Aldrich bolak balik melihat layar ponselnya, ia terus membuka lalu menutup kembali aplikasi berwarna hijau tersebut. Wajahnya terlihat gusar menampakan keresahannya.
Chelsea dan Davan terus memperhatikan sepupu yang lebih dianggap sahabatnya itu.
Chelsea menyenggol lengan Davan, membuat Davan menoleh dan Chelsea menunjuk Aldrich dengan dagunya. "Sibucin lagi galau." Bisik Chelsea sepelan mungkin.
Davan mengerdikan bahunya, "Begitulah kelakuan sibucin." Jawabnya asal.
"Semoga dia tidak merepotkanku jika nanti ditinggal olehmu ke Amrik, Dav." Kata Chelsea.
"Siap siap saja kamu mendengarkan kegalauan si bucin akut itu, Chel." Jawab Davan terkikik geli.
Sementara disisi rumah yang lain. Para orang tuapun berkumpul dan saling bertukar cerita.
"Riz, Stev, jangan terlalu keras pada Aldrich. Kasian kan dia seperti tertekan." Kata Ghea yang sedari tadi memperhatikan Aldrich.
"Ck, Ghe. Aldrich itu masih labil, dan kelabilannya itu dimanfaatkan oleh cewek." Jawab Fariz.
"Ya, aku setuju soal itu, Riz. Aldrich itu percis kayak kamu semasa muda, terlalu baik." Sahut Jessi.
"Dan kebaikan Aldrich dimanfaatkan oleh pacarnya." Sahut Tristan.
Stevi memijat pelipisnya. "Bingung sama Aldrich, susah banget lepas dari cewek itu. Dan parahnya lagi, Apartemen mewah yang aku belikan untuk Aldrich, ditempati oleh si Metamorfosis itu."
"Dekatkan diri sama yang maha membolak balikan hati, minta yang terbaik untuk putra kalian, minta didekatkan dengan yang terbaik dan minta dijauhkan dari segala hal yang tidak baik." Fadhil memberi wejangan pada Fariz dan Stevi.
"Iya, Mas. Kadang kami berdua juga bingung, pelet apa yang nempel ke Aldrich." Jawab Stevi.
"Jangan suudzon dulu, Stev. Bisa jadi ini semua karna kalian yang terlalu memanjakan Aldrich sedari kecil. Sehingga saat besar seperti ini Aldrich tidak suka jika ada yang menentangnya." Kali ini Ghea yang berbicara.
"Andai ada wanita yang bisa aku jodohkan untuk Aldrich." Gumam Stevi yang terdengar oleh mereka semua.
"Wanita yang seperti gimana Stev, yang menjadi menantu idealmu?" Tanya Jessi.
"Yang baik untuk Aldrich aja, Jess." jawab Stevi.
"Sekarang susah cari gadis, banyaknya janda." Sahut Tristan asal.
"Ck, mentang mentang sering nanganin kasus perceraian, lu mau nyodorin janda buat anak gue." Cibir Faris.
"Lho, kalo janda tapi baik, kenapa enggak Pap. Setidaknya Janda lebih terhormat daripada gadis yang ternyata bukan gadis." Stevi memberi tanda kutip pada kedua jarinya.
"Iya betul, jaman sekarang siapa sih yang mau jadi Janda?" Sahut Ghea.
"Ya, betul itu Ghe, tidak ada yang bercita cita ingin menjadi Janda." Sahut Tristan sambil menunjukan jempolnya.
"Gue curiga ama lu, Tan. Lu ngomongin janda mulu, jangan jangan lu lagi kepincut sama satu klien lu ya?" Ledek Fariz yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Tristan.
"Papi...." Panggil Jessi pada Tristan dengan nada tidak mengenakan.
Tristan menggaruk tengkuknya, "Gak gitu juga, Bee.. Itu bisa bisanya Fariz aja tuh."
Ghea tersenyum melihat sahabat sahabatnya itu, Fariz yang slalu meledek Tristan dan Tristan yang takut dengan istrinya.
***
"Oh shiittt.. Aldrich menghubungiku." Gumam Metha saat dirinya baru saja tiba diapartemen sambil melihat ponselnya yang menunjukan banyaknya panggilan masuk dari Aldrich.
Metha memegang kepalanya sambil berjalan sempoyongan, ia menuju kamar untuk merebahkan dirinya. Metha baru saja pulang dari club malam, ia menghabiskan waktu dengan berjoget dan berkumpul dengan teman temannya, tentunya menghambur hamburkan uang yang diberikan oleh Aldrich.
Bukannya menghubungi Aldrich balik, Metha malah melempar ponselnya kesembarang arah, lalu ia tertidur saking lelahnya dan karna masih berada dibawah pengaruh minuman alkohol tersebut.
Namun sebuah tangan kekar melingkar begitu saja diperut Metha, membuat Metha sedikit mendongkan wajahnya.
