Di sebuah ruangan yang ada di rumah sakit, Byan melirik suaminya menggunakan ekor matanya. Byan belum pergi ke Jakarta karena Pak Nugroho memberikannya waktu 2 hari untuk pamit kepada ibunya. Sementara surat-surat kepindahan sekolahnya telah di urus oleh orang-orang yang dipekerjakan oleh keluarga Nugroho. Seharusnya Byan sudah tidak bisa pindah bukan? Namun karena koneksi dan uang, apa yang seharusnya tidak terjadi bisa saja terjadi.
"Byan, sebaiknya kalian pulang dulu! Kasihan suami kamu Nak!" Kirani berbicara dengan suara yang masih sangat lemah. Belum lagi masker oksigen yang menutupi mulut dan hidungnya membuat suara dari Kirani semakin sulit untuk di dengar dari jarak tertentu.
"Ibu, Byan ingin menemani Ibu, kenapa Ibu malah menyuruh Byan pulang? Byan hanya memilliki waktu dua hari sampai Byan benar-benar akan pergi jauh dari kalian."
Kirani mengangguk. Dia bukan tidak mengerti maksud dari niat Byan, namun Byan sekarang sudah memiliki suami. Dia tidak bisa bertingkah seenaknya saja sekarang. Ada orang lain yang harus dia perhatikan. Ada orang lain yang harus dia utamakan.
"Sebaiknya kamu memang pulang Byan, biarkan Ibu di sini bersama Ayah dan Bagas. Kamu pulanglah! Ini sudah malam, Nak Brian pasti sudah mengantuk."
"Ikh Ayah, Ayah sama Ibu itu sama aja. Ya Sudah, kalau begitu, Byan pulang. Besok Byan tidak usah ke sini lagi saja. Byan akan langsung berangkat ke Jakarta." Byan berdiri kemudian berjalan menuju pintu ruang rawat Kirani. "Om! Ayok!" ajak Byan pada suaminya. Brian menoleh, dia berdiri kemudian membungkuk ke arah mertuanya dan pergi mengikuti bocah yang tadi memanggilnya dengan sebutan om.
"Assalamu'alaikum," ucap Byan ketus. Dia tidak menunggu jawaban dari keluarganya dan langsung menutup pintu lumayan keras.
"Maafkan anak saya," ucap Adrian pada pasien yang ada di ruangan itu. Kirani mendapatkan kamar kelas 1. Jadi dia hanya memiliki satu rekan di kamar itu. Sebenarnya keluarga Nugroho sudah menawarkan kamar VVIP, namun Adrian menolaknya karena tidak mau terlalu memanfaatkan status yang dimiliki besannya.
"Tidak apa-apa. Anak gadis memang seperti itu, emosinya belum stabil dan bisa meledak kapanpun tanpa ada alarm pemberitahuan sebelumnya."
Semua orang yang ada di ruangan itu terkekeh. Byan memang memiliki sifat yang ceria dan mudah bergaul, meskipun dia mudah marah dan kadang tidak bisa mengendalikan emosinya. Namun Byan adalah anak yang baik.
****
"Baca do'a dulu Om! Om gak pernah baca do'a ya kalau keluar dari satu tempat menuju ke tempat lain?"
Brian yang hendak menginjak pedal gas mobilnya tidak jadi melakukan itu dan malah menatap Byan dengan tatapan tajamnya. Baru kali ini Brian mendapatkan lawan bicara yang berbicara dengan sangat santai padanya. Ingin rasanya Brian melempar gadis itu keluar, namun dia masih memiliki janji kepada ayahnya untuk membawa Byan ke Jakarta dengan selamat tanpa ada lecet sedikitpun.
Brian diam untuk sejenak, lalu mulai melakukan mobilnya. Tatapannya lurus ke depan. Susana di dalam mobil itu terasa sangat sepi karena tidak ada yang mau membuka pembicaraan.
"Berhenti!" Tiba-tiba Byan berteriak membuat Brian refleks menghentikan laju kendaraannya.
Brian menatap Byan sengit, namun gadis itu tidak tahu, dia malah membuka pintu mobil lalu keluar dan menghampiri beberapa pedagang kaki lima yang sedang berjualan di pinggir jalan.
"Astaga, bocah itu benar-benar minta di bumi hanguskan. Dia pikir aku ini supirnya sampai dia bisa seenaknya minta berhenti seperti ini."
