. Sebagai seorang kekasih, Kanaya merasa sangat iba pada Gibran.
Layaknya seorang chef gadis itu memasang apron dan segera memasak untuk Gibran, gerak geriknya di dapur tidak di ragukan lagi. Jemari kecil nan lentik memotong sayuran dengan cukup lihai, membasuh daging dan meracik bumbu-bumbu dengan sangat gesit.
"Aku baru tahu kau pandai bekerja di dapur" Angga menarik kursi dari meja makan dan duduk di sana.
"Tentu saja, aku kan perempuan."
"Tapi tidak semua perempuan pandai memasak, melihat aksimu aku yakin Gibran akan segera sembuh setelah memakan sup buatanmu."
Senyum manis terukir lebar di wajah Kanaya, wajahnya yang kecil terlihat merona. Pujian yang dilontarkan Angga membuatnya tersipu malu, apalagi masakan yang tengah di olahnya ini akan disantap sang kekasih hati, akh...hatinya bahagia sekali.
Sembari meracik beberapa seledri"Bang Angga juga akan mencicipi masakan Naya kan?."
"Tentu saja, kau tidak dengar cacing-cacing di perut ku sudah berdendang dangdut menahan lapar sejak tadi" tangannya menepuk-nepuk perut kempes yang kelaparan.
"Hahhaha, katakan pada warga perut bang Angga bahwa keberuntungan sedang menghampiri mereka. Sebentar lagi masakan ini akan selesai di masak, ingat jangan terlena ketika menyantapnya" ujar Naya.
Mendengar ucapan Kanaya rasa lapar semakin terasa, aroma masakan gadis itu juga sangat menggiurkan"Hemm, aku akan menemani Gibran di kamarnya. Jika sudah masak segera antarkan ke atas ya."
"Siap bang."
Melangkah dengan pasti Angga kembali menghampiri Gibran di kamarnya. Mungkinkah ini yang dinamakan kekuatan cinta, sejak kedatangan Naya demam yang diderita Gibran berangsur turun.
"Masih pusing?"tanyanya mendapati Gibran duduk di tepian ranjang.
"Sedikit berkurang."
"Apa kau bisa berdiri? Kanaya sedang memasak di dapur. Kau ingin makan di sini atau turun ke bawah saja."
Menarik diri ke sudut ranjang agar bisa berkaca, Gibran menyugar rambutnya berkali-kali agar terlihat lebih rapi" Aku akan makan di sini saja, kau lebih baik turun dan makan di ruang makan."
"Kenapa begitu?" tanyanya menyerngitkan dahi.
" Aku ingin menikmati waktu berduaan dengan Kanaya, siapa tau dia ingin menyuapiku makan. Jika kau ada di sini dia pasti malu untuk melakukan hal itu"
" Ck!" Angga berdecih"Bahkan saat sedang sakit pun kau sangat menyebalkan. Aku heran ilmu apa yang kak Jena miliki hingga dia sanggup hidup serumah denganmu."
Tatapan menyebalkan Gibran menjelajahi tubuh Angga"Seharusnya kau bertanya ilmu apa yang aku miliki hingga sanggup hidup serumah dengan Kak Jena" tak lupa alis tebalnya turun-naik saat berkata-kata. Sebuah kebiasaan Gibran saat menyombongkan diri.
Berkacak pinggang membalas tatapan menyebalkan sang sahabat"Lihatlah! kau memutar balik kata-kataku, kau memang terlahir membawa sifat yang menyebalkan."
"Kau bahkan mengusirku untuk makan di lantai bawah demi bisa berduaan dengan Kanaya, kau lupa dia sepupuku? bahkan yang jadi dewa amor kalian adalah aku" tunjuknya berkali-kali pada diri sendiri.
"Oh jadi kau mengungkit hal itu, dasar pamrih. apa ini yang dinamakan sahabat? bukankah kau memang harus mendukung hubungan kami!. Dalam keadaan seperti ini kau harus memberikan ruang dan waktu yang banyak untuk kami berduaan" tukas Gibran dari dalam kamar mandi, meski masih lemah dia tak bisa mengesampingkan masalah penampilan saat ini, dia harus terlihat selalu tampan di hadapan gadis pujaannya.
