Pagi yang indah. Menikmati suasana pagi di tepian pantai sungguh hal yang sangat Jena rindukan. Deru ombak bersambut semilir angin berbau asin, Jena sangat suka hal ini.
Kehadiran Jena mulai menyita perhatian para penduduk kampung. Banyak dari mereka yang memang mengenal Jena dan sedikit berbincang dengannya.
Tengah asik berbincang dengan seorang pak tua nelayan, suara klakson di depan rumah membuat telinga mereka terusik"Aduh non, sepertinya non Jena kedatangan tamu."
Sungguh merusak suasana pagi nan damai, dengan terpaksa dia harus menemui siapa pelaku kegaduhan"Tamu yang sangat tidak sopan" tukasnya beranjak berdiri dari batang pohon kelapa tumbang, tempatnya duduk menghadap laut lepas.
Nelayan itu menengok ke samping rumah"Di lihat dari mobilnya, sepertinya itu bukan orang asing."
"Saya izin ke depan dulu" pamit Jena pada nelayan, firasat tidak baik dia rasakan tentang tamu tak sopan.
"Iya non, saya juga mau pulang."
Nelayan itu tak salah menerka. Ternyata bukan hanya Ane yang sering ke rumah itu, Gibran adik laki-laki Jena juga sering terlihat menyambangi rumah tua tak berpenghuni tersebut.
"Haisss!. Jadi rokokmu yang memenuhi asbak di teras atas?."
Gibran tertawa kecil"Hallo kak Jenaira yang manis."
Sudut bibir Jena terangkat mencibir. Jena yang manis? apa adik laki-lakinya kerasukan. Telinganya terasa gatal mendengar kata manis dari mulut Gibran. Bocah yang selalu membuatnya kesal jika bertemu"Apa maumu datang ke sini?."
Sebuah pertanyaan yang mengundang gelak tawa Gibran"Aku memang sering ke sini. Memangnya aku harus punya alasan jika hendak berkunjung ke sini??."
"Rumah ini sudah jadi milikku, kau pulang saja."
"Ow ow! apa hak anda ingin menguasai rumah ini?."
"Dari kecil aku tinggal di sini. Kakek dan Nenek sudah tiada, jika bukan aku siapa lagi yang berhak atas rumah ini."
"Cucu Kakek dan Nenek bukan hanya Kak Jena!. Ingat, masih ada Gibran sama Bang Arkan."
Jena melangkah maju mendekati Gibran yang duduk di pagar teras"Tapi hanya aku yang tinggal bersama Kakek dan Nenek di sini. Bahkan sampai menjelang hari pernikahanku."
Sorot mata Jena menyiratkan kebencian mengingat ketidak-adilan yang dia terima dari kedua orang tuanya. Bagi Jena, ayah dan Ibu tak bersikap adil kepada dirinya, apa karena dia wanita?. Sejak kecil Jena merasa tak nyaman tinggal bersama kedua orang tuanya, ayah yang hanya suka bemain bersama Arkan dan Gibran. Ibu yang hanya suka memuji kepintaran Arkan dan Gibran. Kedua orang tua itu kerap meninggikan suara ketika menegur kesalahannya, entah itu menumpahkan minuman atau makanan di meja makan. Berbeda dengan kedua saudaranya, apapun yang mereka lakukan tak pernah salah di mata kedua orang tuanya. Mereka selalu bersikap dan bertutur kata lembut pada mereka.
Hal sangat membekas di hati Jena ketika duduk di bangku sekolah dasar. Untuk pertama kalinya dia mendapat nilai tinggi dalam mata pelajaran bahasa, namun apa yang Jena dapatkan ketika menceritakan hal itu pada sang Ayah??
"Bahasa bisa dipelajari dengan mudah. lihatlah Gibran, dia pandai berhitung meski baru duduk di bangku TK."
"Ya!!! dia sangat menggemaskan. Hari ini dia menghitung gambar buah-buahan dengan benar di buku tugasnya. Tanpa bantuanku" ujar sang Ibu.
Bukan hanya perihal di dalam pelajaran. Pada keseharian pun Jena selalu di banding-bandingkan dengan saudaranya, hal yang sangat menyakitkan bagi Jena.
Perlahan Jena tak pernah menceritakan apapun lagi tentang dirinya, gadis ceria itu perlahan menjadi pendiam. Tak satupun dari mereka menyadari perubahan pada diri Jena, hingga kedatangan Kakek dan Nenek bagai cahaya terang dalam hidup Jena. Hanya sekali meminta ijin pada kedua orang tuanya, Jena diserahkan begitu saja kepada Kakek dan Nenek. Dan ketika Jena meminta untuk tak satu sekolah lagi dengan Gibran pun, kedua orangtuanya tak memberikan penolakan. Pedihnya, meski sering mengunjungi kediaman Kekek dan Nenek, kedua orangtuanya tak begitu memperdulikan Jena.
