Sudah dua minggu semenjak gempa berkala tersebut melanda Kerajaan Kastala. Bencana tersebut menyebabkan berbagai dampak buruk bagi istana dan rumah – rumah di pemukiman. Banyak tempat tinggal rusak. Tidak sedikit pula korban jiwa berjatuhan.
Alhasil, banyak warga berunjuk rasa kepada para pegawai istana dan meminta dukungan dan tambahan biaya atas penderitaan yang mereka alami akibat bencana ini.
Ratusan warga pemukiman berbondong – bondong ingin memasuki istana Kerajaan sambil berseru dan merutuk.
“Turunkan Raja!”
“Raja Endan tidak tahu diri!”
“Tidak ada aksi!”
“Kami kelaparan!”
“Hentikan gempa ini!”
“Berikan makanan!”
Para penghuni pemukiman merangsek masuk ke dalam gerbang istana. Namun, para Prajurit Resmi dikerahkan untuk mencegah mereka dan juga sejumlah Penyihir. Para Penyihir hanya diizinkan untuk melakukan serangan – serangan skala kecil agar warga tidak terluka.
“Kami ingin bertemu langsung dengan Raja Endan!” seruan itu dilontarkan berulang kali oleh para warga sambil merusak pagar betis yang sudah dipasang oleh para pegawai kerajaan.
Beberapa Prajurit kewalahan disebabkan banyaknya warga yang ingin memaksakan diri untuk masuk ke istana. Beberapa dari mereka juga harus bertindak tegas kepada warga yang berani melukai Prajurit.
Ros, Frigg, dan Heil, tiga orang warga berprotes, berhasil menyusup ke istana. Mereka bertiga berlari di menelusuri koridor.
“Raja Endan bodoh!” Ros merutuk sambil berlari dengan kedua kawannya. “Apa yang ia lakukan sampai – sampai keluarga kami jadi taruhannya?”
“Mungkin saja dia tidur seharian sehingga tidak sempat memperhatikan warga,” kata Heil yang berlari sambil mengacak - acak rambutnya karena tembakan pasir yang dilakukan oleh seorang Penyihir.
“Aku tidak tahu,” ujar Frigg sambil memainkan pedangnya. “Kita harus sampai kepada Raja Endan untuk menuntutnya secara langsung. Jika tidak, dia akan merasakan pedang tajam yang baru saja kucuri ini.”
Ketika mereka hampir sampai di ruang akhir koridor ke ruang utama, seorang Penyihir Wanita dan seorang Prajurit menghadang mereka.
Penyihir itu mengenakan jubah putih, sedangkan Sang Prajurit menggunakan tombak dan zirah merah khas Kastala.
“Rakyat bisa tidak boleh masuk tanpa izin resmi!” Prajurit itu memperingatkan.
“Kami ingin bicara langsung dengan Raja!” Ros membalas seruan itu dengan lantang.
“Baiklah, sampaikan kepada kami, kami berdua adalah petinggi.” ujar Penyihir itu. “Namaku Rena, petinggi Bagian Sihir dan Klerik.” Rena menunjuk Sang Prajurit. “Ini rekanku, Rowan, Bagian Pertahanan.”
Heil berseru, “Kami tidak perduli dengan siapa kalian!”
“Kalian sudah dengar, kan?” kata Frigg dengan nada mengejek. “Kami ingin bertemu langsung dengan Raja.”
“Kalian tidak punya hak untuk berbicara langsung dengan Raja!” Rowan berseru dengan suara menggelegar. “Kalian bisa langsung keluar atau kami akan mencelakakan kalian.”
“Raja Endan Bodoh!” rutuk Frigg sambil menyapukan pedangnya seolah mengancam. “Apakah dia tidak tahu bahwa kami merasakan kesengsaraan karena dia tidak lekas bertindak? Kalau tidak, aku akan—”
“Tidak boleh ada seorangpun yang boleh menghina Raja!” seru Rowan sambil mengangkat tombaknya. “Berani – beraninya kalian!”
Sang Prajurit langsung berlari untuk menghujamkan tombaknya ke arah Frigg. Warga sipil itu bersiap dengan pedangnya. Namun, ia tampak linglung karena tidak pernah bermain pedang sebelumnya. Raut mukanya pucat.
Sebuah dinding air menjulang tinggi deras di antara Rowan dan Frigg, sehingga tombak Prajurit itu menembus dinding air tersebut.
Frigg, Ros, dan Heil terhempas jatuh ke belakang, lalu berusaha berdiri sambil tertatih. Wajah mereka ketakutan.
Pegangan tombak Rowan masih tetap kokoh dan tidak terpengaruh oleh dinding air itu. Rowan menoleh ke arah Rena yang sedang mengangkat tangan kanannya kedepan. Cahaya biru berpendar di telapak tangan Penyihir itu.
Setelah mencegah serangan Rowan, Rena meredupkan cahaya di telapak tangannya. Dinding air deras itu segera sirna. “Sesuai dengan titah Raja, kita tidak boleh menyakiti rakyat biasa.”
Rowan menghela nafas dalam – dalam sambil menarik tombaknya. “Ini sangat konyol!”
Ross, Heil, dan Frigg mundur teratur ke belakang sambil ketakutan. Keberanian mereka bertiga menyusut.
“Baiklah!” ujar Rowan sembari menengadahkan tangannya. “Setidaknya, kembalikan pedang itu!”
Karena melihat sihir air Rena yang telah lenyap, Frigg mencoba mengumpulkan keberaniannya. Ia berdiri dan melemparkan pedang yang dipegangnya ke arah Rowan dan tergeletak begitu saja. “Ini pedang bodohmu!”
Rowan kembali naik pitam dan menggeram. Renata menatap ketiga warga itu dengan kesal sambil menggerakkan tangannya.
Perlahan, sebuah pusaran air muncul dan mengalir deras mengelilingi Frigg, Heil, dan Ross. Mereka bertiga mundur berdekatan dengan satu sama lain dengan ketakutan untuk menghindar supaya tidak terkena. Lalu, lingkaran air itu meninggi dan membentuk kubah yang menutupi mereka bertiga. Walaupun bagian dalam aliran air di kubah itu masih berudara, namun mereka bertiga terjebak di sana.
“Seharusnya kau mengembalikannya dengan baik,” kata Rena dengan tenang, “bukan melemparkannya begitu saja.”
Rowan mengambil pedang itu dan memasukkannya ke sarung pedangnya. Kemarahannya mereda. Ia merasa puas dengan apa yang rekannya lakukan kepada mereka bertiga.
“Apakah barisan yang diutus untuk yang mencegah mereka belum cukup untuk menghadang mereka?” Prajurit itu berjalan menghampiri Rena yang masih melakukan sihir.
“Sudah aku umumkan bahwa gempa terjadi secara periodik. Selama dua kali sehari,” Rena menjelaskan, “Raja Endan sebelumnya menugaskanku untuk mengadakan rapat tertutup dengan para Penyihir Istana lainnya. Kejadian gempa periodik itu adalah salah satu maklumat yang kami simpulkan. Perihal ini juga sudah kusampaikan kepada Istandi.”
“Terlepas dari itu, banyak Prajurit yang sudah susah payah membantu dilukai oleh warga.” Rowan mendengus. “Hah! Kekacauan warga ini sangat tidak masuk akal!”
“Memang sangat disayangkan.“ Rena menghadap ke bawah dengan rasa kecewa. “Kukira keputusan Raja Endan sudah cukup baik. Pemantauan perkembangan adalah cara yang tepat walaupun desakan warga seperti ini memang tidak disangka – sangka.”
“Biarpun begitu,” ujar Rowan, “aku percaya penuh dengan segala keputusan Raja Endan.”
Rena mengangguk. “Aku juga sejalan denganmu, Rowan.”
Tiba – tiba, seorang Petugas Istana datang menghampiri Rowan dan Rena. Sepuluh orang Prajurit juga mengikutinya dari belakang.
“Apakah kalian tidak apa – apa?” tanya Petugas itu kepada Rowan.
Rowan berdehem sambil menunjuk pada kubah pusaran air. “Kau bisa lihat sendiri, Istandi!”
“Unjuk rasa di luar istana sudah berakhir,” Istandi terheran. “Apa yang terjadi?”
Rowan dan Rena memberitahukan tentang apa yang terjadi baru saja pada Istandi.
“Itu benar,” kata Rowan. “Laporkan pada bahwa ada tiga orang penyusup yang ingin menentang Raja.”
“Apa mereka memang ingin menentang Raja?” Istandi meragukan rekannya.
“Mereka hanya ingin aspirasi mereka di dengar,” kata Rena, “tetapi mereka melampaui batas.”
Sesaat kemudian, Penyihir itu meredupkan cahaya sihir di tangannya. Kubah air yang mengelilingi Frigg dan lainnya segera sirna. Rowan menyuruh Prajurit bawaan Istandi untuk menggiring ketiga warga sipil tersebut keluar istana.
“Aku tahu bahwa kita juga perlu melihat bencana ini dari sudut pandang warga,” Rowan memandangi Frigg dan kedua temannya yang sedang dituntun keluar. “Sebagai Petinggi Bagian Kemasyarakatan, itu selalu kau junjung tinggi, bukankah begitu?”
Istandi mengangguk. “Itu benar.”
Rowan membalikkan tombaknya. “Namun, para warga yang berdemonstrasi hanya ingin memperburuk kondisi kerajaan dengan pengabaian mereka, padahal kita sebagai pihak istana juga tidak ingin dengan sengaja mencelakakan mereka.”
Istandi memasukkan tangannya ke saku celana. “Kurasa memang Raja Endan sudah menilai dan membutuhkan waktu untuk membuat keputusan, Tuan Rowan,” ujarnya. “Jika ia langsung memutuskan untuk membangun kembali bangunan – bangunan yang rusak, hal itu akan jadi sia –sia.”
“Ada banyak hal yang tidak terduga dan tidak bisa ditebak,” Rena mengusap rambutnya. “Istandi, sebaiknya kau ceritakan kepada Raja Endan tentang apa yang terjadi barusan.”
Istandi menggaruk kepala. “Dimana Raja Endan sekarang?”
“Aku bertemu Raja Endan tadi pagi,” Rowan mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Beliau bilang bahwa beliau ada di teras lantai atas.”
Istandi mengangguk. “Baiklah! aku akan segera melapor.” Ia langsung berjalan cepat meninggalkan Rowan dan Rena.
-
Raja Endan berdiri di teras lantai lima istana sambil memandangi keadaan pemukiman dan memilin janggutnya. Ia sedang tenggelam dalam lamunan tentang kejadian janggal yang terjadi di Kastala.
Pandangan Sang Raja memindai rumah – rumah yang tampak rusak dan tidak tertata, bahkan dari ketinggian. Ia sudah mengetahui bahwa warga sudah berunjuk rasa mengenai keputusannya untuk melihat keadaan. Sebagai bentuk perhatiannya kepada warga, ia sudah memberi titah kepada para bawahannya untuk memantau masyarakat, terutama warga pemukiman di sekitar istana.
Beberapa saat kemudian, Istandi menghampiri Sang Raja dan melapor. “Selamat siang, Baginda.”
“Silahkan, Istandi!”
“Baginda…” Istandi memulai. “Menurut laporan dari para Petugas Kemasyarakatan Istana, gempa ini sudah banyak menimbulkan korban dan tidak sedikit pula warga yang kesulitan karena tidak bisa menjalankan kegiatan mereka dengan tenang.”
“Rena sudah mengumumkan pada bencana ketiga bahwa gempa ini terjadi secara berkala,” kata Endan. “Selama dua hari, bukankah begitu?”
“Benar, Baginda,” Istandi melanjutkan. “Seperti yang sudah diketahui, gempa memang terjadi dua hari sekali. Namun, Petinggi Rena juga tidak bisa memastikan waktu terjadinya gempa. Bisa siang, bisa malam, atau pun pagi. Beberapa warga juga membelot sehingga menimbulkan korban jiwa ketika gempa terjadi.”
“Bagaimana kabar tempat – tempat pengungsian?”
“Tentang tempat pengungsian…” Istandi terlihat ragu. “Banyak warga yang tidak patuh aturan karena mereka tidak nyaman di situs – situs tersebut. Beberapa dari mereka berkata bahwa mereka tidak nyaman jika harus memenuhi satu ruangan yang dipenuhi warga yang diungsikan. Apalagi, setelah mereka tahu bahwa gempa terjadi setiap dua hari sekali, mereka mencari celah untuk melanggar aturan. Alasannya adalah bahwa mereka tidak suka bepergian kesana – kemari ke tempat pengungsian.
“Beberapa rumah mereka ada yang tidak roboh karena bencana ini, sehingga mereka lebih percaya diri untuk tinggal di rumah mereka sendiri daripada tinggal di situs – situs pengungsian di mana mereka akan merasa tidak nyaman. Selain itu, mereka juga enggan meninggalkan rumah mereka karena, seperti yang sudah saya sampaikan, tempat – tempat pengungsian yang kami buat juga jauh dari tempat kerja mereka.”
“Apakah mereka masih tidak mengerti bahwa seluruh kegiatan seharusnya diliburkan?”
“Pengumuman resmi tentang kebijakan itu sudah tersampaikan. Tuan Rowan juga sudah memberi perintah untuk menutup paksa segala jenis aktivitas kerja.
“Namun, beberapa oknum warga masih mengadakan kegiatan untuk memperlancar bisnis mereka. beberapa pegawai kantoran pun masih bekerja dengan iming – iming pemasukan tinggi karena mereka tidak betah dengan hanya menerima bahan makanan pokok dari istana dan tinggal di pengungsian.”
“Begitu, ya?” Endan menghela cemas. “Mengapa mereka tidak menghargai hidup mereka sendiri?”
“Baginda…” Istandi mengangguk seolah merasakan apa yang dipikirkan Endan. “Apa yang harus kita lakukan?”
Endan terdiam sejenak sambil kembali memandangi pemukiman sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan Istandi. Permasalahan ini cukup pelik. Bencana seperti ini belum pernah terjadi di Kastala. Apalagi, tidak semua warga mau mengikuti aturan yang telah diterapkan.
Istandi melihat Raja Endan termangu. Mungkin ini saatnya ia menyampaikan tentang apa yang baru saja terjadi. Sang Petinggi menambahkan, “Ada lagi, Baginda…”
“Ya?”
“Baru saja, ada tiga orang warga yang sangat ingin menemui anda, sampai – sampai mereka menyusup ke bagian dalam istana,” ujar Istandi. Kemudian, ia memelankan suaranya, “namun sudah dibereskan oleh Petinggi Rowan dan Rena.”
“Sudah kuduga,” kata Endan. “Mereka akan melakukan itu. Masalah ini tidaklah pelik. Namun aku sendiri juga masih belum bisa meraba – raba tentang kejadian ganjil ini.”
Setelah menenangkan diri, akhirnya Endan berujar, “Istandi, aku ingin mengetahui lebih tentang ini. Kita akan mengadakan rapat tertutup satu jam lagi. Panggil Hikin Sang Pixi! suruh dia untuk mengajak seluruh anggota Tujuh Petinggi, kau termasuk. Aku akan mengajak Ratu Sofia dalam rapat ini.”
“Baiklah, Baginda.” Istandi mengangguk. Kemudian, ia segera pamit dan pergi meninggalkan Sang Raja untuk memanggil Hikin.
Endan memandang pemukiman warga ke sekian kalinya. Ia berharap agar setelah ia mengetahui seluruh maklumat dan mengadakan diskusi dengan para petinggi istana tentang permasalahan ini, ia bisa langsung bertindak.
Sang Raja langsung berbalik untuk memanggil Ratu Sofia dan bersiap untuk mengadakan rapat tertutup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments