Ketika itu Sang Ayah masih terlihat berpikir begitu keras, seperti berusaha menyerap apa yang dikatakan oleh Asti kepadanya. Setelah diam beberapa saat ternyata hasil dari pemikirannya masih seperti tadi, luka di hati Sang Ayah masih terasa perih karena kecewa.
"Tetapi Ayah masih belum dapat memahami mengapa semudah itu kamu memutuskan suatu masalah yang besar seperti ini, tanpa berpikir panjang. Kamu seharusnya tahu keputusan ini menyangkut masa depan mu Asti. Ayah dan Ibu mu ini sudah tua, umur kami sudah tidak muda lagi!'' kata Sang Ayah berbicara dengan bibirnya yang bergetar seperti menyimpan kepedihan dan kesedihan yang mendalam.
Suasana yang tadi panas seakan menjadi dingin, ketika Asti mendengar ungkapan dari Sang Ayah. Asti yang bingung dan timbul rasa bersalah pada dirinya. Namun keputusan yang sudah ia ambil adalah keputusan yang sudah tidak bisa di ganggu gugat lagi.
“Iya saya tahu betul Ayah, dengan keadaan yang ada. Tapi saya yakin dan percaya rezeki saya untuk Ayah dan Ibu bukan hanya di perusahaan itu. Masih banyak lapangan pekerjaan yang bisa menjadi tempat untuk saya mencari nafkah untuk diri saya, untuk Ayah dan Ibu. Tetapi tidak lagi di perusahaan itu Yah! Saya sudah tidak mau lagi berada di lingkungan itu.
“Terus terang keputusan ini sudah memasuki prinsip hidup saya, Yah. Saya tidak lagi dapat menerimanya. Mata dan hati saya tidak lagi bisa menghadapinya!'' jawab Asti.
“Jadi sebenarnya apa masalahnya? Apa yang membuat kamu mengambil keputusan ini Nak! Berikan jawaban yang dapat Ayah terima! Sejak tadi belum ada alasan yang masuk akal bagi Ayah” kata Sang Ayah lagi.
“Iya Nak… Apa yang Ayah mu katakan itu benar. Apa sebenarnya permasalahan yang menimpa mu di perusahaan itu sampai kamu mengambil keputusan ini? lanjut Sang Ibu. “Yang kami lihat sekarang, bahwa kamu telah mengambil suatu keputusan yang tergesa-gesa dan tanpa mempertimbangkan secara matang lebih dahulu! Sampai-sampai membicarakannya dengan kami pun tidak!”
Asti menyadari kebenaran yang dikatakan oleh kedua orang tuanya dan menganggukkan kepalanya.
''Memang saya salah, tidak mau berterus-terang mengatakan masalah yang sebenarnya kepada Ayah dan Ibu!'' sahut nya. “Hal itu karena saya merasa muak untuk membicarakannya. Sebab dengan menceritakannya, apa yang tidak ingin saya ingat-ingat itu menghantui kembali ke alam pikiran saya. Jadi saya mohon kepada Ayah dan Ibu untuk bisa menerima keputusan saya ini”
“Kenapa kamu tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya dengan jelas Nak? Memangnya apa yang sudah terjadi?” kata Ibu lagi.
“Iya Bu, nanti pasti akan ku sampaikan ke Ibu dan Ayah. Tetapi untuk sekarang beri saya waktu, sampai saya benar-benar siap” Asti mendekati Ibu dan Ayah nya, langsung memeluk mereka “Asti sayang Ibu dan Ayah, maafkan Asti yang sampai detik ini masih membuat Ibu dan Ayah khawatir."
Ibu dan Ayah yang tidak bisa berkata-kata lagi, hanya mengelus-elus kepala Sang Anak gadis semata wayang nya itu.
Asti tidak berniat membuat Ibu dan Ayah nya khawatir. Asti yang sudah memikirkan dengan panjang lebar mengenai masalah ini, mencari bagaimana caranya untuk menyampaikan kepada kedua orang tua nya.
Kekhawatiran mereka akan jauh lebih besar jika Asti menceritakan kejadian yang sebenarnya di bandingkan dengan keputusan pengunduran diri nya itu.
Pelecehan yang dilakukan pimpinannya yang membuat Asti berkuat mengundurkan diri dan bersyukur mahkotanya terselamatkan.