Brian merasa sangat kesal karena tingkah Byan, belum lagi Byan berhenti di tempat kumuh dan kotor, sepertinya makanan di sini juga tidak higenis, Brian bergidik ngeri membayangkan berapa banyaknya kuman yang akan menempel pada makanan yang dijual di pinggir jalan. Saat Brian sedang menunggu Byan kembali, tiba-tiba saja pintu mobilnya terbuka, Byan muncul dengan menyumbulkan kepalanya ke dalam mobil.
"Om!" Byan bersuara. Brian hanya menoleh tanpa mau bertanya apapun.
"Om, sekarang Om kan suami Byan, Byan minta uang jajan dong Om, Byan lupa bawa uang."
"Kenapa kamu memesan makanan kalau kamu gak punya uang!" sahut Brian dengan nada suara dinginnya. Brian menggerutu namun dia tetap mengeluarkan dompetnya.
"Ini!" Brian menyerahkan kartu kredit miliknya.
"Aduh Om, mana bisa jajan di pinggir jalan menggunakan benda seperti itu, aku mau uang cash bukan kartu modelan begitu. Om pikir ini mall apa!"
"Aku mau uang cash Om!" ujar Byan ketika suaminya tidak merespon permintaan dia yang sebelumnya.
"Aku tidak ada uang cash. Ada juga lima puluh ribu, gak akan cukup."
Byan masuk ke dalam mobil meski hanya sebagian dari tubuhnya. Dia menyambar uang yang ada di tangan Brian lalu tersenyum sumringah. "Ini sudah lebih dari cukup Om."
Brian menggelengkan kepalanya. Bagaimana bisa dia menikahi bocah SMA yang masih kekanakan seperti ini. Ayahnya benar-benar tega menjodohkannya dengan gadis yang masih bau kencur. Brian menarik napas panjang lalu menghembuskan-nya perlahan.
"Sepertinya hari-hari ku tidak akan berjalan dengan baik setelah ini," ucap Brian pada dirinya sendiri.
Beberapa menit kemudian, Byan kembali masuk sembari membawa beberapa camilan di tangannya.
"Om mau tidak?" tanya Byan menyodorkan camilan itu pada Brian.
"Ikh, makan aja sendiri, makanan kayak gitu kok di beli sih, pasti banyak kumannya itu."
Byan memutar bola matanya malas. Bisa-bisanya Brian mengatakan makanan yang setiap hari dia makan banyak kumannya. "Om, kalau ini banyak kumannya, Byan pasti sekarang sudah mati. Byan tiap hari jajan ini kok di sekolah." Byan memperlihatkan cilok, cimol, dan juga sotong kepada Brian.
Brian yang tidak menyukai makanan seperti itu menjauhkan tubuhnya dan lebih memilih bersandar pada pintu mobil.
"Oh iya, ini uang kembaliannya Om." Byan menyerahkan uang sebanyak tiga lembar. Lembaran itu terdiri dari uang 20 ribu, 10 ribu dan 5 ribu.
Brian menatap uang itu dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya. "Kamu simpan saja! Aku tidak membutuhkan itu lagi," ucap Brian.
"Ya sudah, kalau begitu, Byan anggap ini adalah nafkah yang Om berikan untuk Byan."
Brian diam. Dia sama sekali tidak perduli dengan apa yang dikatakan oleh Byan. Dia hanya ingin cepat-cepat sampai rumah supaya dia bisa mandi dan istirahat.
"Om!" panggil Byan dengan mulut penuh makanan.
"Om tahu tidak, sebenarnya kita itu tidak cocok jadi suami istri bukan? Om sudah tua, sedangkan Byan masih muda. Om memang tampan, tapi kalau nanti Byan sudah berumur 40 tahun, Om pasti sudah seperti kakek-kakek sedangkan Byan akan terlihat masih sangat cantik.
"Uhukkkk ... " Tiba-tiba saja Brian tersedak ludahnya sendiri.
"Kau bilang apa barusan? Kakek-kakek?" tanya Brian dengan wajah yang memerah padam.
Dengan polosnya Byan mengangguk.
"Byan kau!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 188 Episodes
Comments
Indah Hidayah
bau kencur enak om krenyes krenyes seger
2024-05-07
0
niraaauci
ya ampun ngakak sumpah kalo ngomong suka benar .ngeri ngeri sedep tuh bicaranya😅😅
2023-07-03
0
niraaauci
pastinya itu brian.selamat menempuh hiduppp penuhh warna warni 😂😂😂
2023-07-03
0