Dan ketika Jena hendak menikah, mereka tak ambil pusing. Sebuah hal yang melegakan bagi Jena saat itu, ketidak-perdulian kedua orangtuanya tak jadi penghalang untuk menikah dengan pria pujaan hati. Hanya Kakek dan Nenek tersayang yang banyak memberikan nasihat pernikahan kepadanya menjelang hari pernikahan. Begitu pula saat Jena pamit diri untuk tinggal bersama Dewa di kediaman mertuanya, Kakek dan Nenek nampak sangat sedih namun harus melepaskan.
Itulah alasan Jena tak ingin kembali ke kediaman kedua orangtuanya. Tak mengapa tinggal sendiri, toh rumah Kakek dan Nenek banyak menyimpan kenangan manis semasa kecil.
"Berani tinggal di sini sendiri??" celetuk Gibran tak peduli betapa emosinya Jena.
"Ini bukan pelosok desa, apa yang harus aku takutkan. Lagipula penduduk di sini ramah, suasananya nyaman dan cukup ramai. Apa pedulimu menanyakan hal itu?. Jika tidak ada urusa lain pergilah dari sini."
"Kak Jena, sebenarnya aku diminta Ayah dan Ibu untuk menemuimu" meski berusaha tenang, Gibran dapat melihat keterkejutan di wajah Jena.
"Maaf aku selalu membuatmu kesal, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi" lanjutnya.
Kata yang terlontar dari mulut Gibran membuat kedua alis Jena naik"Kalian salah makan?? atau salah minum obat?."
"Jangan berpikiran yang macam-macam" sambar Gibran.
"Oh!!! kalian mengasihiniku??" teringat perjumpaan dengan tante Ane, sepertinya kabar terbuangnya dia dari hidup lelaki pujaannya telah sampai kepada mereka.
Berusaha menolah asumsi pribadi sang kakak"Bukan begitu, kak."
"Sudahlah!. Aku sibuk lebih baik kamu pulang."
"Pulang kemana?."
"Ke rumah Ayah dan Ibu."
"Bagaimana aku akan tinggal di sana jika barang-barangku sudah dikemas Ayah. Mungkin sebentar lagi akan sampai ke sini."
Jena membuang napas kasar"Tidak bisakah kalian membiarkan aku tenang?. Baiklah! aku mengaku sedang patah hati sekarang, jadi demi rasa kemanusiaan biarkan aku sendiri di sini."
"Demi rasa kemanusiaan terimalah aku disini" Gibran memutar balik perkataan Jena.
"Ash!. Baru saja dia berkata tak akan membuatku kesal, dasar bocah" gerutu Jena.
Tak berapa lama barang-barang milik Gibran telah sampai. Setengah mati Jena menahan emosi demi kewarasan dirinya.
"Jadi...kamu benar-benar pindah kesini?" pertanyaan itu diangguki Gibran sembari memberi aba-aba untuk membawa barangnya ke lantai atas pada petugas pengiriman barang.
Jena terduduk di kursi teras, memandangi aktivitas mereka dengan putus asa. Haruskah dia pergi saja dari sini?. Tapi kemana? dia sudah menyusun rencana untuk bertahan hidup di tempat ini, kedatangan Gibran membuat rencananya terancam gagal.
Membuka gawai yang sedari tadi dalam genggaman, gadis itu memeriksa akun berisi dana kehidupan yang dia miliki.
"Masih banyak" ujarnya bergumam.
"Jelas saja banyak, mantan mertua itu membayar mahal atas perpisahanku dengan anak kesayangannya. Eish! air mataku, kesedihanku, sakit hatiku, kalian memang harus membayar mahal atas pengkhianatan yang dilakukan anak kesayang kalian" hanya hati yang dapat berbicara. Sebab Jena yakin Gibran yang menyebalkan pun pasti akan marah jika mengetahui apa yang dia lalui di kediaman Dewa.
To be continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments
Anita Jenius
mantap kak
2024-04-05
1
Cia cia
apa yg orang tua pikiran kalau sudah membedakan anak² seperti itu 🤔
2022-11-23
1
Nindira
Sabar ya Jena terkadang para orang tua itu suka gak adil pada anak²nya tapi semoga itu tak berkelanjutan, semoga mereka berubah
2022-10-01
1