Selesai sudah persidangan antara ketiga anak-beranak di hari itu. Asti yang kembali masuk ke kamarnya untuk mandi dan beristirahat menenangkan diri dan pikirannya. Begitu juga dengan Ayah dan Ibu yang setelah kejadian sore itu tidak banyak berbicara satu sama lain.
***
Sang Ayah yang masih telihat murung di saat pagi datang, duduk di kursi teras seorang diri. Sambil memandang kearah jalanan dengan tatapan yang begitu sayu. Terletak dua potong roti favoritnya di atas piring putih dan ditemani segelas kopi pahit kesukaan nya di atas meja. Dua potong roti dan satu gelas kopi pahit itu terlihat masih utuh penuh didalam cangkir khusus kesayangannya. Seperti belum di cicipinya sama sekali. Ia seperti sedang banyak pikiran!
Bunga-bunga indah bermekaran didepannya pun seakan tidak telihat oleh tatapan dua bola matanya. Tidak seperti Ayah yang biasa selalu ceria dan bersemangat, jangankan di pagi hari, saat matahari mulai terbenam pun semangatnya masih tetap menyala. Benar-benar berbeda 180˚ dengan hari-hari sebelumnya.
Begitulah hari demi hari berlalu, seorang gadis di rumah itu tidak pergi kemana-mana lagi, karena sekarang sudah berstatus pengangguran.
Asti yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar, selalu terlihat sibuk dengan duduk di depan laptop atau membuka handphone nya. Entah apa yang di lihatnya! Entah apa yang di otak-atiknya di dua benda itu! Sang Ibu yang sering berpatroli ke kamarnya, untuk melihat apa anak gadis nya itu baik-baik saja. Setelah membuka pintu Ibu selalu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatap Asti.
Asti yang membalas tatapan Ibunya itu hanya dengan tersenyum tanpa terlihat giginya.
Ketika Asti lapar ia akan memastikan kondisi di luar kamarnya sudah aman, barulah ia berjalan ke dapur untuk mengambil makanan berat atau makanan ringan dikulkasnya. Tingkahnya sudah seperti tikus yang mencuri makanan majikannya. Ia sengaja keluar dari kamarnya saat Ayah dan Ibu nya sudah makan atau saat Ayah dan Ibu nya sedang beristirahat siang atau malam. Hal itu ia lakukan agar tidak bertemu tatap muka dengan orang tuanya.
Sampai malam ke empat Asti berhenti kerja, mereka bertiga akhirnya makan malam bersama. Itu pun karena paksaan dari Sang Ibu yang menjemput dan menariknya keluar dari kamar untuk duduk di meja makan dan makan bersama. Padahal jam makan siang atau pun malam sebelumnya Asti selalu di panggil oleh Ibu nya, namun Asti selalu menghindar dan selalu menjawab dengan berbagai alasan agar tidak makan bersama Ibu dan terutama Sang Ayah.
Dengan perasaan berat, akhirnya Asti mengikuti ibunya ke meja makan, terlihat ayah yang sudah duduk di salah satu kursi yang biasa ayah duduki.
Ada perasaan rindu dihati ayah pada anak gadisnya, karena walaupun mereka satu rumah tapi beberapa hari ini ayah dan Asti saling menghindar.
Asti menghindar karena merasa bersalah pada kedua orang tuanya, sementara ayah menghindar karena merasa sedih karena Asti belum memiliki pekerjaan lagi.
Tidak dipungkiri jika Asti merindukan sikap ayahnya yang hangat dan penuh kasih sayang.
Begitupun ayah yang merindukan keceriaan putri semata wayangnya.
Melihat Asti yang datang untuk ikut makan, ayah hanya diam saja, tidak ada sapaan dari ayah untuk Asti, begitupun Asti yang tidak berani menegur ayahnya karena melihat wajah ayah yang masih kesal.
Bersambung…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 218 Episodes
Comments
Budi Asih
kosa katanya asti bisa di ganti ga kak, kayak aku gitu, terlalu formal sama ortu
2023-03-02
0
ˢ⍣⃟ₛ αηтιє
karena menjadi dosen itu , adalah tuntutan bathin Asti ..
2023-01-10
0
💕febhy ajah💕
dasar pimpinan mata keranjang
jgn murung ayah, asti sdh melakukan hal yg terbaik.
2023-01-05
1