Hujan menyapa pasir pantai yang sempat panas terjemur matahari. Gemericik suara sang hujan di atas genteng membuat Gibran terkejut bukan kepalang. Pasalnya, setelah dua hari tinggal bersama sang kakak tak sekalipun wanita itu berniat mencucikan pakaian Gibran. Tak tahan melihat pakaian kotor yang menumpuk, pria berkulit sawo matang itu akhirnya mencuci pakaian pagi-pagi sekali.
Usai menjemur pakaian di halaman belakang Gibran merasa kelelahan, tak sempat mandi pria tinggi menjulang itu tertidur berayun dalam ayunan di beranda kamar.
Cepat lari Gibran cepat pula turun sang hujan, dalam sekejap pakaian yang dia jemur menjadi basah kuyup.
"Kak Jenaaaaaa" teriaknya. Usaha mencuci pakaian itu sia-sia. Padahal Jena sedang duduk manis di teras belakang sambil menikmati secangkir kopi, saat hujan itu turun.
"Apa sih?!!" Jena tak kalah berteriak.
"Pakaian Gibran dibiarkan basah!."
"Ini masih pagi, pakaian itu juga baru dijemur bukan?."
"Pakaian itu sudah setengah kering, setidaknya kakak bantu angkat agar tak basah kuyup seperti sekarang."
"Bawel, kenapa tidak pergi saja dari sini. Di rumah sana kau tidak akan mencuci baju."
Mendengar ocehan Jena, bibir Gibran terlihat cemberut. Begitukah cara Jena untuk mengusirnya dari sini?. Hahaha, tidak semudah itu. Gibran bukanlah seorang pria muda yang gampang menyerah. Meski Jena terkenal keras kepala dan irit bicara Gibran tak akan kalah begitu saja darinya.
Membiarkan dirinya diguyur hujan Gibran mengambil jemurannya tanpa sepatah katapun. Memasukannya ke dalam keranjang dan membawanya kembali ke dapur.
"Apa yang akan kau lakukan pada pakaian basah itu? ingat aku tidak suka sesuatu yang kotor dan basah."
"Cih, aku juga tidak menyukai hal itu. Tenang saja, aku akan mengeringkannya kembali ke dalam mesin cuci."
"Aku sedang memakai mesin cuci."
Salah satu alis tebal Gibran terangkat naik "Oh, ya??? jadi di dalam mesin cuci itu ada pakaian kak Jena?."
Perasaan tidak enak tiba-tiba menghinggapi pikiran Jena, tidak!!! Gibran mengeluarkan pakaian Jena yang sudah setengah kering dan melempaskan ke halaman. Bertebaran di antara pasir pantai yang basah, Jena menjerit histeris melihat kejadian itu.
"GIBRAAAANNNNN!!!."
Tak akan menunggu serangan maut dari Jena, sambil menenteng pakaian kotornya di dalam keranjang Gibran lari ke lantai atas. Oh Tuhan, jejak kaki basah dan berpasir Gibran menodai karpet dan lantai rumah, rasa kesal Jena semakin menjadi-jadi"Hei bocah sialan, berhenti!."
Gelak tawa Gibran pecah dan terdengar renyah, melihat Jena yang marah lebih menyenangkan daripada melihatnya menangis. Terdengar langkah berlari Jena menyusulnya menaiki tangga, dalam sekejap Gibran mengunci pintu kamarnya dan juga jendela.
"Bocah sialan, keluar kau!" kedua mata Jena terbuka lebar, seperti bola ping-pong yang siap untuk meloncat.
"Galak sekali, kakak pikir aku akan keluar melihat kakak yang galak seperti itu? aku masih waras kak Jena. Jika aku keluar nyawaku bisa melayang" duduk bersila menghadapi Jena di depan kaca transparan, Gibran membuat hati Jenaira bergemuruh dan ingin meledak.
Dadanya naik turun, jika ada sebuah kereta api di dalam kepalanya pasti kedua telinganya akan mengeluarkan gumpalan asap panas. Memiliki adik menyebalkan sangat mengganggu ketenangan Jena.
