Baru saja mobil yang di tumpangi Jena melaju di jalanan, ponsel di saku jaketnya berdering. Sebuah panggilan yang membuat Jena meminta Agam untuk berbalik arah.
"Tolong antarkan aku ke helte bus, ada suatu hal yang harus aku kerjakan" pintanya.
"Kenapa tidak langsung aku saja yang mengantamu?."
"Lantas, Gibran bagaimana?."
Ups! Agam melupakan keadaan Gibran, apakah dia terlalu nyaman bersama wanita ini sampai melupakan sahabat yang tengah sakit?
"Oh iya, aku melupakannya. Bagaimana jika kak Jena saja yang membawa mobil ini, aku bisa menunggu bus rute ke rumah pantai kalian" rasanya tak tega membiarkannya menaiki bus untuk sampai ke kota, Agam tahu Jena tak menyukai keramaian. Mengingat hari ini akhir pekan Agam menerka suasana di dalam bus pasti sedang ramai-ramainya.
"Tidak usah."
Ada apa gerangan? kenapa Jena tiba-tiba harus kekota? baru saja keceriaan menghiasi wajahnya saat mengenakan syal yang baru dia beli, dia terlihat gelisah usai menerima panggilan telepon itu.
"Hemmmm, bolehkah aku bertanya?."
"Hem" sahutnya singkat. Wanita itu menyandarkan kepala di jendela mobil, memandang lautan dengan hembusan nafas berat berkali-kali.
"Kak Jena mau kemana? apakah ada masalah?."
Alih-alih menjawab, wanita itu menggelengkan kepala.
"Kak Jena bisa bercerita kepadaku jika memang sedang dalam masalah, mungkin saja aku bisa membantu. Dan aku berjanji tidak akan membagi ceritamu pada orang lain. Jika itu keinginanmu."
"Agam...." ucapnya pelan.
Demi mendengar perkataan Jena, Agam menepikan mobil dan menatap wanita yang sedang duduk di sampingnya.
"Tidak ada satu manusia pun yang aku percaya di dunia ini, tidak satu manusia pun."
"Dulu aku punya seseorang yang sangat aku percaya, aku bahkan menyerahkan masa depanku kepadanya. Tapi apa kau tahu, masa depanku hampir hancur di tangan orang itu" kemana Jena yang tegas tadi, suaranya merendah saat mengucapkan itu.
Agam menelan saliva, dia tahu siapa orang yang sedang Jena bicarakan"Tidak semua orang memiliki watak yang sama kak Jena."
"Sudahlah, cepat antarkan aku ke halte bus" enggan melanjutkan percakapan mereka, Jena harus segera pergi ke suatu tempat.
Tak berapa lama Jena dan Agam telah sampai di halte bus. Saat sedang menanti bus dengan tujuan perkotaan mereka bertemu Angga dan Kanaya. Sebelumnya Jena meminta Agam agar segera kembali ke rumah, namun pria itu bersikeras tak akan meninggalkannya sebelum bus yang dia tunggu datang.
Angga menepikan mobil saat melihat mereka. Mengetahui tujuan Angga adalah rumah pantai milik Jena dan Gibran hati seseorang bersorak senang.
"Karena bus tak juga datang bagaimana jika aku saja yang mengantar kak Jena ke kota?."
Menatap pria itu sekilas"Tidak usah."
"Bukankah kak Jena tergesa-gesa."
"Jika kau mengantarkan aku lantas siapa yang akan memasak untuk Gibran?."
Jena berbalik pada Angga"Kamu??" tanya Jena sembari menunjuk wajahnya.
"Aku tidak bisa memasak, kak."
"Kamu??" jari telunjuk Jena beralih kepada Kanaya, gadis asing yang baru dia jumpai hari ini.
Kanaya tersenyum lebar"Bisa, aku bisa memasak, kak."
Agam menghela napas lega, ternyata keberuntungan sedang berpihak kepadanya.
Sepakatlah mereka bahwa Kanaya yang akan memasak untuk Gibran, apalagi setelah mengetahui status gadis manis itu Jena pun merasa lega. Sepertinya gadis itu dapat diandalkan. Secepatnya belanjaan Jena dipindahkan ke mobil Angga, hingga Jena dan Agam pun dapat segera pergi dari tempat itu.
"Cih, bocah nakal seperti dia memiliki kekasih. Sangat tidak masuk akal."
"Memangnya kenapa? Gibran pria yang baik."
"Memangnya kau tahu apa tentang Gibran?."
"Kami sudah bersahabat sejak lama, sangat lama."
"Aku tahu kalian sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMP, tapi itu bukanlah sebuah jaminan kau bisa menaruh kepercayaan kepada Gibran" lagi-lagi Jena meragukan tentang seseorang yang dapat di percaya.
"Kenapa?."
"Manusia itu seperti buku, jangan menilai hanya dengan melihat sampulnya saja. Kau tidak akan tahu seperti apa isinya sebelum kau membaca apa yang tertulis di dalamnya" sahut Jena merapikan anakan rambut yang tergerai di tepian wajahnya.
"Hidup juga seperti buku, selain ada bagian yang menyenangkan pasti juga ada bagian yang menyebalkan. Tapi jangan berhenti di situ saja, kita harus tetap membuka lembaran baru agar kita tahu seperti apa kelanjutan cerita di dalamnya" Agam melemparkan kata-kata itu pada wanita yang telah kehilangan kepercayaan kepada manusia lain.
Tak ingin berdebat Jena melengos menatap tajam kepada Agam, Jena lupa bahwa pria di sampingnya ini satu spesies dengan Gibran, adiknya. Jika Gibran saja sangat menyebalkan, tidak menutup kemungkinan teman yang satu ini sama menyebalkannya.
Melihat sikap Jena melakui ekor matanya Agam pun tertawa dalam hati, bahkan saat merajuk wanita ini terlihat sangat cantik dan menggemaskan.
Benar yang di kata orang jika dua manusia berbeda jenis berdua-duaan pasti setan sebagai makhluk ketiga akan menggoda salah satu di antara mereka. Jika setan itu sedang beruntung kedua manusia itu akan tergoda untuk saling menggoda dan terjadilah hal yang tak diinginkan.
Merasa tatapan Jena dapat meruntuhkan pertahanannya Agam pun menyetel murotal Al-Qur'an, hati yang berdebar seketika tenang kembali.
Jena menyerngitkan kening, apa telinganya tidak salah dengar. Suara lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an itu sangat tidak cocok dengan penampilan seorang Agam. Sekali lagi sama seperti Gibran adiknya, Agam kerap berpakaian layaknya anak muda jaman sekarang. Bagi Jena yang cocok dengan suasana agamis seperti sekarang ini adalah orang yang kerap mengenakan sarung dan baju koko, meski tidak sedang beribadah di dalam masjid.
"Kau kira aku hantu?."
"Hah?? kok hantu?."
"Kau menyalakan ayat-ayat itu untuk mengusirku kan? apa aku sangat menyeramkan ketika marah sehingga kau mengira aku seperti hantu?."
Astaga, Agam tak percaya perkataan seperti itu terlontar dari mulut seorang Jena Ahmad, wanita yang dikatakan sahabatnya Gibran berprofesi sebagai seorang penulis novel. Sebagai seorang penulis bukankah wanita ini harus membuka lebar-lebar isi kepalanya.
Dia tak dapat menahan tawa, terbahaklah pria itu akhirnya.
"Hei, kau mentertawakan aku?."
"Hahahah, siapa yang mengatakan kak Jena seperti hantu?."
"Aku sendiri, aku yang berasumsi begitu setelah melihat caramu melihatku mengomel tadi."
"Lagipula bukankah ayat-ayat suci Al-Qur'an itu untuk mengusir hantu?."
Lagi, Agam terbahak.
"Kak Jena salah, aku memang sudah terbiasa melakukan hal ini. Ini seperti obat bagiku ketika sedang berada di dalam masalah, bukan hanya itu aku sungguh terbiasa mendengarkan lantunan ayat-ayat suci ini ketika sedang di dalam mobil ataupun di rumah.
"Oh ya? baiklah aku akan percaya kepadamu, padahal aku yakin kau tak ada bedanya dengan Gibran."
"Memangnya Gibran seperti apa di pikiranmu? kau tidak tahu saja bahwa Gibran sangat pandai melanjutkan ayat-ayat suci Al-Qur'an."
Jena mengangguk"Iya...aku percaya. Aku benar-benar percaya kepada mu."
Agam kembali tertawa karena dia tahu Jena tak sedikit pun percaya pada ucapannya.
Jena sangat kesal, dia membiarkan Agam tetawa hingga puas. Terserah bocah tengil itu saja, Jena tak ingin lagi berbicara kepadanya.
Melipat kedua tangannya di dada, Jena membuang muka dari Agam. Dia lebih memilih menatap pemandangan di luar jendela mobil, sebentar lagi mereka akan sampai di tempat tujuan.
Benar-benar manis"Kau sangat manis saat merajuk, Jena" bisik hatinya.
Begitu lama mereka diselimuti oleh keheningan, Agam kembali angkat bicara"Kita akan kemana kak?."
" Penerbit Will."
Familiar dengan tempat itu Agam tak lagi mengajukan pertanyaan. Sebelumnya dia juga sudah tahu bahwa Jena salah satu penulis ternama di perusahaan itu. Ada banyak hal yang dia ketahui tentang Jena, sayangnya Jena tidak menyadari sosok Agam yang sangat peduli padanya.
"Dia tak lagi bertanya, memangnya dia tahu di mana perusahaan itu?"
"kau___."
"Aku tahu tempat itu, pamanku bekerja di sana."
" Oh" tutur Jena singkat. Sebenarnya Jena ingin tahu siapa pamannya, tapi bukankah dia sedang marah padanya. Untuk sementara dia harus menahan diri agar tak lagi berbicara kepada Agam.
To be continued.
Selamat membaca, jangan lupa like fav dan komennya.
Salam anak Borneo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nurlela Nurlela
typo gibran
2022-11-04
1
Nurlela Nurlela
asal jgn hilang kepercayaan terhadapNya😊
2022-11-04
0
Nindira
Jangan meremehkan orang Jena, bisa saja dia lebih alim dari yang terlihat
2022-10-03
0