''Pak, ucapan Bapak waktu itu masih berlaku 'kan? belum kadaluwarsa.''
Pagi harinya, Renita berniat memberitahukan keadaannya saat ini.
''Yang mana?" Armand mendongak sebentar kemudian melanjutkan lagi pekerjaannya.
''Bapak tinggal jawab iya apa tidak, gitu. Saya mau ngomong sesuatu, Pak. Demi masa depan saya..'' Melihat Armand sangat sibuk dan begitu fokus pada layar lipat di hadapan nya. Renita menjadi ragu untuk mengatakannya.
''Ya sudah tinggal ngomong, Renita. Tidak usah berbelit-belit..''
''Saya...''
'' ARMAND! KETERLALUAN KAMU, AR. BIKIN MAMA SAMA PAPA MALU..''
Amalia masuk dengan kemarahan yang meledak-ledak. Membawa serta Monita yang terlihat sedih dengan air mata buatannya.
Renita memegang dadanya sendiri karena terkejut. Dia melirik Monita dengan tatapan tak suka.
''Ada apa, Ma? Ini kantor bukan hutan, kenapa mama teriak-teriak?'' Armand menghela nafas frustasi. Pekerjaan sedang banyak-banyaknya, mendadak mamanya datang marah-marah, membuat kepalanya berdenyut seketika.
''KAMU BUAT PAPA SAMA MALU! MAMA SEDANG BERUSAHA MENURUTI PERMINTAANMU UNTUK MENJAUHKAN MONITA DARI KAMU. TAPI KAMU MALAH BERULAH..''
Amalia berkata dengan berapi-api, nafasnya naik turun karena emosinya.
''Tenang, Nyonya tenang. Bicarakan dengan baik-baik, nanti darting nyonya.'' Renita dengan sigap menenangkan ibu dari bosnya.
''ANAK INI TIDAK BISA DI AJAK BICARA BAIK-BAIK.. KESALAHAN MU FATAL, ARMAND.. KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB..''
Armand menatap tajam ke arah Monita yang masih mempertahankan aktingnya.
''Apa salahku, Ma?''
Armand masih belum mengerti apa yang terjadi. Kemana arah pembicaraan mamanya?
Apa yang harus dia pertanggung jawabkan?
Berjuta pertanyaan berkelabat dalam benaknya.
''Oh, kamu mau pura-pura lupa sama kesalahanmu sendiri, Armand? MONITA HAMIL! DIA HAMIL ANAK KAMU.'' Suara Amalia begitu lantang, mungkin akan terdengar sampai keluar ruangan.
''APA!''
Bukan Armand yang menjawab, melainkan Renita. Dia menutup mulutnya tak percaya.
Sedangkan Armand hanya bersedekap dada, terlihat santai. Bahkan, terkesan tak peduli. Membuat Renita tak habis pikir, bagaimana mungkin bosnya bisa sesantai itu?
Apa reaksi Armand juga sama, jika dia memberitahu keadaan yang sebenarnya?
''Melihat dari sikapmu yang sesantai ini. Mama semakin yakin, kalau anak yang di kandung Monita benar darah dagingmu, Armand,'' sinis wanita paruh baya itu.
''Apa mama punya bukti?'' tanya Armand dengan tampang datarnya.
Amalia melemparkan amplop coklat ke hadapan putranya. Armand segera membuka benda itu. Seketika, senyum miring tercetak di bibir nya. Berbeda dengan Renita yang mengartikan senyum itu sebagai senyum yang lain.
Tangan wanita itu, meremas kuat kertas yang sedari tadi di pegang nya. Kala netranya melihat dengan jelas isi amplop itu.
Foto-foto dengan pose tak senonoh. Armand yang bertelanjan* dada tengah memeluk Monita yang juga terlihat tak memakai apapun. Bukan hanya satu tapi ada beberapa lembar foto dengan pose yang berbeda, dengan keadaan tubuh yang sama.
Armand membeberkan semuanya di atas meja seolah memamerkannya.
''Apa hanya ini?'' tantang Armand.
''Itu lebih dari cukup, Armand! Kalau aku memang mengandung anakmu..'' Monita berlagak seolah dia yang tertindas.
Renita melirik sinis wanita ini. 'Cih, drama banget, sih.'
''Bagaimana, jika itu bukan darah dagingku? Bagaimana jika itu milik pria lain?''
Monita gelagapan sendiri, Apakah Armand sudah mengetahui rencananya?
''Apa maksudmu, Armand? Aku tidak serendah itu!'' sangkal Monita
''Bagaimana, jika memang itu benar?'' tanya Armand balik
''Cukup, Armand! Mama tidak pernah mengajarkanmu menjadi lelaki bejat. Kamu harus tanggung jawab!'' sarkas Amalia.
Monita tersenyum penuh kemenangan, ketika mendapat pembelaan dari Amalia. Dia sangat yakin, jika rencananya akan berhasil.
''Kenapa mama bisa seyakin itu?'' tanya Armand.
'Karna mama juga punya videonya.''
Amalia menyerahkan handphone kepada putranya. Dan Armand memutar itu di hadapan semua orang yang ada di hadapannya.
