Semesta Rai
Hai semuanya...
Perkenalkan, aku PiEl. Ini adalah novel pertamaku. Mohon dukungan dan saran dari para pembaca sekalian, ya... Semoga kalian suka dengan alur ceritanya. Maaf kalau cerita ini seperti cerita pasaran. Kalau ada yang tidak berkenan silahkan sampaikan kritiknya dengan bahasa yang lugas, ya. Karna aku juga lagi belajar dan aku sangat membutuhkan bimbingan dari kalian semuanya.
Salam...
*****
SMA Negeri Lentera Bangsa, Jakarta.
Ding dung, ding dung, ding dung.
Suara bel istirahat berbunyi dan semua siswa segera beranjak dari tempat duduk mereka saat guru sudah pergi dari ruang kelas. Begitu juga dengan Esta, Desi, Tina, Arin, dan Tria. Lima gadis remaja itu segera menuju kekantin untuk membeli camilan. Hanya Esta yang tidak membeli apapun namun iatetap mengikuti teman-temannya ke kantin. Setelah itu mereka semua memilih duduk bersantai untuk menghabiskan sisa jam istirahat mereka di sebuah bangku yang menghadap ke lapangan Volly.
Di lapangan itu, nampak beberapa siswa laki-laki yang sedang bertanding ala-ala. Esta memilih untuk duduk di deretan bangku atas di belakang teman-temannya. Sementara teman-temannya sibuk berbisik sambil sesekali tertawa kecil.
Tidak di anggap, itu adalah makanan sehari-hari bagi seorang Semesta. Gadis bertubuh agak gempal itu bahkan tidak peduli selama ia tidak terlihat sendirian. Ia tidak keberatan jika di anggap tidak ada dan selalu di abaikan oleh teman-temannya. Ya, Esta tetap menganggap mereka adalah teman-temannya. Walaupun dengan kesadaran diri yang tinggi, ia sangat tau kalau hanya dirinyalah yang beranggapan seperti itu.
Semesta, dia hanyalah seorang gadis remaja biasa. Tidak punya prestasi apapun. Dengan tubuhnya yang sedikit gemuk itu dia bahkan tidak terlihat cantik, namun juga tidak jelek. Karet gelang merah selalu menjadi andalannya untuk mengikat rambutnya ke belakang agar terlihat sedikit lebihrapi, setidaknya itu menurutnya. Baju putih yang hampir berubah warna lengkap dengan rok yang bahkan benang jahitannya sudah banyak yang menyembul keluar, membuat ia terlihat sedikit kumuh.
Sebenarnya dia terlihat sangat berantakan dan seadanya. Namun Esta tidak peduli. Bukan dia tidak mau menjadi lebih baik, namun keadaannya tidak pernah bisa berubah lebih baik sejak dulu. Kalau saja ada kasta, sepertinya takdir memang sengaja menempatkannya di bagian paling bawah. Ia berada di antara gerombolan orang-orang buangan.
Tapi walaupun begitu, Esta tetap bersikap baik. Ia tidak pernah mengeluh pada sang pemberi hidup walaupun ia jarang beribadah sekalipun.Gadis itu selalu taat dengan semua peraturan yang ada di bumi. Ia bahkan tidak pernah menerobos lampu APILL saat menyeberang jalan. Ia tidak pernah bolos sekolah kalau hanya terserang demam ringan saja.
Tapi itu semua hanya yang nampak dari luarnya saja. Di dalam, Esta memang sudah mati perasaannya. Hidupnya sama sekali tidak mudah. Ia berada di lingkungan yang menganggapnya sampah. Ditambah ia di besarkan oleh paman dan istrinya yang setiap hari selalu bertengkar namun anehnya, mereka tidak pernah berpisah.
Bekas luka? Itu sudah menjadi tato kebanggaan di punggung dan lengannya. Ia selalu menganggap luka-luka itu adalah sebuah luka kehormatan yang memang harus ia miliki. Setidaknya dengan cara diam seperti itulah, ia berterimakasih kepada paman dan bibinya karna sudah bersedia memberinya makan,tempat tinggal yang layak, serta sudah bersedia menyekolahkannya.
Kadar kecerdasannya yang pas-pasan, membuat Esta selalu nangkring di peringkat yang hampir akhir di kelasnya. Ya, setidaknya ia tidak di peringkat paling akhir. Masih ada dua orang temannya yang lebih bodoh dari dirinya. Itu sedikit membuatnya lega.
Tidak seperti pria tampan yang sedang bermain volly di depan sana, yang selalu menjadi peringkat teratas dalam hal nilai dan pertemanan,yang siapapun bisa melihat kalau pria itu pastilah mempunyai kehidupan yang sempurna. Itu bisa di lihat dari teman-temannya yang seperti punya kehidupan yang sama. Sama-sama tampan, dan sama-sama terlihat kaya. Pakaian yang di kenakan oleh mereka seperti bersinar. Bahkan wajah mereka memperlihatkan semuaitu.
