Mengapa lelaki itu merasa perlu mengirim bunga mawar putih untuknya? Dan mengapa pula ucapan selamat ulang tahunnya bernada khusus seperti itu? Apa tujuannya?
Asti tercenung seorang diri. Dari pertanyaan-pertanyaan batinnya sendiri yang begitu ramai itu, ia sadar bahwa Tomi dengan segala tingkahnya itu bukanlah sesuatu yang bisa diabaikannya begitu saja.
Entah apa pun yang paling mendominasi hatinya saat ini, amarahkah itu, kebenciankah itu, merasa tersanjungkah itu atau bahkan merasa senangkah itu, yang jelas semua itu merupakan bukti bahwa baginya Tomi adalah sesosok manusia yang telah mengacaukan ketenangan batinnya.
Apa yang sebelum ini tak pernah dirasakannya, kini harus dialaminya (Beginilah isi hati wanita guys, sebenarnya senang banget tapi takut kepedean dan takut nanti terlukanya lebih besar.)
*
*
Kembali ke kampus hari berikutnya sungguh merupakan semacam ujian yang berat bagi Asti.
Ia berharap agar Tomi tidak masuk kuliah supaya ia jangan bertemu muka dengan lelaki itu. Tetapi ternyata harapannya hanyalah harapan sia-sia belaka.
Lelaki itu justru duduk di deretan bangku yang paling depan dan langsung tampak oleh Asti begitu ia masuk ke dalam ruangan tempatnya mengajar itu.
Sepanjang pengalamannya mengajar selama tiga semester itu, baru kali itulah Asti merasakan beratnya beban jabatan yang dipanggulnya.
Sebab saat itu ia semakin sadar bahwa untuk menjadi seorang dosen, dirinya masih muda.
Emosi-emosinya masih harus banyak dikekang agar jangan sampai tercuat keluar karena kemudaan usianya itu.
Lebih-lebih apabila ia berada dalam lingkup pergaulan di dalam kampus tempat ia mengajar itu, sebab ia berada di tempat itu karena tugasnya sebagai seorang dosen.
Citra seorang pengajar haruslah tampak melalui sikap dan tutur bahasanya.
Tetapi, berdiri di depan Tomi yang mempunyai banyak kesempatan untuk menatapinya, sungguh merupakan suatu siksaan karena ia tak mungkin dapat melampiaskan rasa tak suka atau bahkan rasa bencinya itu secara terang-terangan.
Karena pasti akan jelek akibatnya. Sebab bukan saja akan menurunkan penghargaan orang terhadapnya sebagai salah seorang tokoh pengajar di universitas itu, tetapi juga akan menimbulkan tanda tanya atau dugaan yang bukan-bukan saja di kepala orang yang mendengarnya.
Jadi bagaimana pun juga sebelnya Asti terhadap Tomi yang menatapinya sedemikian rupa, ia tetap menahan dirinya untuk tetap bersikap anggun dan sesuai dengan citra seorang pengajar.
Padahal kalau menilik usia mudanya, ingin sekali ia mengusir lelaki itu atau sedikitnya menyuruhnya duduk di kursi yang paling belakang.
Memang tidaklah mudah untuk tetap bersikap dewasa dan anggun pada usianya yang masih muda.
Atau dengan kata lain, memang tidaklah mudah menjadi dosen dengan murid-murid yang usia mereka tak terlalu jauh jaraknya dengan usianya.
Apalagi dengan beberapa mahasiswa yang usianya berada di atas usianya. Seperti Tomi misalnya. Atau seperti Ibu Ina, Ibu Susinah dan Pak Alex yang telah berusia empat puluhan itu.
Usai memberi kuliah, siang itu Asti langsung duduk di kursi untuk menopang kedua belah kakinya yang terasa pegal dan lemas.
Suatu hal yang ia tau betul bahwa itu disebabkan karena ketegangan mentalnya berada di muka Tomi selama sekian waktu lamanya.
Kini ia duduk menunggu sampai para mahasiswa keluar dengan pura-pura sibuk memeriksa lembar-lembar kertas dalam mapnya.
Lega rasanya sesudah ruangan menjadi kosong beberapa saat kemudian.
Asti lalu membereskan kertas-kertas yang tadi dibuka-bukanya untuk kemudian dimasukkannya ke dalam map kembali.
Tetapi belum lagi apa yang dilakukannya itu selesai, sesosok bayangan menimpa kertas-kertas di atas meja yang sedang diaturnya itu.
Kepalanya segera terangkat.
Di mukanya, berdiri Tomi yang menjulang tinggi.
Lelaki itu segera tersenyum manis begitu Asti menengadah ke arahnya.
