Makan Malam yang Biasa

Matahari kini mulai tenggelam memancarkan cahaya senja yang menyilaukan. Cahayanya memasuki kamar Viona melalui jendela, menerangi kamar milik gadis itu. Buku-buku masih berserakan di atas tempat tidur menandakan Britta belum datang ke kamarnya.

Sepertinya Viona tidak perlu khawatir. Menghilangnya Viona ke tempat itu tidak sampai menyebabkan keributan di mansion.

Yah, setidaknya sebelum surat permintaan maaf baron Veiss datang.

Pintu diketuk tiga kali sebelum suara yang familiar terdengar dari balik pintu. “Viona, ini aku.”

Viona menoleh ke sumber suara lalu melangkah membuka pintu. Pintu terbuka menampilkan seorang laki-laki dengan seragam ksatria berwarna hitam. Ia sepertinya baru kembali dari perbatasan.

“Kak Victor…” Viona tidak membuka pintu lebar, ia menyembunyikan tubuh dan mengintip dengan menampilkan setengah wajah saja.

Victor terkekeh pelan, ia mengerti adiknya malu. Viona tidak akan membuka pintu lebar-lebar apabila kamarnya berantakan. Entah kenapa dia malu tapi tetap saja malas untuk membersihkan.

“Ibu mengajak kita makan malam,” tangan Victor terulur untuk merapikan helai rambut Viona yang menempel pada bibirnya.

Viona semakin malu. Ia tidak menyadari hal itu. Sihir angin milik Shona lah yang membuat penampilannya berantakan. Apalagi sebelumnya ia berguling-guling di atas kasur, mencari posisi nyaman untuk membaca buku.

“Kamu siap-siap dulu ya,” ujar Victor melanjutkan. “Kakak tunggu di lantai bawah.”

Viona mengangguk lalu memanggil Britta dengan membunyikan bel di atas nakas.

Tidak lama Britta pun datang.

“Ya ampun, Nona!”

Viona tertawa pasrah. Setelah ini, Britta akan berbicara panjang lebar.

“Lihat ini, kenapa buku-bukunya berserakan? Kalau sudah selesai dibaca harusnya ditaruh kembali ke rak buku. Lalu ini, kenapa kelambunya tidak diikat? Lukisannya juga miring begitu. Pena dan kertas berserakan di lantai.”

Britta menghela napas panjang, “Seperti terkena angin topan saja.”

‘Wah, bagaimana Britta tau?’ pikir Viona dalam hati.

Tidak ingin terlambat dan membuat Victor menunggu lama, Viona mencoba menenangkan Britta.

“Hehe, maaf ya Britta. Nanti kubereskan setelah makan malam,” ujar Viona seraya memeluk lengan Britta. Matanya membulat terlihat memelas, “sekarang bantu aku siap-siap ya?”

Britta pun mengalah lalu pasrah ditarik Viona ke kamar mandi. “Ya ampun, saya mengatakan ini bukan meminta Anda membereskan kamar. Saya hanya ingin Nona lebih peduli dengan barang-barang milik Nona, lebih menjaga hal-hal yang Nona miliki. Lagipula sudah tugas saya untuk membereskan kamar Nona.”

“Aku mengerti, aku mengerti. Britta mengatakan itu karena peduli padaku, kan?” masih memeluk Britta, Viona tersenyum.

Melihat hal itu Britta pun ikut tersenyum, “Tentu saja!” seperti yang ia duga, ia tidak bisa berlama-lama marah kepada Viona.

“Nah, Nona. Mari kita bersiap-siap, Nona juga sudah lapar bukan?”

“Um!”

Viona, dibantu Britta, berganti pakaian untuk menghadiri makan malam di ruang makan.

Setelah diingat lagi, Viona dan Victor seringkali dipanggil oleh Marchioness untuk makan malam bersama. Kesempatan itu juga membuat Viona mulai familiar tempat-tempat di mansion ini.

Mengingat ruangannya berada di sayap kanan mansion, ia harus melewati beberapa koridor sebelum mencapai ruang makan. Victor selalu menyebutkan nama-nama tempat yang mereka lewati untuk mengingatkan Viona.

Laki-laki itu mengerti bahwa ingatan Viona masih terkunci, tapi ia tidak ingin Viona merasa terlalu asing dengan tempat tinggalnya sendiri. Seringkali ia mengajak adiknya untuk pergi ke taman, untuk piknik ataupun sekedar berjalan santai.

Meski akhir-akhir ini ia disibukkan dengan pelatihan ksatria di perbatasan, Victor selalu menyisihkan waktu untuk mengunjungi Viona dan berbincang ataupun meminum teh.

“Kak, aku udah siap.”

Viona baru saja turun dari tangga lalu mendekati Victor yang menunggunya di lantai pertama. Victor tersenyum melihat penampilan adiknya, ia mengulurkan tangan untuk mengawal Viona.

“Ayo kita pergi,” ujar Victor setelah Viona menerima uluran tangannya.

Viona mengangguk seraya tersenyum. Kakak beradik keluarga Liez ini pun mulai melangkah menuju ruang makan.