"Pergi dari sini Gibran, kehadiranmu membuat hidupku semakin kacau!" Jena terpekik.
"Aku tidak peduli, aku akan tetap tinggal di sini."
Argh! Jena semakin gusar, mengingat kekacauan di bawah membuat Jena semakin geram pada Gibran. Pagi-pagi sekali dia menyapu dan mengepel setiap jengkal lantai di bawah. Jena juga menggelar karpet yang sudah dia sapu bersih agar suasana rumah semakin nyaman. Sekarang, kenyamanan yang sudah dia ciptakan sejak pagi buta seketika sirna dan berganti dengan jejak kaki basah, juga pasir basah yang berserakan.
Sorot mata itu menatap Gibran dalam-dalam. Bagai sebilah belati nyali sang adik sedikit menciut karena tatapannya.
"Maaf" lolos jua sebuah kata itu dari mulut Gibran, dengan kedua tangan menangkup memohon ampun kepada Jena.
Jemari Jena menempel pada dinding kaca yang memisahkan mereka"Bereskan kekacauan di bawah, cuci bersih pakaianku, dan bersikap baiklah jika ingin tetap di sini" suaranya terdengar bergetar, bukan karena sedih tapi menahan amarah yang meluap-luap.
"Oke" dengan santai dan tanpa beban Gibran menyetujui persyaratan Jena. Dia memang suka membuat Jena kesal kemudian memohon ampun dan mencoba berdamai dengannya. Intinya, Gibran suka bermain dengan emosi sang kakak, meski bisa membahayakan tubuhnya.
Rasanya Jena akan gila dalam waktu dekat, niat hati me-rilekskan diri usai mengetik naskah novelnya yang baru selesai dini hari tadi, kenyataannya sekarang dia tengah bertempur dengan diri sendiri agar kewarasannya tetap terjaga"Sabar Jena, jangan sampai bocah nakal itu kau lemparkan ke tengah laut sana" ucapnya sambil mengelus dada.
"Sabar____" Gibran ikut berkata.
"Orang sabar akan jadi subur. Kak Jena kan kecil mungil binti bonsay, makanya harus banyak-banyak bersabar agar pertumbuhan kakak semakin subur dan makmur."
Helaan napas berat Jena terdengar ke telinga Gibran di dalam sana" Tolong jangan buat aku gila."
"Oke" lagi, Gibran menjawab perkataan Jena dengan santai.
Mulai mengacak rambut karena frustasi"Akh, aku harus tidur. Aku akan benar-benar gila jika terus berhadapan denganmu." Terseok-seok Jena meninggalkan adik nakalnya menuju kamar sebelah, tempat ternyamannya.
Baru sekejap rasanya dia memejamkan mata bocah nakal itu berteriak di depan pintu kamarnya"Kak Jena mau makan? aku akan membuat sarapan."
"Ash! Dosa apa yang telah aku lakukan di kehidupan lampau......" gerutu Jena.
"Tidak! aku tak ingin mati karena keracunan"balasnya berteriak.
Gibran tertawa, dia suka Jena yang marah. Merasa telah puas menyulut api amarah sang kakak dia pun meninggalkannya untuk beristirahat.
Kali ini Gibran benar-benar melaksanakan persyaratan Jena, dia yang dasarnya memang orang yang rapi memberekan kekacauan yang dia perbuat dengan sangat baik. Dia bahkan menambahkan parfum di ruangan itu, aroma manis yang disukai Jena.
Basah-basahan Gibran mengambil kembali pakaian Jena, masih mengenakan pakaian basah dia membereskan cucian kotornya dan Jena. Cukup lama pria itu berkutat di depan mesin cuci hingga menjemur cucian bersihnya di tempat yang teduh.
Hari beranjak naik, hujan perlahan reda dan mentari kembali bersinar. Tanggung untuk mandi Gibran segera memindahkan jemuran pakaian mereka ke tengah halaman. Mengangkat dua jemuran besi besar karena bajunya dan baju Jena lumayan banyak. Kedinginan dan kepanasan, lengkap penderitaan Gibran hari ini.
