Thalia tidak berani bergerak sedikitpun. Ia dengan jelas merasakan benda dingin menempel di belakang kepalanya. Pikirannya kacau. Rasa takut menyelimuti seluruh tubuhnya.
Mendapatkan ancaman dengan taruhan hidupnya membuat Thalia merasakan tekanan dahsyat. Air mata yang tak lagi terbendung mengalir begitu saja. Isak tangis tak dapat keluar seolah seseorang mencekik lehernya dengan erat.
Takut.
Snack di tangannya jatuh, genggaman tangannya terasa lemah dan bergetar tak terkendali. Sebagai seorang gadis yang hidup damai selama 20 tahun, saat ini adalah titik tertinggi rasa takut, cemas, gelisah yang pernah Thalia rasakan.
Ia tidak berdaya. Tubuhnya hanya bisa membeku tak mampu berbuat apa-apa. Matanya yang bergetar tidak fokus, tertangkap oleh iris biru milik Naya.
Berbeda dengan Thalia, Naya begitu tenang.
Gadis itu mengikuti instruksi pria itu dengan baik. Satu demi satu, ia memasukkan uang ke dalam tas yang diberikan pria itu. Ia tidak memikirkan apapun konsekuensi yang akan ia dapat setelah melakukan ini. Apakah nanti ia dipecat? Apakah ia harus mengganti rugi?
Naya tidak peduli.
Sekarang, keselamatan Thalia adalah yang terpenting.
Di tengah suasana yang berat ini, pintu terbuka menampilkan seorang pria tua. Tidak, lebih tepatnya, pria itu menendang pintu kaca hingga retak. "Naya! Mana gaji kamu bulan ini, ha?! Jangan kira-"
'DOR!'
"ARGHH!!"
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, peluru melesat ke dalam kakinya. Ia terjatuh dan meraung kesakitan. Darah mulai membasahi lantai membuat pria tua itu semakin panik.
Melihat hal itu, Thalia merasa pusing. Tekanan batinnya semakin besar saat memikirkan kemungkinan bahwa dia bisa saja menjadi pria tua itu beberapa saat yang lalu. Bahkan lebih parah, ia akan mati seketika sesaat peluru masuk ke dalam kepalanya.
Di tengah suasana mencekam ini, sepertinya hanya pria bersenjata itu yang merasa jengkel akan kebisingan yang ada.
Ia menggaruk pelipisnya dengan pistol kemudian melangkah mendekati pria tua. Ia berjongkok untuk melihat wajah pucat itu lebih jelas. "Anda tau sopan santun? Ini area publik, jangan berteriak disini. Suara Anda benar-benar mengganggu telinga saya."
Pria tua itu merasa geram, ia mencoba bangkit dan memukul wajah pria bersenjata dengan keras. Tidak mengharapkan hal itu, wajahnya terpukul dengan keras. Amarahnya semakin memuncak sehingga tanpa ampun ia melesatkan tembakan ke arah pria tua.
Di sisi lain, Thalia melihat semua kejadian mengerikan itu di depan mata. Pikiran Thalia memberikan peringatan keras padanya. Kesempatan! Ia harus segera kabur.
Lari!
Bersembunyi!
Otaknya sudah memberi perintah, namun kakinya tidak kunjung bergerak.
Bergerak!
Ku mohon, bergeraklah!
Melihat penjahat itu pergi menjauhi Thalia, Naya segera menekan tombol untuk menghubungi polisi terdekat, kemudian menarik tangan Thalia untuk segera berlari menuju pintu belakang.
Sayangnya, penjahat bersenjata itu menyadari lebih cepat. Pria itu berbalik, menodongkan senjata, membidik target, lalu akhirnya menarik pelatuk.
Thalia melihatnya sementara Naya terlalu fokus untuk keluar.
Tubuh Thalia tiba-tiba bergerak dengan sendirinya. Tanpa pikir panjang, ia berlari lebih cepat untuk memeluk tubuh Naya, target logam panas yang melesat itu.
'DOR!'
"Thalia!"
Thalia tidak bisa merasakan tubuhnya. Pandangannya mulai terasa kabur.
Tidak menyadari kedatangan ambulans. Tidak menyadari kedatangan polisi. Tidak menyadari bahwa tubuhnya mulai tergenang oleh darah.
Hal terakhir yang diingat Thalia adalah Naya memeluknya. Setelah itu, kesadarannya menghilang.
...****************...
Sinar matahari yang menerobos melewati celah-celah gorden membuat ruang kamar ini terasa lebih hangat. Di tempat tidur dengan perpaduan warna krem dengan coklat, seorang gadis kecil tertidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya dari ujung kaki hingga dada. Ia terlihat gelisah dalam tidurnya.