Di sepanjang kaki melangkah, Viona dan Victor asik berbincang. Membicarakan hal-hal yang mereka lakukan hari ini. Tentu saja, Viona tidak menceritakan tentang Shona. Bisa-bisa kakaknya langsung melesat pergi untuk protes ke akademi.

Rasanya nyaman sekali.

Melihat ke belakang, Viona bahkan merasa segan hanya untuk sekedar menyapa. Tapi ketika mereka bertengkar karena Victor tidak mau memberitahu hal yang terjadi sebelum ia kehilangan ingatan, hubungan mereka semakin dekat.

Victor membujuk Viona terus menerus dan Viona pun akhirnya memaafkan Victor yang mengingkari janji.

Semua ini terjadi karena Victor tidak bisa membantah ucapan Marchioness, Viona harus membuka kunci ingatannya sendiri. Lagipula, kejadian itu cukup sensitif sehingga lebih baik Viona mengetahuinya sendiri.

“Nyonya sudah menunggu di dalam, Tuan Muda dan Nona.” Kepala pelayan, Falko, menyambut keduanya di depan ruang makan. Ia juga membuka pintu dan mempersilahkan Victor dan Viona masuk.

“Terimakasih, Falko.”

Pria tua itu tersenyum membalas Viona, “Dengan senang hati, Nona.”

Seperti biasa, Marchioness duduk di kursi paling ujung.

“Ibu selalu datang paling awal ya,” ujar Victor saat mereka memasuki ruang makan.

Marchioness tersenyum tipis, “Yah… aku tidak seperti kalian yang saling menunggu satu sama lain. Duduklah.”

Viona dan Victor pun duduk di kursinya masing-masing. Tepat setelah itu, para pelayan keluar dari ruang makan dan kembali membawa makanan. Mereka menyajikan berbagai jenis hidangan sesuai dengan selera tiap orang.

Marchioness dengan hidangan serba sayuran, Victor dipenuhi dengan berbagai olahan daging, dan Viona yang menyukai keduanya.

Hanya saja, Viona menyayangkan makanan yang selalu tersisa. Gadis yang bertahun-tahun tinggal di kost merasa sedih setiap kali tidak bisa menghabiskan makanan yang memenuhi meja.

Viona pernah bertanya ke Falko tentang pemborosan ini. Katanya, kemewahan ini adalah bukti bahwa keluarga Liez merupakan bangsawan terpandang.

Gadis itu tidak mungkin begitu saja merubah kebiasaan dari dunia ini dan menyamakannya dengan dunianya. Oleh karena itu, Viona menghabiskan sepiring lauk yang ia sentuh untuk menghibur diri.

Setidaknya, piring yang tak tersentuh masih bisa dimakan dan tidak dibuang begitu saja.

“Jadi,” suara Marchioness menarik Viona dari lamunan. Wanita yang selalu tampil cantik dan elegan itu menatap Viona lekat, ia menampilkan buku sihir yang melayang di udara seperti hologram. “Sekarang baca satu halaman.”

Viona mengangguk.

Ia sudah siap. Ini bukan pertama kalinya Leili mengetes kemampuan Viona. Di waktu yang acak, Leili akan menampilkan buku sihir dan meminta Viona membacanya sebelum makan.

Ya, semakin tidak lancar Viona membaca semakin tertunda acara makan mereka. Tidak heran jika Viona yang merasa tidak enak pun berusaha giat untuk lebih lancar membaca.

“Setiap orang memiliki elemen sihir yang berbeda-beda. Elemen sihir yang dimiliki merupakan bagian dari dunia ini sendiri dan tersedia di alam. Meskipun begitu, kemampuan tubuh untuk menerima, mengolah dan menghasilkan energi tidak sama. Itulah yang mendasari teori bahwa jumlah energi tiap orang berbeda-beda.

“Jumlah energi yang dapat diterima tubuh dapat ditingkatkan dengan berlatih pengendalian energi. Namun ada beberapa kasus yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat meningkatkan energi meski telah berlatih bertahun-tahun.

“Para ilmuwan belum dapat memastikan jumlah elemen yang dimiliki manusia. Hingga saat ini, tercatat 2.000 jenis elemen dari seluruh benua.”

‘Ctak!’

“Baik, sudah cukup.”

Leili melepaskan sihirnya bersamaan dengan menghilangnya buku yang melayang di udara.

“Kerja bagus.”

Senyuman mengembang di wajah Viona. Gadis itu juga menatap kakaknya.

“Viona sangat lancar membaca, selamat!” kini deretan gigi Viona terlihat saat menerima pujian dari Victor.

Tapi, sebuah suara terdengar dari perut Viona membuat pasangan ibu dan anak itu menatap sumber suara.

“Nah, makanlah yang banyak.” Keluarga itu pun mulai makan bersama.

Tidak lama, pintu terbuka dan kepala pelayan masuk membawa troli berisi surat. Sebelumnya, Marchioness memintanya untuk membawakan surat yang menumpuk di ruang kerja dan ia akan membacanya di ruang makan.

“Ibu masih bekerja saat makan?” tanya Viona setelah menelan makanan di mulutnya.

“Yah, lagipula aku tidak terlalu ingin makan.” Balas Leili seraya membaca kop surat di amplop.

Gerakannya terhenti ketika melihat nama itu, “Baron Veiss?”.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!