Kesibukan membuatnya lupa untuk sarapan, selepas mandi dia hanya ingin segera beristirahat. Deru ombak beserta angin sepoi-sepoi membuat kedua matanya mengantuk dan akhirnya dia pun tertidur pulas.
*
*
*
*
Di sebuah pusat perbelanjaan.
Toko ponsel dengan nama"Ponsel suka-suka" nampak dua pria muda tengah sibuk melayani pelanggan. Pelanggan datang silih berganti, ada yang menjual dan ada pula yang membeli.
"Sebentar lagi jam makan siang, si tengil kenapa belum datang juga."
Menanggapi perkataan rekan kerjanya, pria berkacamata berucap"Mungkin karena hujan si tengil Gibran tidak datang ke sini."
"Tidak mungkin, Gibran punya janji dengan pacarnya siang ini."
"Kau tau dari mana?."
"Pacar baru Gibran kan sepupuku, hampir semalaman gadis kecil itu bercerita bagaimana awal mula Gibran mendekati dia. Hahahah, dia tidak menyadari ada campur tangan aku dalam hubungan mereka."
"Jadi sekarang si tengil tidak melajang lagi?."
Pemuda satu itu bernama Angga, seraya mengangguk"Yah begitulah."
"Kau yakin mendukung hubungannya dengan sepupumu?." Tanya pemuda berkacamata, bernama Agam.
Baru saja Angga ingin menjawab pertanyaan Agam, ponsel si lawan bicara berdering.
"Assalamualaikum, iya Gib?."
"Waalaikumsalam Gam, bisakah kau menjemputku? mobilku mogok."
"Di mana posismu? insa Allah aku bisa menjemputmu."
"Aku di rumah pantai."
"Kau jadi pindah kesana? bukankah kau bilang kak Jena menolakmu?."
"Kau lupa kami satu Ayah dan Ibu? jika dia keras kepala maka aku lebih keras kepala." sahut Gibran pula.
"Batu bertemu batu hanya akan saling menghancurkan Gibran, kau tidak seharusnya____."
"Jangan mulai menceramahiku, jadi menjemputku tidak?" sambar Gibran, kata-kata Agam tak tuntas dia dengarkan.
"Mobilnya mogok dan dia sedang berada di rumah pantai. Memang pandai sekali menyusahkan orang" sambil mematikan panggilan telepon Agam berucap kepada Angga.
"Buruan jemput dia, untuk sementara aku bisa menjaga konter ini sendiri" berbeda dengan Gibran yang jahil dan petakilan, dua sahabat nya ini terlihat lebih waras.
Memejamkan mata sambil membuang nafas, Agam segera menjemput Gibran di rumah pantai. Butuh waktu hampir satu jam untuknya mencapai rumah pantai itu, dan ketika telah sampai di sana Gibran tengah bersandar di kursi goyang mengenakan kacamata hitam.
"Assalamualaikum."
"Ng?" Gibran melirik Agam dengan kacamata melorot di hidung.
"Waalaikumsalam, lama sekali. Satu jam aku menunggumu disini" si tengil melirik jam yang melingkar di tangan dan memandang Agam dengan alis berkerut, berlagak sedang merajuk.
Tak ingin berdebat Agam berniat segera membawa Gibran ke konter ponsel" Cepat berangkat, konter hape kita sedang ramai-ramainya."
"Kau tidak berniat mampir dulu? menyapa kak Jena misalnya?" tukasnya mengayunkan kursi goyang.
Agam diam saja, bukan rahasia lagi bahwa dirinya menyukai Jena. Jena wanita pertama yang dia cintai setelah wanita yang melahirkannya. Rasa cinta yang dalam membuatnya patah hati di hari pernikahan Jena. Bukan tak ingin berterus terang akan perasaan yang dia pendam terhadap Jena, hanya melihat Jena tersenyum dan tertawa bersama kekasihnya kala itu sudah cukup membuat Agam berbahagia. Tak pernah ada wanita lain yang singgah di hatinya, bahkan sampai saat ini meski waktu telah lama berlalu.
"Jangan melamun, aku tidak bisa meruqyah mu jika kerasukan."
Suara itu mengacaukan lamunan Agam akan Jena" Sembarangan! jangan asal bicara Gibran, cepat berangkat ke kota."
"Yakin tak ingin menyapa kak Jena?."
"Tidak perlu."
"Gam, sebenarnya aku merasa sedikit pusing."
"Lantas?."
"Aku tidak jadi saja ke konternya, kau dan Angga pasti bisa mengatasi keadaan di sana."
Melangkah maju, Agam mengambil duduk di samping Gibran"Jika sudah tau merasa pusing kenapa kau meminta aku menjemputmu?" rasa kesal mulai menyinggahi pikiran Agam. Jauh-jauh ke sini ternyata dia hanya dijahili si tengil.
"Aku bosan, dan mengerjaimu membuatmu senang."
"Plak!!" sangat enteng telapak tangan Agam mendarat di kening Gibran.
"Ash!! sakit Gam!."
"Dasar kurang kerjaan, bayangkan bagaimana sibuknya Angga sekarang sendirian menjaga konter. Kau membuang waktu berhargaku Gibran. Tidak bisakah kau bersikap dewasa?."
"Akh, kepalaku semakin pusing. Juga omelanmu membuatku semakin pusing" lenguhnya memegangi kepala dengan kedua tangan.
Ada sedikit rasa iba melihat Gibran yang jahil berlagak kesakitan"Kau memang jago membuat orang kesal, ayo aku antar ke kamar."
"Kenapa tidak dari tadi? kau sangat lambat dalam bertindak, Gam"protesnya.
"Ash, saat sakitpun kau sangat bawel. Sepertinya bukan keningmu yang harus ku kompres, tapi mulut cerewetmu."
" Apa kau tega berbuat begitu kepadaku? ingat aku ini calon adik iparmu" celotehnya, padahal Agam sedang memapahnya saat ini.
Wajah Agam seketika merona"Demammu semakin menjadi, sekarang mulutmu sedang meracau."
"Aku tidak sedang meracau."
"Diamlah!, sentak Agam. Dia membuka pintu kamar dan merebahkan pria itu di tempat tidur.
"Hihihi, wajahmu memerah" jari telunjuknya hampir mengenai batang hidung Agam, jika pria itu tak segera berdiri sedikit menjauh.
"Matamu buram, di mana kotak obatmu biar ku berikan kau obat."
Gibran memegangi perutnya"Aku lapar."
Agam kembali duduk di tepian tempat tidur Gibran"Kau juga ingin aku memasak untukmu?? yang benar saja!."
Jurus jitu untuk merayu Agam yang tidak tegaan"Ayolah Gam, aku bisa mati kelaparan."
"Jangan bersikap dramatis, kau hanya demam dan kelaparan. Akh, aku sudah rapi seperti ini kau paksa berkutat di dapur."
"Sepertinya kak Jena juga belum makan" sebuah kata yang meluluhkan hati seorang Agam.
"Ck! jika tidak kasihan kepadamu aku tidak akan memasak untukmu" langkah kaki Agam perlahan terdengar menjauh. Gibran benar-benar lelah, dan kelaparan. Dia tersenyum meski kedua matanya terasa berat, menantikan masakan Agam yang bercita rasa sedap.
To be continued.
Selamat membaca,jangan lupa like,fav dan komennya.
Tepian sungai arut, Pangkalanbun
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Nindira
Ya Jena mana mau Gibran keluar takut nyawanya melayang kamu sih salah malah nyuruh dia keluar harusnya kamu baik²in dia dulu baru diam² memberi serangan🤣
2022-10-02
0
Hulapao
haloo kak aku nyicil bacanya yaa
jangan lupa mampir di karya terbaruku 'save you'
thankyouuu ❤
2022-09-15
2
Ria Diana Santi
Sabarkan hatimu ya, Gam. 🙃
2022-07-27
3