Rai mencibir dari balik helmnya saat melihat sebuah mobil sedan mewah yang terparkir di depan kosnya. Namun ia tetap memarkirkan sepeda motornya dan turun dari sana kemudian langsung menghampiri Danang yang sedang duduk terpaku di teras kosnya.
“Sudah pulang, Den?” Tanya Danang ramah. Ia langsung berdiri dari duduknya.
“Ngapain mamang kesini?” Tanya Rai sambil membuka kamar kosnya.
“Saya di suruh bapak buat jemput Aden pulang ke rumah. Katanya ada yang mau di bicarakan, penting, begitu.” Jelas pria berumur 40 tahunan itu.
“Kan bisa telfon aja.”
“Kata bapak harus di sampaikan langsung sama Aden.”
“Sebentar ya, Mang. Aku ganti baju dulu.” Ujar Rai yang langsung masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti seragam sekolah yang ia pakai. “Kalau nggak Mamang pulang duluan aja. Biar aku naik motor.” Jelas Rai lagi kepada Danang.
“Ya udah, Den.” Dan Danang segera berlalu meninggalkan Rai lebih dulu.
Rai berkacak pinggang sambil menoleh kepada jam dinding yang bertengger di atas tempat tidurnya. Sudah hampir jam enam sore. Sebentar lagi hari sudah mulai gelap. Semburat warna jingga matahari tersapu oleh kabut asap yang menebal di langit Jakarta. Semakin hari, polusi udara semakin menjadi.
Rai sengaja mengulur waktu dengan bermain ponsel. Ia tidak ingin cepat-cepat sampai ke rumah ayahnya, tempat yang sebisa mungkin ia hindari. Namun ia juga tidak bisa menolak perintah untuk datang karna pasti ada suatu hal penting yang ingin di bicarakan ayahnya.
Pukul 7 malam, barulah Rai melajukan sepeda motornya menuju ke kediaman sang ayah. Sesampainya di sana, ia segera di sambut oleh Danang yang membukakan pintu gerbang untuknya.
“Bapak udah nunggu Aden dari tadi.” Bisik Danang hati-hati.
“Tadi ngerjain PR dulu, Mang.” Jelas Rai berbohong.
Rai segera masuk ke dalam rumah mewah itu. Rumah yang punya banyak kenangan buruk bagi Rai. Ia mengernyit saat tidak mendapati figura ibunya yang biasa menempel di dekat pintu masuk.
“Dimana foto mama, Mang?”
Danang tidak berani menjawab. Pria itu hanya berusaha menghindari tatapan Rai yang jelas sedang menuntut jawaban.
“Rai!!” Sebuah suara yang berasal dari ruang tamu membuat Rai tidak jadi melanjutkan pertanyaannya kepada Danang. Ia lantas melangkahkan kakinya menuju ke ruang tamu.
Tatapan Rai berubah saat melihat siapa yang sedang duduk di sofa ruang tamu. Di sana ada Fandi, ayahnya. Dan seorang wanita beserta anak kecil yang sedang terlelap di gendongannya.
Firasat Rai buruk mengenai situasi yang ada di hadapannya. Namun ia tetap berjalan dan mendudukkan diri di sofa di depan ayahnya.
“Udah makan?” Tanya Fandi.
Rai hanya mengangguk kecil saja.”Kenapa Papa suruh aku datang?”
“Duduk dululah sebentar, baru ngobrol.” Nampak sekali kalau Fandi sedang berusaha untuk mencairkan suasana. Ia bisa merasakan apa yang tersirat dari tatapan putranya itu.
“Aku gak punya waktu, Pa. Banyak PR yang belum selesai.” Lagi-lagi Rai beralasan.
Namun untuk beberapa saat, Fandi tidak juga mengatakan tujuannya memanggil Rai. Sementara Rai terus melirik kepada wanita di samping ayahnya. Wanita itu hanya terdiam dan tidak berani berkutik.
“Jadi Papa mau ngomong apa?” Rai sudah tidak sabar karna ayahnya malah diam saja.
“Ehm,,, jadi gini. Papa mau ngenalin, ini, istri papa. Sebenernya kami udah lama nikah siri.”
Rai terdiam. Seperti yang sudah ia duga. “Terus?” Tanggapannya sangat dingin.
“Kok tanggapanmu begitu?” Tanya Fandi yang merasa tersinggung dengan reaksi putranya.
“Jadi aku harus bilang apa? Nyelamatin pernikahan kalian? Aku harus kirim bunga atau apa?”
