Bab. Empat

Hari ini adalah hari libur. Hari di mana sebagian orang istirahat untuk sementara dari pekerjaan atau aktivitas lainnya. Namun, mungkin tidak berlaku bagi orang yang memang setiap hari harus menjadi tulang punggung bagi keluarga mereka.

Beda dengan remaja cantik ini. Pagi-pagi ia harus sudah siap hanya untuk mendengarkan curhatan sahabatnya itu.

Ya. Subuh-subuh tadi ia ditelepon oleh Ana dengan suara tangis yang langsung menyambar indera pendengaran Natasha.

Dan kini ia duduk di ruang tamu sembari memainkan handphonenya menunggu Ana menjemput. Ia telah siap dengan gamis hitam yang dipadukan dengan warna pink muda serts hijab bewarna pink senada.

"Nat, Ana belum dateng?" tanya Riana yang terlihat membawa sayuran yang akan ditaruh di kulkas.

Natasha menoleh dan menggeleng kan kepalanya pelan bahkan hampir tidak terlihat. "Belum, Ma. Nggak tau nih lama banget," jawab Natasha.

"Emang Ana kenapa sih sampe kata kamu nangis gitu?" tanya Riana lagi.

Natasha mengangkat bahunya tidak tahu. "Mana aku tau, Mam. Ana nggak bilang apa-apa."

"Maksudnya-"

Tin!

Suara klakson mobil itu memotong perkataan Riana. "Kayanya Ana udah dateng deh. Ya udah Natasha pamit ya, Ma. Assalamualaikum!" ucap Natasha sembari mencium punggung tangan Riana.

"Wa'alaikumu'sallam, hati-hati, ya!" Natasha tersenyum dan mengacungkan jari jempolnya.

Natasha melangkah keluar rumah dan melihat mobil Ana di luar gerbang. Natasha mendekati mobil itu dan bergegas masuk.

"Hai, An. Gimana--astaghfirullah!" Natasha hampir kembali keluar dari mobil terkejut dengan wajah menyedihkan Ana. Muka pucat, hidung memerah, mata memerah, bahkan kedua matanya terlihat sembab nan menghitam di sekitarnya.

"Natt ...." Ana merengek dengan buliran bening yang hampir akan jatuh.

Sontak Natasha mengerjap dan menutup pintu mobil itu kemudian kembali mengamati wajah Ana yang terlihat kusut walau sepertinya telah dipoles dengan bedak.

"Kamu habis ngapain mukanya hancur gitu?" tanya Natasha.

Ana memukul tangan Natasha cukup kuat karena kesal.

"Awh, sakit tau!" ringisnya.

"Lagian sahabatnya lagi sedih, bukannya nenangin malah ngejek. Aku tuh sedih, Nat."

Natasha jadi bingung sendiri harus bagaimana. Lalu ia menggenggam tangan Ana. "Ya udah tenang, ya. Istighfar dulu, nanti aku dengerin cerita kamu ya. Oke, sekarang biar aku yang nyetir," ujar Natasha.

Ana menatap Natasha dengan tak enak hati. "Nggak papa?"

Natasha tersenyum. "Iya nggak papa, daripada nanti kejadian apa apa karna kamu nggak fokus kan." Ana mengangguk. Merekapun keluar dari mobil untuk tukar posisi lalu kemudian melenggang pergi meninggalkan pekarangan rumah Natasha.

...****************...

Kini mereka telah berada di sebuah Kafe langganan Natasha. Keduanya sudah memesan banyak makanan. Lebih tepatnya Analah yang memesan. Ia membeli 4 menu makanan dan itupun ia makan sendiri sampai tandas sedangkan Natasha hanya memesan 1 menu makanan menggeleng heran dengan tingkah sahabatnya ini.

"Astaghfirullah, kamu kerusakan apa sih sampe makannya banyak banget. Laper apa doyan?" tanya Natasha.

Ana yang telah menghabiskan menu terakhir dan meminum jus nya ia mengelap mulutnya dengan tisu secara kasar dan beralih menatap Natasha.

"Nat, kamu tau kan aku pernah cerita sama kamu tentang gebetan aku?" Natasha mengangguk.

Sebelum Ana melanjutkan perkataannya, ia kembali menangis.

"Aku kesel banget tau sama dia!"

Mendengar tangis Ana sampai terisak-isak seperti itu, Natasha jadi bingung sendiri, pasalnya semua pengunjung Kafe seketika menjadikan keduanya pusat perhatian.

"Aduh, Ana. Diem dong, udah ya nggak usah nangis lagi." Natasha mencoba mengusap punggung tangan Ana berharap agar gadis itu segera tenang.

"Gabisa!!!" Bukannya tenang, tangisan Ana justru semakin kencang.

Natasha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung harus bagaimana mendiamkan Ana. "An, please dong diem. Malu noh dilihatin orang. Entar dikira kamu--"

"Aku gila gitu? Iya, hah? Bodo amat nggak perduli!"

Natasha pun semakin merasa risih saat hampir semua orang berbisik-bisik sembari melirik mereka. Dia bingung harus meminta bantuan siapa.

"An, kalau kamu nggak mau diem. Aku tinggal pulang!" ancam Natasha.

Seketika Ana diam sembari memandang Natasha yang menatapnya kesal.

"Kok kamu jahat sih, Nat."

"Lagian kamu nggak usah pake nangis gitu, An. Kita itu udah kaya apa aja dilihatin sama semua orang."

"Aku kan sedih, Nat. Ngertiin dong." Natasha terdengar menghela napasnya lelah.

"An, aku itu ngertiin kamu, makanya aku sekarang ada di sini buat kamu. Sekarang tenang dulu terus cerita pelan-pelan," ucap Natasha.

Ana meminum jus nya lagi dan mengelap air matanya. "Jadi gini, Nat."

Ana mulai menceritakan masalahnya yang berhasil di tangkap baik oleh Natasha. Namun, di tengah perbincangan mereka tiba-tiba Ana berniat untuk ke kamar mandi, meninggalkan Natasha sendirian di sana.

Ia kembali menyesap minumannya yang masih sisa, hingga ia mendengar suara dehemam dari seseorang.

Natasya mendongak, setelah melihat siapa pelaku itu, ia memutar bola matanya malas kemudian bersikap acuh.

"Oh, setelah berhasil merebut Levin, Lo gini? Bersikap sok nggak ngerasa bersalah gitu? Hebat banget Lo, tampang alim, dalemnya busuk!"

Seketika hati Natasha merasa panas nan kesal, ia sangat tidak suka dengan perkataan pedas Bianca. Natasha berdiri dan menatap tajam Bianca tanpa rasa takut.

"Kamu kalau bicara sekali-kali dipikiran dulu bisa nggak, sih?!

Bianca terkekeh. "Apa lo bilang? Dipikirin? Setelah Lo ngerebut Levin dari gue, Lo nyuruh gue mikirin perkataan gue ke Lo dulu? Gue nggak sebodoh itu, Natasha!" kesal Bianca.

"Aku nggak pernah merebut Levin dari kamu!" tegas Natasha.

"Terus maksud Lo Levin gitu yang ngejar-ngejar? Sok cantik Lo!"

"Terserah kamu deh, percuma ngomong sama batu!" kesal Natasha lalu kembali duduk berusaha tidak menganggap keberadaan Bianca.

Bianca yang merasa kesal, merebut jus milik Ana dan menyiramkannya ke kerudung Natasha. "Astaghfirullah!"

Natasha berdiri. "Kamu apa-apaan sih, Bi? Mau kamu apa sebenarnya?!"

"MAU GUE JAUHIN LEVIN! LO TUH NGGAK PANTES BUAT LEVIN!" bentak Bianca.

"Gimana lagi biar kamu percaya kalau aku itu nggak pernah deketin Levin."

"Munafik banget sih Lo! Lo tau, Levin mutusin gue cuma gara-gara gue dorong Lo doang, sebenarnya Lo udah tau kan? Lo seneng kan sekarang?"

Natasha sedikit tidak percaya. "Levin mutusin kamu? Tapi aku benar-benar nggak tau tentang itu."

"Halah, tampang Lo nggak usah sok polos! Muak gue. Gue nggak mau tau, Lo jauhin Levin atau Lo bakal tau akibatnya. Inget baik-baik, selama Lo masih deketin Levin, atau gue lihat Lo sama Levin, walau sekalipun, gue bakal buat hidup Lo nggak tenang!" ancam Bianca lalu kemudian melangkah pergi dengan menubruk lengan Natasha.

"Kenapa jadi gini sih? Ck, tuh cowok emang buat masalah aja!" gumam Natasha, pasalnya selama ini ia tak pernah ada masalah dengan Bianca si ratu bully itu.

Tapi, setelah Levin datang, ia harus selalu berhadapan dengan Bianca dan itu sangat menguras kesabaran Natasha sendiri.

Terpopuler

Comments

Happyy

Happyy

💪🏼💪🏼💪🏼

2021-01-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!