"Dimas, harusnya kamu pulang saja, aku takut Aldrich akan datang kesini." Racau Metha.
"Urusan kita belum selesai, Tha. Kamu bilang akan memuaskanku? Lagi pula kekasih bodohmu itu tidak akan datang malam malam kan?" Dimas berkata sambil melucuti pakaian yang menempel pada tubuh Metha.
Metha tertawa saat Dimas berusaha mencumbuinya, "Tapi kamu harus pulang sebelum Pagi, Aldrich biasanya akan datang membawakanku sarapan."
"Okay Honey, tapi berikan aku tiga ronde dengan posisimu diatasku. Puaskan aku malam ini." Kata Dimas disela sela mencumbui Metha.
Metha membalikan tubuh Dimas sehingga kini dia yang berada diatasnya, "Tenang saja Dimas, hasratku sedang tinggi, sibodoh Aldrich tidak pernah mau menyentuhku, padahal aku sangat penasaran dengan miliknya, apa miliknya lebih jantan dari milikmu?" Metha tertawa keras.
"Tentu saja Honey, milikku tak terkalahkan." Jawab Dimas dengan penuh percaya diri.
Mereka larut dalam percintaan, Metha sungguh tidak memikirkan perasaan Aldrich, mereka juga sungguh tidak tau malu, terlebih mereka melakukan hal itu di apartemen milik Aldrich.
Prank
Aldrich tidak sengaja memecahkan gelas, ia menaruh gelas dimeja dapur namun terlalu pinggir sehingga membuat gelas itu terjatuh.
"Ya ampun tuan muda Al, biar simbok yang bereskan." Sahut Mbok Nah kepala pelayan dirumah Fariz.
"Maaf Mbok, jadi merepotkan Simbok." kata Aldrich.
"Gak apa apa Tuan muda, untung aja bibi kedapur." Mbok Nah membereskan serpihan kaca yang hancur itu.
"Terimakasih Mbok." Kata Aldrich kemudian beranjak kembali kekamarnya.
Melewati kamar Orang tuanya, Aldrich mendengar suara yang tidak biasa. Aldrich bukannya pergi malah menempelkan telinganya dipintu kamar Fariz dan Stevi.
"Ouhh Papap, terus Pap."
"Kamu tidak berubah, Ma. Masih sempit sekali."
Aldrich menghela nafasnya, "Kebiasaan, kalau mau begituan lupa menyalakan kedap suaranya, gak bisa tahan sebentar apa sampai tidak sempat begitu." Kesal Aldrich lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
Didalam kamar, Aldrich merebahkan dirinya, dan menjadikan kedua tangannya sebagai bantalan. "Besok mana pagi sekali anterin Davan ke bandara, dan mepet sama meeting dikantor. Bisa gak ya curi waktu sebentar buat ketemu Methaku." Gumam Aldrich, lalu tak lama dirinya pun tertidur
**
"Cepatlah pulang, Dav." Aldrich menepuk punggung Davan sebelum melerai pelukannya.
"Aku akan pulang jika pendidikanku sudah selesai." Jawab Davan. "Hiduplah dengan baik Al. Jangan sampai kamu menyesali apa yang sudah kamu lakukan." Kata Davan kemudian.
"Maksudmu Metha?" Tanya Aldrich.
Davan mengangguk, "Jangan bersikap bodoh, cinta boleh, tapi kamu harus tetap gunakan akal sehatmu, Al."
"Kenapa baru berani bilang ini padaku sekarang?" Tanya Aldrich.
"Tidak apa, karna jikapun kamu marah, aku sudah pergi dan tidak bisa melihat kemarahanmu." Davan tertawa.
"Oh my God, diamlah Dav, kamu boleh menasehatiku jika nanti saat kamu pulang, kamu sudah mempunyai seorang kekasih." Kata Aldrich malas.
"Whatever you say." Kata Davan enteng kemudian berkata kembali, "Aku masuk, ingatlah Al, gunakan logika."
Aldrich tersenyum, ia menatap punggung sepupunya yang semakin menjauh itu hingga tidak terlihat lagi.
Aldrich nenatap jam dipergelangan tangannya, waktu menunjukan pukul sembilan, dan ia cukup lega karna meeting hari ini diundur hingga siang nanti.
Aldrich memacu kendaraannya menuju apartemennya, untuk melihat kekasih pujaan hatinya itu.
Sinar mentari pagi menelusup kecelah gorden, Metha memegang kepalanya yang masih terasa pusing, matanya mengedarkan pandangannya dan melihat seisi apartemen yang cukup berantakan.
"Syukurlah Dimas sudah pergi." Gumamnya.
Ceklekk.
Suara pintu kamar terbuka.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 148 Episodes
Comments
𝒮🍄⃞⃟Mѕυzу᭄
.
2024-11-13
1
Sweet Girl
Sekarang aja kamu ke Apartemen, ada kejutan di sana.
2024-04-19
2
Ita rahmawati
bodohnya aldrick
2024-02-01
2