Lagi-lagi, Renita menutup mulutnya tak percaya. Ketikabmelihat Armand mengungkung Monita di atas meja kerjanya.
''Apa maksud anda menunjukkan ini pada saya?'' tanya Renita dengan penuh kegeraman.
''Tidak ada, hanya ingin menunjukkan video murahan ini saja.'' Armand menjawab dengan santainya seolah tanpa beban
Renita semakin geram di buatnya.
'Dasar laki-laki brengsek.. Fix, Mulai saat ini, kau musuhku Boss!" makinya dalam hati.
Renita langsung pergi meninggalkan ruangan itu. Diurungkan niatnya untuk memberi tahu bosnya mengenai kehamilannya.
'Paling juga reaksinya sama. Berlagak tidak tahu apa-apa, lempar batu sembunyi tangan.. mana ada maling ngaku?'
Rasanya muak berada di ruangan penuh drama itu
'Pokoknya mama gak mau tahu. Secepatnya kau harus menikahi Monita, sebelum perutnya semakin besar..'
Hanya itu yang masih bisa dia dengar sebelum menutup pintu.
Renita menyandarkan tubuhnya di sofa yang ada ruangannya, air matanya mengalir begitu saja. Sesegukan sembari memegang perut ratanya.
Memikirkan, bagaimana nasibnya kelak? Hamil tanpa ada suami. Dia tidak siap, jika harus menghadapi cemoohan masyarakat.
'Apa aku harus menggugurkan janin ini?'
'Mungkinkah itu jalan terbaiknya?'
'' Ren, loe nggak apa-apa?'' Reva nyelonong masuk begitu saja.
''Kok, loe disini?'' Reni segera menghapus airmatanya.
''Tadi sebenarnya, gue mau ngasih laporan ke pak Armand. Pas mau masuk udah di serobot nyonya sama cewe yang dia bawa. Ya, gue urung lah,'' jelasnya.
''Terus, ngapain masih disini? Gak balik ke tempat loe.'' pembawaan Renita yang sedang badmood. Di tambah hormon kehamilannya membuat kejudesannya kambuh.
''Pak danu lagi PMS, gue dilarang balik sebelum mendapat acc si bos..''
Entah, kenapa? kertas lecek yang berada di meja sofa itu, begitu menarik perhatian nya. Tanpa basa-basi, dia langsung mengambil dan membacanya.
'' Ren, loe....'' Reva tak dapat melanjutkan ucapannya.
''Iya, gue hamil,'' lirih Renita.
''Terus-terus cewek tadi juga?'' tunjuk Reva ke arah belakangnya. Pasalnya, Reva juga mendengar pertengkaran itu.
Renita mengedikkan bahunya saja.
''Loe gak bilang sama si bos? Minta pertanggung jawaban, gitu,'' tanya Reva dengan hati-hati
''Buat apa? Palingan juga reaksinya sama,'' jawab Renita dengan nada rendahnya.
Wanita itu terlihat sangat frustasi dengan masalah yang menimpanya kali ini.
''Gak bisa di biarin ini! Kalau loe gak mau, biar gue aja yang bilang. Enak aja, mau enaknya doang. Laki-laki macam itu musti di beri pelajaran, Ren.'' Reva tampak berapi-api. Dia ikut geram sendiri melihatnya, ''Mumpung disini ada emaknya juga..''
Renita langsung berdiri dan menghalangi langkah Reva. ''Sudah gak usah.. Gue gak mau memperkeruh suasana..''
''Gak bisa gitu dong, Ren! Gimana nasib loe sama anak loe, Nanti?'' Mata Reva sudah memerah karena emosi.
''Gue mau gugurin dia,''' lirih Renita.
Reva terkesiap mendengarnya, ''Loe jangan gila, Ren! Daripada loe gugurin, mending loe menjauh, loe resign dari sini,'' saran Reva.
''Gue gak bisa, Reva. Adek gue baru masuk kuliah lagi butuh duit banyak. Ibu gue harus bayar utang-utangnya, bapak gue gagal panen. Kebutuhan di kampung banyak..'' Renita menangkup wajahnya dengan kedua tangannya.
''Kalau gue resign, siapa yang bakal nanggung itu semua? Belum lagi, setelah keluar dari sini gue bisa langsung dapet kerjaan. Gue pusing, Va.''
Reva memandang iba. Dia langsung menghambur memeluk sahabatnya.
''Cuma cara ini, yang menurut gue terbaik..'' Renita menumpahkan semua kegundahannya di bahu sang sahabat.
''Tapi, Ren. Selain dosa itu juga resikonya besar, nyawa, Ren, nyawa,'' Reva mengguncang keras bahu sahabatnya agar otaknya normal kembali.
''Gue sudah yakin! Loe mau 'kan? Nemenin gue ke tempat itu. Gue mohon, Va,'' pintanya dengan wajah memelas.
Reva terlihat gusar. Dia ingin membantu tapi dia sendiri juga anak rantau, kebutuhan nya juga banyak..
''Gue gak janji..''
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments