23.35 wib.
Esta baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sedang membantu Pakde Karya menutup lapaknya bersama dengan karyawannya yang lain. Malam ini, ia sama sekali tidak berniat untuk pulang ke rumah. Walaupun ia tau kalau malam Ringgo tidak pernah ada di rumah.
Namun satu hal yang ia sesali dan memaksa otaknya berputar lebih keras, ia sama sekali tidak membawa uang sepeserpun. Walaupun di depannya hanya ada jalan buntu, namun Esta tetap nekat untuk tidak pulang kerumah.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Esta memilih untuk berjalan-jalan di temaramnya lampu jalanan. Menyusuri trotoar dan membiarkan kakinya sesuka hati melangkah kemanapun. Ia sedang berusaha ‘menyembuhkan’ lukanya. Setidaknya luka yang ada di keningnya tidak lagi terasa sakit.
Sesuatu melintas di benak Esta saat ia menengadahkan wajahnya ke langit. Semesta malam begitu indah dengan taburan bintang-bintang walaupun sebagian tertutup awan dan asap. Ia juga Semesta, namun kenapa hal yang di laluinya tak pernah ada indahnya?
Di luaran sana, apakah ada orang yang hidupnya seperti dirinya? Kalau ada, ia ingin bertemu dengan orang itu dan saling berbagi kisah dengannya. Tapi, apa gunanya saling menceritakan kisah menyedihkan yang mereka punya? Apa itu akan membuat mereka lebih baik? Apa itu bisa mengeluarkan mereka dari keadaan paling tidak di inginkan itu?
Esta yakin, kalau setiap orang punya masalahnya masing-masing. Banyak variabel untuk menilai tentang permasalahan setiap manusia. Dan kita tidak berhak menilai apakah masalah kita yang paling menyedihkan. Kadar masalah setiap orang berbeda-beda, dan bukan tempat kita untuk menghakimi siapapun. Dengan cara berfikir seperti itu, membuat hati Esta sedikit tenang dan dia bisa menguatkan diri.
Esta terus berjalan tanpa henti. Hingga akhirnya ia sampai di sebuah taman kota yang tidak banyak orang disana. Hanya ada beberapa pasangan yang sedang menghabiskan malam bersama menikmati jalanan kota Jakarta. Dan juga beberapa penjual kacang dan jagung rebus.
Esta merasa kakinya sudah sedikit pegal. Jadi ia memutuskan untuk duduk di dalam taman. Namun baru setengah jalan, perutnya tiba-tiba terasa tidak nyaman. Ia ingin buang air besar namun ia tidak melihat ada kamar mandi disana. Dengan terpaksa Esta melanjutkan perjalanan untuk mencari kamar mandi.
Namun jalan yang ia pilih ternyata jalan yang sepi. Disana hanya satu dua orang yang lewat. Maklum saja, ini sudah lewat tengah malam. Esta ingin kembali namun percuma karna disana tidak ada kamar mandinya. Jadi ia memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan.
Tak jauh di depannya, ada seseorang yang sedang berdiri di dekat sepeda motornya. Melihat dari pakaian orang itu, itu adalah seorang pria yang sedang mondar-mandir sambil sesekali memukuli helm yang terpasang di kepalanya.
Brak!!!
“Aduh!” Lirih Esta saat sesuatu mengenai kakinya.
Esta di buat terkejut oleh suara helm yang di banting oleh pria itu. Tubuhnya bahkan sampai berjingkat. Seketika ia merasakan takut.
“Aaarrggghh!!!!!”
Pria itu berteriak dengan kesalnya. Kembali mengusap kasar rambutnya setelah helem terlepas dan terlempar ke arah Esta.
Esta terus memperhatikan pria itu dengan seksama. Ia seperti mengenal sosok yang sedang terduduk bersandar di motor itu. Cahaya lampu jalan sedikit memberinya gambaran siapa pria yang ada disana.
Setelah yakin, Esta memungut helm full face dari sebelah kakinya dan berjalan mendekati pria itu. Ia menyodorkan helm kepadanya.
Rai menoleh saat merasa ada seseorang yang sedang berdiri di sampingnya. Ia menatap dingin kepada gadis gemuk yang sedang menyodorkan helmnya padanya.
“Aku gak tau apa masalahmu, tapi semoga setelah ngelempar helm ini kamu jadi ngerasa lebih baik.” Lirih Esta. Ia masih menunggu Rai untuk meraih helm. “Buruan di ambil. Tanganku pegel.”
Dengan tatapan jengahnya, Rai meraih helm dari tangan Esta kemudian berdiri.