“Bu Asti, biar pun sudah terlambat sehari, ijinkanlah saya mengucapkan selamat ulang tahun yang ke tiga puluh!” katanya sambil mengulurkan tangannya.
Mau tak mau Asti terpaksa membalas uluran tangan itu dan menerima ucapan selamat dari lelaki itu.
“Terimakasih…” sahutnya, singkat saja. Heh, pikirnya jengkel, tau-taunya jumlah umurku! (wkwkwk….😜).
“Apakah Bu Asti sudah menerima kiriman bunga dari saya?” Tomi berkata lagi.
Asti tidak segera menjawab. Ia berdiri dari tempatnya duduk dan meraih tasnya.
Sedangkan mapnya yang sudah rapi dipeluknya dengan sebelah tangan.
Sesudah ia merasa siap untuk meninggalkan tempat itu, barulah kepalanya menoleh ke arah Tomi.
“Sudah. Terimakasih!” sahutnya dengan suara enggan.
“Tetapi semestinya Saudara tidak perlu melakukan hal itu!”
“Saya menganggap itu perlu, Bu Asti!” Tomi membantah.
“Sebab berkat Ibu Asti lah saya sekarang menjadi lebih rajin mengikuti kuliah karena menyadari manfaatnya hadir sendiri untuk bertatap muka dengan dosen, sehingga mampu menyerap ilmu secara lebih baik.
Juga berkat Ibu pulalah saya sekarang sadar bahwa usia saya sudah tidak pantas lagi menjadi seorang mahasiswa. Apalagi mahasiswa abadi seperti saya ini!”
Asti tidak ingin memberi komentar terhadap kata-kata Tomi. Sebab pasti panjang buntutnya. Jadi ia memilih pergi.
“Selamat siang!” katanya.
Tomi tidak mau membuang kesempatan yang ada itu dengan menyusul di belakang Asti.
Melihat itu, Asti mempercepat langkah kakinya. Apalagi Tomi mengejarnya dengan pertanyaan yang membuatnya semakin jengkel.
“Ibu menyukai mawar putih kan? Di kebun rumah Ibu, saya lihat mawar putihnya segar dan cantik-cantik!” kata lelaki itu.
Asti masih tetap tidak mau memberi komentar. Tetapi Tomi tidak mau tahu itu.
“Bu, kalau Ibu suka, nanti kalau saya pulang dari atlas, akan saya oleh-olehi pohon mawar putih dari beberapa macam jenis.”
Merasa terganggu, kali ini Asti menghentikan langkah kakinya dengan mendadak. Hampir saja Tomi menabraknya dari belakang.
*
*
‘Saudara Tomi, saya memang menyukai mawar…” kata Asti tidak perduli berdiri hampir berdekatan dengan Tomi.
“Tetapi saya akan berterimakasih kalau Saudara tidak membawakan saya mawar entah dari atlas entah dari mana pun juga.
Saya tidak mempunyai waktu untuk mengurusinya. Dan saya berharap kamu ingat baik-baik apa yang saya sampaikan.
"Saya akan dengan senang hati mau mengurusinya untuk Ibu!” Tomi menawarkan jasanya.
Asti menarik nafas panjang. Bahunya menurun karena jengkel.
Tomi nyata-nyata ingin mencari perhatiannya dan terus melibatkan dirinya. Sungguh menyebalkan!
“Tidak perlu, Saudara Tomi!” desisnya, mulai melampiaskan rasa jengkelnya. Ia sudah tidak mampu lagi menahan dirinya.
“Pokoknya saya tidak ingin menambah pohon bunga mawar barang sebatang pun di kebun rumah orang tua saya.
Cukup jelas kan keterangan saya ini!”
Tetap pada saat Asti sedang melampiaskan kemarahannya, dari ujung lorong muncul Pak Eko.
Dosen tampan yang menaruh hati kepada Asti, ia langsung melihat apa yang terjadi kendati ia tidak mendengar apa yang dikatakan oleh gadis itu kepada mahasiswanya yang ganteng itu.
Tetapi jelas sekali sikap dari air mukanya tampak jengkel sekali. Karenanya ia mempercepat langkah kakinya dan menghampiri kedua orang itu.
“Ada apa Dik Asti?” tanyanya begitu sampai ke dekat Asti.
Lelaki itu bertanya kepada Asti tapi pandang matanya mengarah kepada Tomi dan memandanginya dengan tatapan menyelidik.
Asti kaget mengetahui ada orang lain di dekatnya. Apalagi orang itu adalah Pak Eko.
Betapa pun marahnya ia kepada Tomi, itu adalah urusan pribadinya. Jangan sampai orang lain mengetahuinya.
“Ah, tidak apa-apa kok Mas. Biasa, urusan pengajaran!” sahutnya. Kemudian ia pura-pura terkejut dan mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat arlojinya.
“Wah, aku harus buru-buru pulang. Selamat siang Mas Eko. Selamat siang Saudara Tomi!”
“Selamat siang, Bu Asti!” Tomi bergumam perlahan.
Tetapi Pak Eko tidak menjawab ucapan selamat siang Asti. Sebagai gantinya, ia menawari jasa mengantarkannya pulang.
“Dik Asti, ku lihat pagi tadi kau datang dengan taksi. Bagaimana kalau ku antar pulang?”
“Tidak usah Mas. Aku terburu-buru begini justru karena mau dijemput oleh ayahku.
Pasti beliau sudah ada didepan sana. Kalau terlalu lama menunggu, bisa-bisa aku di semprot.
Ayo ah, aku pergi dulu!”.
Melihat Asti melangkah dengan gerakan cepat memperhatikan ketergesaannya namun tanpa kehilangan keluwesannya berjalan dan tetap dengan gerakan tubuh yang memukau karena bentuk tubuhnya yang indah itu, baik Pak Eko maupun Tomi menatap gadis itu sampai tubuhnya lenyap di balik tembok.
Sesudah pemandangan indah tadi lenyap, Tomi menoleh kearah Pak Eko. Tepat saat itu Pak Eko juga sedang menoleh ke arahnya. Tomi lalu tersenyum.
Tetapi Pak Eko tidak membalas senyum lelaki muda itu. Sebagai gantinya lelaki itu menatapi Tomi lagi seperti tadi dengan pandangan menyelidik.
“Saudara dari fakultas apa?” tanyanya.
“Dari psikologi, Pak”
“Jadi Saudara yang bernama Tomi ya? tadi saya dengar Ibu Asti menyebut nama Saudara!”
“Iya, Pak.”
Tomi menjawab pertanyaan Pak Eko sambil berpikir. Rupanya, lelaki yang banyak mengajar di fakultas ekonomi itu sudah pernah mendengar namanya kendati belum pernah menjadi mahasiswanya.
“Apakah Saudara sudah mengetahui bahwa ada sedikit desas-desus mengenai Saudara?”
“Maksud Bapak?”
“Saya akan langsung mengatakannya!” Ada sebagian orang yang bercerita mengenai kelakuan Saudara di ruang kuliah apabila Ibu Asti yang sedang mengajar.”
“Kelakuan saya? Apakah ada yang seharusnya tidak saya lakukan dan saya tidak menyadarinya, Pak?” Tomi menjawab sambil berpikir lagi.
Rupanya telinga-telinga orang-orang di kampus ini cukup tajam. Entah apa yang didengar oleh Pak Eko itu. Dan entah apa pula penilaiannya, Tomi ingin tahu.
“Saudara mencoba menarik perhatian Ibu Asti dengan berbagai macam hal. Sejak dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sampai kepada hal-hal yang seharusnnya tidak perlu dikemukakan dalam ruang kuliah, karena relevansinya dengan materi yang diajarkan saat itu belum ada!” Pak Eko menjawab dengan terus-terang.
“Tetapi apa pun kebenarannya dan apa pun ketidak benarannya, bukan itu yang menjadi persoalan bagi saya.
Yang ingin saya garis bawahi adalah harapan saya agar Saudara lebih jauh berpikir, jangan berbuat sesuatu yang sekirannya akan dapat menodai nama baik Ibu Asti!”
“Saya tidak bermaksud demikian..”
“Itu pasti!”
Pak Eko memotong bicara Tomi yang belum selesai bicara.
“Justru karena itulah saya sekarang berbicara begini kepada Saudara.
Memang benar, hak setiap individulah untuk menaruh perhatian khusus terhadap siapa pun. Terhadap dosennya sekali pun.
Dan bukan salah seorang mahasiswa kalau dia tertarik kepada seorang dosen yang amat menarik seperti halnya Ibu Asti.
Tetapi ingat, tempat ini adalah kampus. Kalau seseorang berada di tempat ini sebagai mahasiswa, ya berlaku dan bersikaplah seperti seorang mahasiswa jika berhadapan dengan dosennya.
Jangan membuatnya merasa tersudut!”
Tomi mulai merasa tersinggung oleh perkataan Pak Eko yang begitu terus-terang itu.
Namun bagaimana pun ia menghargainya karena berbicara secara terbuka dengan seseorang betapa pun tidak enaknya isi bicaranya, masih tetap merupakan sesuatu yang fair sifatnya.
Dan itu lebih mudah diatasi secara rasional.