Tiba-tiba Thalia membuka matanya, terbangun dari mimpi buruk. Napasnya memburu, tubuhnya berkeringat, ia berusaha untuk menenangkan diri dengan menarik napas secara perlahan.
Mencoba bangun dari tidur, Thalia terkejut. Sesaat ia beranjak bangun, tubuhnya kembali terhempas di atas tempat tidur. Ia tidak menyangka bahwa tubuhnya terasa lemas tak berenergi.
Gadis kecil itu menghela napas. "Sebenarnya aku kenapa?"
Thalia menutup mulutnya, terkejut. Suaranya berbeda. Suaranya kini lebih terdengar seperti anak kecil. Matanya menyapu lingkungan sekitar, mencari anak kecil yang mungkin ada di tempat ini dan berbicara.
Tapi, sepertinya tidak mungkin seseorang mengatakan hal yang ia pikirkan. Thalia pun mencoba kembali berbicara.
"Ekhem, halo?" mendengar suara anak kecil keluar dari mulutnya membuat Thalia tertegun.
Ia menatap tangannya, jari-jarinya, membuka tutup telapak tangannya, ia memikirkan sebuah hal gila. "Apa aku pindah ke tubuh anak kecil?"
Tidak sampai sedetik, Thalia menolak kemungkinan itu. "Eii, mana mungkin. Emangnya cerita fiksi pindah ke tubuh orang lain." Ia menarik napas panjang untuk menjernihkan pikirannya, merasakan udara yang begitu segar masuk ke dalam pernapasannya. Seperti berada di pegunungan.
Hanya saja, saat ia menarik napas, dadanya terasa sedikit sesak. Namun ia mencoba mengabaikan hal itu dan mulai mengamati langit-langit kamar.
Itu terasa lebih jauh, lebih tinggi daripada kamarnya.
Kamar siapa ini?
Bagaimana ia bisa berada di tempat ini?
Beberapa pertanyaan muncul bertubi-tubi di benaknya. Ia pun mulai menebak-nebak jawaban atas pertanyaan di dalam hati.
Mungkin ia mabuk setelah memakan begitu banyak mie cup instan. Tunggu, memangnya makan terlalu banyak mie bisa menyebabkan mabuk?
Sepertinya tidak.
Thalia tidak bisa memikirkan kemungkinan tentang situasinya saat ini. Gadis ini merasa bingung.
Bagaimana mungkin dirinya yang sedang makan mie cup instan tiba-tiba bangun tidur di tempat yang luas dan mewah ini. Selimutnya terasa lembut dan nyaman. Rasanya ia bisa tenggelam ke dalam gravitasi kasur dan berlama-lama tak mau beranjak.
Akhirnya satu kesimpulan muncul di pikirannya, "Kayanya, aku masih mimpi deh."
Hanya itu satu-satunya yang terasa mungkin untuk situasi ini. Thalia pun mulai menganggap hal itu benar walau masih terasa janggal di hatinya.
Jika ini mimpi, semuanya terasa begitu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi.
Bicara tentang mimpi, Thalia merasa ia bermimpi buruk semalam.
Mimpi apa itu?
Ia ingat bahwa dia mengalami hal buruk di sana, hanya saja Thalia tidak ingat apa isi mimpinya.
Thalia berusaha beranjak dari tempat tidur, kemudian menyender. Setelah melakukan gerakan kecil itu, Thalia merasa kelelahan yang amat sangat. Ia menarik napas berkali-kali dengan panjang, diiringi rasa sesak di dadanya yang semakin menumpuk.
"Oke, hufftt... jadi ayo pikirin tadi malem aku ngapain."
"Pertama, aku nemenin Naya di minimarket. Terus baca cerpen sambil nunggu mie mateng. Cerpen menyebalkan itu bikin aku kesel, jadinya aku makan mie sampe sepuluh cup. Terus,"
Napas Thalia semakin berat, "Terus, aku nyembur air ke muka Naya. Jadi aku, lari... dikejar Naya. Terus..."
Tiba-tiba rasa sakit yang menyengat terasa jelas di kepala Thalia. "Aaah! Sakit!"
Thalia menarik rambutnya dengan kencang, berharap rasa sakit di kepalanya menghilang. Napasnya memburu, air mata mulai menggenang, kepalanya benar-benar terasa sakit seolah ribuan jarum menusuk kepalanya.
"Sakit!!"
Pintu terbuka menampilkan seorang anak laki-laki berlari tergesa-gesa mendekati Thalia, "Viona!"
Anak laki-laki itu segera menggenggam kedua tangan Thalia, mencoba menenangkan gadis kecil itu supaya tidak menyakiti dirinya sendiri.
"Viona, tenanglah. Ini kakak, kakak ada disini."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments