Zenitha Merlina Revandra
"Putraku adalah segalanya bagiku. Ia adalah permata paling langka yang pernah ada di dunia ini. Tak satu pun permata yang bisa menandingi kilau kehadirannya. Dan jika pun ada, mungkin itu hanya ada dalam mimpi, bukan dalam kenyataan."
"Tak ada kisah yang benar-benar berakhir bahagia. Dunia hanya memilih untuk menampilkan bagian-bagian yang manis, menyembunyikan episode yang menyakitkan, menyedihkan, dan penuh kekecewaan. Aku tegaskan sekali lagi... yang disebut happy ending hanyalah ilusi yang dijual oleh dongeng."
*****
Keesokan harinya...
Ruang Rawat
Hentakan langkah kaki seseorang terdengar menggema, cukup nyaring untuk mengusik pendengaran seorang anak laki-laki yang tengah berbaring dengan mata tertutup. Perlahan, ia membuka kelopak matanya. Namun, pandangannya masih kabur, sementara cahaya lampu yang terang menyilaukan langsung menyorot ke arah wajahnya. Kilau yang menyakitkan itu memaksanya kembali memejamkan mata dengan cepat.
Beberapa menit kemudian, ia kembali mencoba membuka matanya secara perlahan. Kali ini, ia membiarkan kedua matanya terbuka sepenuhnya, meskipun masih terasa berat. Ketika penglihatannya mulai menyesuaikan, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati setiap benda yang berada di dekatnya, mencoba memahami di mana ia berada dan apa yang tengah terjadi.
Ruang itu tampak tenang, meskipun dipenuhi nuansa dingin dan sunyi. Dindingnya berwarna putih pucat, nyaris tanpa hiasan, hanya dihiasi dengan jam dinding dan papan informasi medis. Aroma khas antiseptik begitu menyengat, menguar dari tiap sudut ruangan. Sebuah mesin pemantau detak jantung berdiri di samping tempat tidurnya, mengeluarkan suara bip halus yang stabil. Di sisi lain, selang infus tergantung rapi pada tiang logam, mengalirkan cairan bening ke dalam tubuhnya melalui pergelangan tangan. Tirai putih menggantung longgar di sisi tempat tidur, memberikan sedikit privasi dalam ruangan yang tampaknya dibagi bersama pasien lain.
Udara terasa sejuk, dipengaruhi oleh hembusan pendingin ruangan yang terus menyala. Lampu-lampu di langit-langit menyinari ruangan dengan cahaya putih yang menusuk, memberikan kesan bersih sekaligus asing. Tak ada suara lain selain detak jam dan desis lembut dari alat-alat medis.
"Dimana ini...?" tanya anak laki-laki tersebut dengan nada serak meneliti sekitarnya.
"Akhirnya kau sudah sadar, bagaimana perasaan mu nak? Apa kau merasa sakit di bagian perutmu atau kepalamu. Katakan padaku agar aku bisa membantumu." celetuk wanita tersebut dengan tersenyum manis, sambil menatap wajah anak laki-laki dengan dalam.
"Kau yang menolongku?" tanya anak laki-laki itu lirih, untungnya masih bisa di dengar oleh wanita tersebut.
"Benar, aku yang membawamu kemari dan mengobati lukamu. Bagiamana perasaanmu sekarang... katakanlah, aku benar-benar ingin memastikan bahwa kau tidak merasakan sakit lagi."
"Terasa sedikit sakit, namun ini tidak sebanding dengan sebelumnya. Jadi, aku baik-baik saja... terimakasih."
"Sama-sama, hmmm... bisakah kau mengatakan padaku siapa namamu? Agar kedepannya aku bisa memanggilmu dengan lebih akrab menggunakan namamu."
"Nama? Aku tidak mempunyai nama," jawabnya sambil menggeleng pelan. "Siapa namamu?" tanyanya balik.
"Namaku Zenitha Merlina Revandra, panggil saja aku Nitha." balas Zenitha.
"Bunda..."
"Ya?" Zenitha terdiam sesaat saat mendengar panggilan Bunda dari anak kecil itu, tapi dengan cepat ia tersenyum manis.
"Terimakasih, Bunda. Bisakah Bunda memberikan ku sebuah nama...?" pintanya dengan tersenyum lirih.
"Mengapa kau memanggilku Bunda?"
"Apa itu tidak boleh?"
"Kau ingin menjadi anak ku?"
"Jika diizinkan, bila tidak... tidak masalah, tapi tolong kembalikan aku ketempat dimana kau menemukanku. Hanya tempat itu yang aku tahu..." tutur anak itu dengan jujur berkata bahwa tempatnya terluka adalah tempat yang biasa ia tinggali.
Mendengar perkataan anak laki-laki tersebut Zenitha terdiam dan tak membalas kembali ucapan anak kecil yang ditolongnya itu, namun sedetik kemudian iapun tersadar kembali dari lamunannya.
"Ersya," ujarnya lembut. "Ersya Melviano Ravindra, itu namamu..." Zenitha tak tahu apakah nama yang mendadak terlintas dibenak nya akan disukai atau tidak oleh anak kecil itu, namun ia berharap bahwa anak itu akan menyukainya.
"Itu... untukku?"
"Benar... apa kau menyukainya?"
"Aku suka! Terimakasih..." Ersya merasa terharu, matanya sampai berkaca-kaca. Tak pernah terbayang olehnya bahwa ia akan mempunyai nama sebagus itu.
"Mulai sekarang dan seterusnya kau adalah putraku! Kemana pun Bunda pergi kau harus mengikuti Bunda. Kau mengerti kan...?"
"Izinkan aku menangis..."
"Tentu, peluklah aku dan menangislah sesuka hatimu untuk sekarang. Namun kedepannya, aku takkan mengizinkan mu kembali menangis. Putraku... Ersya."
Tangis haru dan bahagia akhirnya mengalir begitu saja dari bibir mungil Ersya. Ia tak mampu lagi menahan luapan perasaan yang menggelora di dalam dadanya. Hari ini menjadi hari yang luar biasa, sebuah titik balik yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seorang wanita cantik, berhati mulia, telah mengulurkan tangan dan mengangkatnya dari jurang penderitaan, menyelamatkannya dari maut yang nyaris merenggut hidupnya.
Air mata bahagia pun tak terbendung. Mengalir deras di pipinya, mencerminkan betapa dalam rasa syukur dan haru yang ia rasakan. Tangis itu bukanlah karena luka atau ketakutan, melainkan karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa benar-benar dicintai, diselamatkan, dan dipilih.
Inilah pertama kalinya Ersya menangis dalam kebahagiaan. Sebuah tangis yang tak menyakitkan, melainkan menyembuhkan.
"Jangan menangis lagi" lirih Zenitha.
*****
Tiga tahun kemudian...
“Bunda…” panggil Ersya, dengan suara lembut khas anak berusia lima tahun.
Sudah tiga tahun berlalu sejak kehidupan Ersya berubah secara drastis. Sejak saat itu, segala aspek dalam hidupnya perlahan membaik. Kini, di usianya yang masih belia, Ersya telah menjadi sosok yang menarik perhatian banyak orang di sekitarnya. Di sekolah, ia mulai dikenal dan disukai, bukan hanya karena kepribadiannya yang tenang, tapi juga karena parasnya yang menawan. Wajah tampannya dihiasi bulu mata lentik dan sepasang mata hitam pekat yang dalam dan memesona, seolah mampu menawan hati siapa pun yang menatapnya, anak-anak seusianya, remaja, bahkan orang dewasa.
Namun, ketampanan itu dibalut oleh aura yang datar dan dingin. Ekspresi wajahnya sering kali tampak tenang, nyaris tanpa emosi saat berhadapan dengan orang lain. Hanya satu orang yang mampu meruntuhkan dinding dingin itu: Zenitha. Di hadapan wanita yang telah menyelamatkannya dan kini ia panggil "Bunda", Ersya berubah sepenuhnya. Ia akan menunjukkan sisi imut dan manisnya, tersenyum, tertawa riang, dan memperlihatkan ekspresi polos yang hanya ia simpan untuk Zenitha.
Di luar, Ersya tetap menjadi sosok yang sulit ditebak, tenang, dewasa sebelum waktunya, namun di rumah… ia hanyalah seorang anak kecil yang begitu menyayangi bundanya.
"Kau sudah pulang Er? Apa kau ingin makan sesuatu..." Zenitha menyambut sang putra yang baru pulang sekolah, ia berjongkok. Menyeimbangi tinggi badan putranya itu, dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Tidak Bunda, aku ingin membersihkan tubuhku terlebih dahulu. Setelah itu baru makan bersamamu. Apapun yang kau masak, aku akan menyukainya..."
"Hahahaha, baiklah-baiklah Bunda menunggumu. Cepat sana bersihkan tubuhmu yang sudah bau busuk ini. Sana..." ujarnya berpura-pura merasa terganggu dengan bau keringat sang putra, padahal ia tidak mencium bau sama sekali. Melainkan wangi kas bayi yang ia cium, tapi ia beraksi bahwa itu mengganggu penciumannya agar sang putra segera mandi.
Ersya memang bukan pura kandungnya, tapi Zenitha... ia sangat menyayanginya bak putra kandung. Zenitha selama ini bahkan sangat mencintai dan menyayangi Ersya, karena ia berkata bahwa Ersya adalah putra kandungnya. Ia tidak pernah menganggap bahwa Ersya adalah putra angkat yang ia temui. Ia lebih menyukai fakta palsu bahwa Ersya adalah putra kandungnya.
"Terimakasih Tuhan, karena kau sudah mempertemukan aku dengan anak setampan Ersya. Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan pemberianmu, karena pemberianmu yang satu ini sangatlah berharga bagiku."
"Dia mungkin bukan putra kandungku, dan bukan aku yang melahirkannya. Tapi setelah aku bertemu dengannya... ia sudah menjadi putraku. Putra kandungku yang aku lahirkan tepat ketika aku bertemu dengannya." gumamnya kecil.
"Dia adalah putra kandungku. Hari ini, esok, atau nanti... kedepannya, atau ke belakangnya ia tetaplah putraku."
"Bunda." panggil Ersya, baru kembali setelah selesai membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya dengan lebih santai.
"Tampannya anak Bunda, kemari sayang... Bunda ingin mencium mu." pinta Zenitha dengan gemas menyambut kedatangan sang putra kedalam pelukannya, kemudian memberikan kecupan hangat tepat di kedua pipi Ersya.
"Terimakasih Bunda."
*****
"Bila ada seseorang yang memperlakukanmu layaknya boneka! Maka patuhi dia tapi jadilah boneka Annabelle untuknya."
Ersya Melviano Ravindra
*****
"Rasa sakit yang abadi adalah pertanda bahwa kau memiliki keberanian yang besar. Tersenyumlah dan tipu dunia bahwa kau baik-baik saja..."
Zenitha Merlina Revandra
*****
Kisah yang sebenarnya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Arwa Ingin Setia
anakku umur 2 th belum bisa ngomong jelas, masih bahasa planet.... 🤭.
Ersya sudah ngomong lancar seperti jalan tol 👍.
2023-04-04
1
Xyzbca_
Kata savage-nya Suga Bts
2023-03-31
1
🍒Marniselv🍒
next
2022-06-12
0