Dalam keadaan terjebak di kursi besi yang mengancam nyawa, Aulia merasa putus asa. Dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan dirinya, dia terus meminta tolong kepada wanita itu, berharap bisa mendapatkan bantuan atau setidaknya sedikit dukungan.
“Aku mohon! Apakah Anda bisa membantuku? Tolong lepaskan aku, dan aku akan memberi imbalan yang pantas,” desak Aulia dengan suara gemetar, mencoba menjangkau hati wanita tersebut.
Namun, jawaban yang dia terima tidak sekalipun sesuai harapan. Wanita itu menoleh ke arah Aulia dengan ekspresi acuh tak acuh, dan dengan nada kasar, dia menolak permintaan Aulia tanpa belas kasihan.
“Apa?! Tadi kamu bilang apa? Kamu pikir siapa berani memerintah saya?!”
“A-aku berjanji akan memberikan apa pun yang Anda inginkan, asal bisa melepaskan saya. Sa-saya memohon dengan sangat tulus. Bukankah sesama seorang wanita, kita harus saling membantu.”
“Kamu adalah musuhku! Tadi kamu bilang akan memberikan imbalan apa pun. Bagaimana jika imbalan itu adalah Papamu, termasuk harta dan lainnya yang kini kamu miliki?”
Wanita itu mendekat ke kursi Aulia, berdiri di belakangnya. Sebuah bisikan halus namun tajam terdengar. “Bagaimana jika Mamamu sebaiknya meninggalkan Papamu. Apakah kamu juga rela?”
Aulia merasa terpukul oleh sikap wanita itu. Dia merasakan kekecewaan yang dalam.
“Kalian semua jangan dengarkan celotehan wanita manja ini. Kalian harus menyelesaikan tugas yang sudah aku berikan. Ingat, jangan takut dengan ancaman atau bahaya apa pun. Aku telah membayar kalian, dan keselamatan kalian semua adalah tanggungjawabku. Cepat, bereskan wanita ini. Lakukan sesuka hati kalian sampai puas!” tegas wanita itu memberi aba-aba.
“Baik.”
“Kenapa tidak dari tadi kamu memberikan tugas ini. Aku sudah tak sabar untuk mencicipi tubuhnya.”
Terdengar suara sahut-sahutan dari segerombolan pria di gedung itu. Aulia merasa dunia mulai berputar saat dia menyadari betapa sendirinya dia dalam situasi yang mencekam ini. Sebelum dia sempat bereaksi lebih lanjut, wanita itu memberikan perintah pada segerombolan bertubuh besar yang berada di sekitar mereka. Dengan cepat, salah satu pria mendekat, memegang kedua bahu Aulia, menekannya dengan sangat kuat, lalu membuka penutup kain hitam.
“Saatnya kita bermain” ucap pria itu menyeringai dengan penuh nafsu.
Meskipun dalam situasi mencekam, Aulia tidak menyerah begitu saja. Dengan tekad yang membara, dia mencoba melakukan negosiasi dengan keempat pria yang berada di depannya, dan satu pria yang masih berdiri di belakang, menekan kedua bahunya, berharap ada sedikit belas kasihan yang tersisa di hati mereka.
“Dengarkan aku, tolong lepaskan aku,” ucap Aulia dengan suara gemetar, tetapi penuh dengan tekad. “Aku akan memberikan imbalan yang sesuai jika kalian melepaskanku. Kalian bisa mendapatkan uang, barang berharga, apapun yang kalian inginkan tanpa ada sebuah laporan mengenai kasus penculikanku. Tolong, biarkan aku pergi.”
Dalam keadaan semakin memburuk, Aulia terus bermohon kepada wanita itu dengan penuh putus asa, berharap aka nada sedikit belas kasihan yang tersisa di hatinya. Suara penuh ketakutan, tangisnya hampir terdengar tercekat di tenggorokannya. Namun, wanita itu tidak memperdulikan permintaan Aulia. Sebaliknya, dia justru menanggapi dengan tawa keji yang menusuk hati. Tawa itu terdengar menggelikan, tapi juga penuh dengan kekejaman tak terbayangkan.
Ditengah ketakutan melilit, Aulia melihat salah satu dari segerombolan pria itu mendekat, langkahnya berat di hadapannya. Aulia hanya bisa memejamkan mata, menahan getaran yang mengguncang tubuhnya saat pria itu semakin mendekat.
Dia bisa merasakan napas pria itu yang bau alkohol memburu di wajahnya, menyebabkan rasa mual melilit di perutnya. Tetapi dia tahu dia tidak punya pilihan selain menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Saya akan membuat anak berharga yang di miliki Agung Laksmana dan Marsya Aulia akan merasakan apa yang kurasakan dulu!” ucap wanita itu dari belakangku, suara tawa keji terdengar lembut namun mematikan.