“Uuuuuhhh... Keren. Prok,, prok,, prok..”
Teman-teman Esta nampak antusias saat melihat pria tampan itu melakukan smash dan menempatkan timnya menuju kemenangan.
“Pokoknya Rai itu gebetanku, ya. Gak ada yang boleh ngerebut dia, titik.” Desis Tina yang langsung mendapatkan senggolan di lengannya dari teman-temannya.
“Kamu itu cuma nge-crush aja bertahun-tahun. Tembak dong.” Goda Tria.
“Gila, ya nggak mungkin lah aku yang nembak duluan. Aku tetap akan mempertahankan harga diriku sebagai cewek.” Bela Tina.
“Jaman sekarang gak ada itu yang namanya hilang harga diri perkara nembak cowok duluan. Hajar terus mumpung kesempatan masih di depan mata.” Timpal Desi lagi.
Esta hanya mendengarkan mereka saja. Sesekali tatapan matanya melirik ke arah camilan yang sedang mereka makan. Ia menginginkan camilan itu.
“Banyak sainganmu, Tina.” Lanjut Tria.
“Kan? Gak heran sih, secara dia seganteng itu. Didukung ama otak yang cerdas plus anak kolongmerat.”
“Konglomerat, kali.” Protes Desi.
“Ya, pokoknya itulah.”
Esta sama sekali tidak berniat untuk ikut mengobrol. Ia hanya memperhatikan saja objek pembicaraan teman-temannya itu sambil sesekali menuliskan sesuatu di buku binder yang selalu ia bawa.
Karna terik matahari semakin panas, teman-teman Esta memilih untuk menyingkir dan mencari tempat berteduh agar bisa lebih fokus menatap pria idaman mereka. Dan lagi, mereka melupakan Esta.
Gadis itu sedang sibuk dengan bindernya sampai-sampai tidak menyadari kalau ia tinggal seorang diri di sana.
Buk!...
Tiba-tiba sebuah bola melayang dan terpantul tapat di samping kakinya, bola itu mengenai bindernya dan membuat binder itu terjatuh sebelum tersangkut kursi yang ada di depannya. Kejadian itu membuat Esta tersadar dan melihat ke sekeliling dengan bingung.
Esta segera memungut bindernya yang jatuh. Ia mencari penanya namun sudah menghilang entah kemana.
Salah satu pria idola sekolah itu langsung berlari mendekati bangku tempat Esta berada. Pria itu hanya menatap tanpa mengucap sepatah katapun. Ia hanya melihat Esta yang sedang sibuk mencari sesuatu di sekitarnya.
“Woi! Es teh! Lemparin bola itu ke sini!” Pekik pria lainnya yang masih berada di tengah lapangan.
Mendengar nama besarnya di sebut, Esta langsung menegakkan badannya dan melihat ke arah lapangan. Sekilas, pandangannya bertemu dengan pemilik mata indah yang di kagumi oleh banyak teman-teman se kelasnya itu.
Tanpa bicara, Rai hanya mengulurkan tangannya saja untuk meminta Esta mengembalikan bola padanya. Untung Esta segera mengerti dan langsung mengambil bola itu dan melemparkannya kembali kepada Rai.
Tidak ada ucapan terimakasih yang perlu di dengar oleh Esta. Mungkin penampilannya itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia hanyalah orang yang sudah seharusnya di abaikan. Apalagi tindakannya itu hanyalah sebuah sikap sepele dan tidak butuh pengakuan. Sebuah ucapan terimakasih hanyalah seperti kata mantra ajaib bagi Esta. Ia bahkan sudah tidak mengingat kapan dan siapa yang terakhir kali mengucapkan terimakasih selain para pelanggan yang ia layani di warung pecel lele milik Pakde Karya.
Tapi itu tidak masalah. Itu bukanlah hal besar baginya. Ia tidak butuh ucapan terimakasih apalagi dari pria poluler di sekolah karna memang ia tidak melakukan hal hebat. Hanya sebatas mengembalikan bola kepada pemainnya saja. Jadi apa yang bisa di harapkan?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments
Kusii Yaati
duh kenapa pemeran wanitanya memperihatinkan sih Thor udah gemuk, wajah pas2 San, lusuh, dekil,otak pas2 San, miskin pula.... lengkap sudah deritanya.setidaknya walau miskin kasihlah wajah yang cantik dan smart 😩
2024-11-04
0
Dwi ratna
aq bru mampir ka,dr novel prima ke zinia mlh bru k pendahulu nya
2023-05-10
0
Zieya🖤
Akhirnya aku melayang kemari.....
2023-05-07
0