“Saya mengerti maksud baik Bapak,” sahut Tomi kemudian.
“Tetapi harap Bapak ketahui bahwa saya tidak pernah ingin menyudutkan Ibu Asti!”
“Lalu kenapa beliau tadi marah kepada Saudara?”
Tomi agak tertegun. Sejujurnya ia harus mengakui bahwa selama ini ia memang ingin sekali meraih perhatian Asti sehingga tanpa disadarinya ia telah menyudutkannya agar gadis itu memalingkan mata ke arahnya.
Bukankah mengirimkannya rangkaian bunga mawar putih itu juga bagian dari usahanya? Dan bukankah pula usahanya belajar mati-matian mengenai mata kuliah yang diajarkan oleh dosennya yang cantik itu pun merupakan bagian dari hasratnya meraih perhatian gadis itu sampai-sampai ia lupa bahwa ada hal-hal yang menyebabkan yang bersangkutan itu merasa tersudut.
Adanya desas-desus bernada spekulatif yang berasal dari godaan teman-temannya itu misalnya.
Sampai-sampai Pak Eko pun mendengarnya.
Namun meskipun Tomi merasa bersalah, pada wajahnya hal itu tak kelihatan.
Pikirnya, apa pun juga itu semua, orang lain tidak perlu tahu. Sebab bukan urusan mereka, melainkan urusannya sendiri.
Berpikir seperti itu, Tomi langsung mengangkat kepalanya dan menatap Pak Eko.
“Kemarahan Bu Asti tadi karena masalah paper, Pak!” katanya berdusta.
“Saya belum menyerahkan tugas saya dan beliau marah karena hal semacam ini sudah kedua kalinya terjadi. Alasan yang saya ajukan ditolaknya, sehingga tentu saja saya memprotesnya karena alasan saya itu bukan sesuatu yang mengada-ngada.
Tetapi ternyata, beliau tadi malah marah!”.
Pak Eko mencerna sesaat perkataan Tomi, kemudian ia menganggukkan kepalanya. Air mukanya yang semula tampak tegang, mulai mengendur.
“Baiklah, Saudara Tomi. Saya tidak akan memperpanjang masalah ini!” katanya kemudian.
“Cuma saya harap agar Saudara lebih berwawasan luas untuk tidak menempatkan Bu Asti pada posisi yang tidak menyenangkan.
Tetapi kalau hal itu masih tetap berlanjut, saya akan meminta pertanggung jawaban kepada Saudara!”.
Usai berkata seperti itu, Pak Eko langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Dan Tomi pun termangu-mangu seorang diri.
Dalam hatinya ia mempunyai lintasan dugaan yang kuat, bahwa entah sedikit entah banyak, Pak Eko menaruh perasaan tertentu kepada Ibu Asti.
Itu artinya, ia mempunyai saingan yang amat berat!...(Si Tomi ada saingan nich wkwkwkwk😜).
*
Pikiran itu menggelisahkan hati Tomi sedemikian kuatnya. Sebab pada saat itu kesadarannya telah berhadapan dengan kenyataan di mana ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa ia mencintai Asti.
Memang pada awalnya ia hanya merasa tertarik dan gemas terhadap gadis muda yang berlaku sebagai orang tua dalam profesinya sebagai dosen itu.
Tidak pernah ia melihat apalagi berhadapan muka dengan seorang gadis seunik Asti.
Sekarang ia tahu bahwa gadis yang dicintainya itu bukan saja berada di seberang jangkauan tangannya, tetapi juga menjadi gadis yang dicintai oleh Pak Eko.
Sewajarnyalah kalau Tomi menjadi gelisah karena hal itu.
Di kampus ini, Pak Eko terkenal karena ketampanan dan kepribadiannya yang telah menarik banyak perhatian para mahasiswi sedangkan Tomi hanyalah seorang mahasiswa yang dikenal sebagai mahasiswa penggoda dosen muda yang cantik itu.
Kalau Asti berpikir secara rasional, pasti ia akan jauh lebih memilih Pak Eko.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 218 Episodes
Comments
༄༅⃟𝐐ahNyaak moon.༐༐༅⃟𝓮𝓵
maklum lah tom, kan bnyak kang jilat.. 🤣🤣
2022-12-21
2
🇦 🇹 🇯 🇺
ya pasti semangat lah belajar nya wong dosen nya cantik pujaan hati babang tomi
2022-12-20
1
🍒⃞⃟🦅ˡᵃαռռαᴾᴳ ֟፝ ꯭⑉꯭͠ ࿐
makin pinter ngocehnya ya tom😆😆😆🤣🤣
2022-12-14
4