“Rai?” Fandi tidak menyangka kalau Rai sengaja menyulut pertengkaran, lagi.
“Kenapa harus bilang sekarang padahal Papa udah lama nikahnya? Seharusnya gak usah peduli buat ngasih tau aku sekarang. Gak ada gunanya. Aku gak peduli.”
“Rai!!” Kali ini Fandi sudah terpancing emosinya, ia bicara dengan nada tinggi.
“Kalau gak ada yang penting lagi, aku mau pulang.” Ujar Rai yang langsung berdiri begitu saja.
“Dimana sopan santunmu?! Dia istri papa. Seenggaknya hormati dia sebagai orang yang lebih tua dari kamu. Nurun siapa sih sifat brengsekmu itu?”
Kalimat itu mampu membuat langkah kaki Rai terhenti. Ia membalikkan badan dan menatap lurus kepada ayahnya.
“Kenapa Papa masih tanya? Aku ini peniru yang baik. Memangnya dari siapa aku belajar jadi orang brengsek? Apa Papa lupa pepatah, buah jatuh gak jauh dari pohonnya? Aku, jatuh tepat di bawah batang pohon itu.” Kali ini Rai berkata sambil membelalakkan matanya. Ia sungguh marah kepada ayahnya.
Entahlah, runyam sekali kehidupan yang ia rasakan. Tidak ada niat untuk bersikap baik kepada ayahnya. Luka di hatinya sangat sulit untuk di jabarkan. Bahkan dengan melihat wajah ayahnya saja sudah membuatnya muak dan marah.
“Rai!!! Kamu!!!” Fandi langsung merangsek mendekati Rai dan menampar pipi putranya itu.
Plak!!!
Rai tidak berkutik, bahkan kepalanya sama sekali tidak bergeser sedikitpun. Rasanya tetap sama. Bukan pipinya yang terasa sakit, tapi hatinya yang sedang tercabik-cabik.
Ia menatap datar ayahnya tanpa ekspresi. Sementara istri baru Fandi berusaha untuk menenangkan suaminya dan menarik lengan Fandi agar menjauh dari Rai.
“Sebenarnya kamu ini kenapa Rai?! Sebesar apa sih kesalahan papa sama kamu sampai kamu bersikap begini?”
“Bukannya Papa yang lebih tau? Papa kan orang dewasa. Papa selalu bilang kalau aku ini anak kecil yang gak seharusnya ikut campur urusan Papa. Papa juga menyuruhku diam saat mama dan kakak pergi dari rumah ini dan akhirnya mereka... Mereka...” Rai tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. Terlalu sakit.
“Sampai kapan kamu mau nyalahin papa atas kepergian mama dan kakakmu? Mamamu pergi atas kemauannya sendiri, jadi buat apa papa larang?”
“Alasan klasik. Cerita lama. Papa cuma gak mau nyalahin diri sendiri, papa pengen benar sendiri karna itu papa nyalahin pilihan mama. Memangnya karna siapa mama ambil keputusan itu?”
“Rai!! Cukup!!”
“Ya. Semoga pernikahan kalian bahagia.” Dengus Rai sambil berbalik dan pergi meninggalkan rumah itu.
Rai membawa semua rasa marah dan kecewanya dari rumah itu. Ia menyimpan rapi semua rasa sakit di dalam lubang yang menganga di hatinya. Kemudian menutupnya dengan prestasi dan senyum palsu. Untung wajah tampannya mendukung itu semua.
Rai melajukan sepeda motornya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Ia sengaja mencari jalanan sepi agar ia bisa melampiaskan semuanya lewat tarikan pedal gas. Dalam hati ia berharap untuk terjatuh, namun keseimbangannya terlalu sempurna untuk mendukung niatnya itu.
Rai melakukan hal itu sampai larut malam. Ia terus berkeliling tak tentu arah hingga ia merasa lelah sendiri. Ia merasa seperti sedang berada di dalam sebuah sirkuit yang tak berujung dan tak punya jalan untuk keluar. Tidak ada garis finish seberapa cepatpun ia melaju. Ia terperangkap dalam luka yang tak kasat mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Rita
sama2 sakit sm2 kecewa
2023-10-04
0
rintik
akankah takdir menyatukan Rai dan esta
2022-09-06
1
𝗺𝗮𝘂𝗹𝘆ᵈᵉʷⁱ
Rai punya luka mungkin korban broken home ya
2022-09-06
0