"Ingat, berduaan dengan lawan jenis yang ketiga adalah setan. Kalian bisa dalam bahaya!."
"Itu, kau sudah tahu. Sekarang apa kau masih mau jadi yang ketiga? di antara aku dan Kanaya?" sumpah! Gibran yang cekikikan membuat Angga kesal.
"Percuma ngaji agama..."
"Oh tidak!!. Aku mohon jangah ceramahi aku, bro. Aku janji nggak akan macam-macam, aku juga tahu dosa kok."
Angga menatap Gibran tajam, membuat sang sahabat berkata pelan"Please!! jangan cosplay jadi Kiyai Bahi."
Akh! setidaknya Angga sudah berusaha mengingatkan"Dasar tengil, bersyukurlah perjalanan ke sini menyita banyak tenagaku. Jika tidak aku akan meladani ocehanmu sampai malam hari."
"Bruk" handuk bertuliskan Kendi mendarat dengan kuat di tubuh Angga. Pria kurus tinggi itu terhuyung dan mendengus" Apa yang kau inginkan Gibraaaannn."
"Ayolah Angga, kau makan di bawah saja" tiba-tiba dia merengek, mata boba miliknya terlihat sedih. Angin berhembus lembut menyelinap melalui kaca jendela yang terbuka, membuat rambut setengah basah Gibran mengayun perlahan. Dia terlihat tampan meski hanya sekedar mencuci muka, sangat tidak adil bagi Angga yang merasa kalah tampan darinya. Padahal, menurut pandangan orang banyak, tiga sekawan ini semuanya tampan dalam versi masing-masing.
"Menggelikan, jangan menatapku seperti itu" pekiknya bergidik ngeri, sekarang mereka seperti pasangan sejenis yang sedang membujuk dan saling merayu.
"Abang Angga~~~~."
"Haisss!!! jangan panggil aku seperti itu!."
"Abang~~~~" Gibran semakin menjadi. Tahu betul dengan Angga yang anti pria melambai, bocah tengil itu sengaja terus memanggilnya dengan nada gemulai seperti itu.
Kedua tangan Angga mengambang di udara, sejajar dada"Oke! baiklah! aku akan makan di bawah. Berhenti memanggilku seperti itu, kau seperti kaum yang dirindukan pedang Sayidina Umar."
Sebuah tawa renyah terdengar dan menghiasi wajah sahabat tengil itu, memamerkan barisan giginya yang putih dan rapi. Dia semakin terkekeh, senang berhasil membujuk Angga untuk pergi dari kamarnya.
Angga memang sahabat yang baik, meski tersungut-sungut saat Kanaya datang membawa nampan ke kamar itu dia pamit diri untuk makan di lantai bawah saja.
"Mau kemana bang?" tanyanya
"Gerah, aku makan di bawah saja. Mau lihat laut" sahutnya bernada datar.
"Di sini cukup sejuk, angin lautnya nyaman. Lagipula kau dapat melihat laut juga dari balkon kamar ini, bang."
"Tidak, melihatnya dari bawah lebih menyenangkan" elaknya.
"Oh, baiklah. Selamat makan abang" Kanaya tak menghentikan Angga bahkan saat dia benar-benar pergi dari kamar itu. Membuat abang sepupunya menggerutu disepanjang perjalanan menuju lantai bawah.
"Dasar kalian, aku seperti obat nyamuk di sini. Agam pasti sedang bahagia sekarang, di akhir pekan dia bisa menghabiskan waktu bersama wanita pujaannya. Sedangkan aku?? kenapa aku baik sekali mengajak Kanaya ke sini? sekarang mereka berdua malah membuatku makan sendirian."