“Malam-malam gini ngapain kamu di sini?” Tanya Rai tanpa memandang Esta. Ia sibuk mengusapi helmnya yang sudah baret di sana-sini.
“Aku lagi jalan-jalan, tapi perutku sakit. Mana gak ada kamar mandi lagi.” Ujar Esta sambil meringis menahan sakit di perutnya.
“Kamu bisa numpang kamar mandi di kosku. Gak jauh dari sini. Tapi harus jalan kaki karna motorku habis bensin.” Jelas Rai menawarkan bantuan kecil.
“Dimana kosmu?” Rasa sakit itu terus mendesak perut Esta.
Rai menunjuk ke arah sebuah perumahan yang hanya beberapa puluh meter dari tempat mereka.
“Yaudah, deh. Gak tahan banget aku.”
Rai kemudian memakai helmnya dan mulai mendorong sepeda motornya. Sedangkan Esta mengikuti dengan diam di belakang pria itu. Rasanya sesuatu sudah di ujung tanduk. Ia khawatir tidak bisa sampai di kamar mandi Rai.
“Ehm,,, Rai, bisa cepetan? Udah mau keluar...” Lirih Esta lagi. Ini benar-benar petaka baginya. Sebenarnya Esta sedang menahan malu. Ini benar-benar bukan waktu yang tepat. Di tambah keningnya terasa sangat sakit dan membuatnya sedikit pusing.
Setelah perjuangan yang cukup berat, akhirnya mereka sampai di sebuah deretan kamar kos dan Rai segera membukakan pintu kamarnya. Ia mempersilahkan Esta untuk masuk lebih dulu dan menunjukkan kamar mandinya.
Lega luar biasa, itulah yang sedang di rasakan oleh Esta. Lama ia berada di kamar mandi sebelum menyelesaikan urusannya. Setelah selesai, Esta berniat untuk bangun dan keluar dari kamar mandi. Namun saat berdiri, tiba-tiba pandangannya berkunang-kunang dan kakinya melemas seketika.
Tubuh Esta lunglai dan membuatnya ambruk di lantai. Ia tidak pingsan, tapi kepalanya seperti sedang berputar dengan kecepatan yang tinggi sampai membuatnya mual. Tanpa sengaja ia menggebrak pintu kamar mandi dan menimbulkan suara keras.
Rai yang sedang menunggu di luar bergegas masuk saat mendengar suara keras itu. Namun saat ia tiba di depan kamar mandi, ia melihat Esta yang sudah berjalan sempoyongan keluar dari sana.
“Kamu kenapa?” Tanya Rai. Ia bukan panik, tapi heran.
“Pusing.” Jawab Esta.
Rai melihat ke arah kening Esta yang sudah membiru. Tadi ia tidak sempat memperhatikannya. “Istirahat aja dulu disitu. Kalau gak pusing baru pulang.” Ujar Rai meminta Esta untuk duduk di kasurnya.
Rai tidak membantu Esta untuk duduk. Gadis itu berusaha untuk berjalan sendiri dan duduk di atas kasur dan menyandarkan punggungnya di dinding.
“Sorry ngerepotin, Rai. Aku numpang duduk sebentar. Kalau udah gak pening aku pulang.”
Rai mengangguk acuh. “Kalau gitu aku mau keluar dulu cari makan. Nyamanin aja.”
Setelah berkata begitu, Rai keluar dari kamarnya dan menutup rapat pintu kamar itu dari luar. Meninggalkan Esta yang sedang berusaha untuk menyembuhkan dirinya. Menyembuhkan rasa sakit luar biasa di keningnya.
Perlahan Esta meraba keningnya yang benjol, namun ternyata malah semakin sakit. Ia sampai meringis kesakitan. Belum lagi pipinya yang memerah bekas telapak tangan. Bekas telapak tangan itu jelas mengukir sebuah karya seni yang menyakitkan di hati Esta.
Ia muak. Sungguh ia muak dengan semua perlakuan yang ia terima dari orang yang seharusnya menjadi pengayom bagi dirinya. Ia sudah tidak yakin apa kedepannya ia masih bisa menyelamatkan diri dari Ringgo. Ingin pergi meninggalkan keluarga itu, namun ia belum punya cukup uang untuk menyewa kos sendiri.
Sedikit lagi, ia harus bertahan sampai ia tamat sekolah. Hanya beberapa bulan lagi. Ia harus bisa bertahan sampai saat itu tiba dan memulai hidupnya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Zieya🖤
jalan cerita yang beza, tapi rasa sakit yang sama....
2023-05-07
0
rintik
🥺🥺🥺😭😭 kasian esta
2022-09-06
0
Pia
😥😥😥😥😥
2022-08-26
0