Di lain tempat Agam sedang menunggu Jena di dalam mobil. Wanita itu tak mengijinkan nya untuk ikut masuk ke perusahaan itu. Bosan karena tak memiliki kesibukan Agam membuka gawai untuk bermain game. Saat hendak memulai permainan sebuah pesan masuk pada aplikasi gelembung berwarna hijau.
"Kenapa diam saja di dalam situ, apa kau sudah makan siang?."
Jemari pria itu menari dengan lincah di atas layar gawai, dalam beberapa detik dia telah mengirimkan pesan balasan pada sang pengirim pesan.
Agam tengah berbalas pesan dengan Salman, adik laki-laki bundanya. Tengah asik berbalas pesan fokus netranya tersita pada sosok perempuan yang dia kenal. Meski sekilas dia menyakini perempuan itu adalah orang yang dia kenal, sebab dia melihat dengan jelas pria yang sedang bersama wanita itu.
Usai berdebat panjang dengan sang editor, meski belum mendapat titik temu masalah yang tengah dia hadapi Jena pergi begitu saja dari perusahaan Will. Percuma berbicara pada orang yang sedari awal tak mempercayai perkataanya.
"Cepat antarkan aku pulang, rasanya aku ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan."
"Brak!!" Jena membanting pintu mobil dengan keras.
Agam terkejut bukan kepalang, ponsel yang dia letakan di atas dashboard terjatuh.
"Ah, maaf Agam" dirinya yang menumpang di mobil orang lain sungguh sangat tidak sopan, dia bahkan membanting pintu mobil orang itu. Emosi tengah melonjak naik dalam diri Jena, apa-apaan editor gila itu. Dia lebih percaya pada perkataan orang lain dari pada dirinya yang selama ini menghasilkan uang untuknya.
Sembari memungut ponselnya yang terjatuh"Kau kenapa? sampai ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan" lembut sekali, wanita itu tak menyangka Agam bersikap seperti itu kepadanya. Bukankah seharusnya dia gusar kepada Jena.
Meletakan kacamata bacanya ke atas dashboard, Jena mengusap kasar wajahnya kemudian berkata"Karyaku akan diangkat ke layar kaca, tapi tersandung masalah plagiarisme."
"Plagiarisme?."
Mengenyakkan diri lebih dalam pada kursi mobil"Aku di tuduh menjiplak karya orang lain. Dan editorku menyarankan untuk meminta maaf pada penulis asli novel itu."
"Hei, itu benar-benar karyamu kan?."
Jena menatap Agam tajam"Jadi kau pun ragu bahwa novel itu benar-benar karyaku?."
Agam terserang panik"Tidak, aku hanya___."
"Sudahlah, cepat antarkan aku pulang. Aku perlu mendinginkan isi kepalaku."
" .Baiklah, tenangkan dirimu sementara aku mengantarkan kau pulang" sebungkus permen susu dengan rasa jeruk Agam sodorkan pada Jena. Rasa yang tak banyak orang sukai namun Agam menyukai rasa itu setelah tahu Jena sangat menyukai rasa asam manis dari permen itu.
"Terimakasih" setidaknya dia merasa sedikit tenang menikmati rasa dan aroma jeruk dari permen itu.
"Sama-sama kak Jena" Agam tersenyum dengan tatapan teduh kepada Jena.
Sepanjang perjalanan Agam hanya diam, dia terlihat sangat fokus mengendarai mobilnya. Tiba-tiba Jena merasa tidak enak hati, teringat ponselnya terjatuh Jena menyangka Agam sedang marah kepadanya"Apa ponselmu rusak? aku akan menggantinya jika memang membuatnya rusak."
Di luar dugaan, nada bicaranya tak terdengar seperti orang yang sedang marah"Ponselku baik-baik saja kak Jena" sahut Agam kembali dengan nada lembut.
To be continued...
Selamat membaca, jangan lupa like fav dan komen.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nurlela Nurlela
rapi bukan rapih🙏🙏
2022-11-04
1
Nindira
Wah Naya udah kek obat aja ya,bisa bikin Gibaran cepat sembuh
2022-10-03
0
Maya●●●
aku kasih iklan kak
2022-09-27
1