Tangis Aulia semakin keras terdengar di tengah keheningan mencekam. Dia merasakan keputusasaan merajalela di dalam dirinya, namun tekadnya untuk bertahan bersumpah untuk tidak menyerah begitu saja.
Aulia mengedarkan matanya, melihat satu pria sudah berdiri tepat di depannya, sedangkan satu orang pria masih menekan kedua bahunya, dan sisa ketiga pria terdengar tertawa puas dari arah belakang pria yang berdiri di hadapanku.
“Awalnya mungkin sedikit sakit. Tapi kamu akan menikmatinya jika kamu tidak memberontak,” ucap pria di hadapannya dengan kedua tangannya yang sudah berada di atas paha Aulia.
“Jangan!”
Aulia menggeliat, ketakutan, menangis dengan mata terpejam. Dalam keadaan yang penuh ketidakpastian dan keputusasaan, Aulia berdoa agar ada keajaiban yang bisa menyelamatkannya dari nasib mengerikan ini. Meskipun hatinya hancur oleh kekejaman wanita itu, dia tetap mencari cara untuk membebaskan dirinya sendiri, tanpa bergantung pada belas kasihan mereka.
Kini wanita keji yang memakai masker hitam mengeluarkan ponsel miliknya, memulai rekaman video dengan tawa keji. Aulia, tadinya memejamkan mata kini kedua matanya terbuka lebar saat tangan pria yang ada di depannya telah menyentuh area terlarang.
Braakkk!!
Terdengar pintu di dobrak, semua mata tertuju ke asal suara. Tiba-tiba, terdengar suara derap langkah yang mendekat dari arah lain. Semakin dekat, semakin jelas terdengar. Sejenak, suasana gelap dan mencekam di gedung itu terasa terganggu.
Tanpa diduga, seorang pria muncul dari bayang-bayang, tampaknya menghadapi segerombolan pria dengan sikap tegas. Dia menatap mereka dengan tatapan tajam, menyiratkan bahwa dia tidak akan mengizinkan mereka melanjutkan apa yang mereka rencanakan.
Aulia merasa nyaman dengan kehadiran pria itu. Rasa takutnya kini berubah menjadi rasa nyaman, perlahan kedua matanya tertutup, namun indra pendengarannya sempat mendengar suara bisikan halus yang membuatnya nyaman.
“Saat kamu berkembang di dalam rahim, dan lahir ke dunia ini. Aku sudah berjanji akan selalu menjaga, dan melindungimu. Maaf sedikit terlambat, tapi aku janji akan membuat mereka semua membayar perbuatan mereka yang berani menyentuhmu!”
Suara itu membuat Aulia nyaman, tak sadar tubuh melemah, pingsan dalam dekapan pria bertubuh bugar itu.
*****
Tidak tahu berapa lama Aulia pingsan. Namun, saat Aulia akhirnya tersadar dari pingsannya, dia merasa seperti terbangun dari mimpi buruk. Dia terbaring di atas kasur yang nyaman dan mewah, dengan cahaya lembut memancar dari lampu-lampu disekelilingnya. Dia merasakan kehangatan dari selimut yang menutupinya dengan lembut.
Aulia memalingkan pandangannya ke sisi ranjangnya. Di sana, dia melihat Mamanya tertidur lelap dengan wajah tenang, seolah-olah melindungi Aulia bahkan dalam tidurnya. Sorotan lampu menggambarkan kecantikan dan kedamaian di wajah Mamanya, meski wajah itu tampak pucat.
Namun, ketenangan Aulia terusik ketika dia melihat ke sisi ranjang lain. Di sana, berdiri sang Papa, menatapnya dengan pandangan campuran antara kelegaan dan kekhawatiran. wajahnya penuh dengan ekspresi campur aduk, mencerminkan perasaan campur baur yang memenuhi hatinya.
Sementara Aulia merasa terhibur dan diliputi oleh cinta keluarganya, tetapi ada sesuatu yang membuat hatinya terasa hampa. Pria yang sangat ia cintai, biasanya selalu ada untuknya dalam setiap situasi, tidak terlihat di ruangan itu.
Dengan hati berat, Aulia mulai menyadari bahwa kekecewaan dan kesedihan merasuki hatinya. Pria yang telah mendukungnya melalui setiap tantangan dan kebahagiaan, selalu menjadi tempat berlabuhnya, tidaklah hadir di sisinya di saat-saat genting ini.
“Maafkan Mama,” ucap Mamanya, Marsya.
Menyadari Aulia telah bangun, Marsya ikut terbangun, tubuhnya refleks memeluk tubuh mungil Aulia terasa lemah. Suara serak yang terus meminta maaf terus terdengar. Aulia membalas pelukan itu, mencoba menenangkan sang Mama dengan mengelus punggung Marsya. Tidak ingin mendengar tangisan dan permintaan maaf, Aulia melepaskan pelukannya, memandangi langsung wajah penuh bersalah.
“Ma, aku ini adalah putri kalian. Seorang wanita yang hebat yang tidak takut dengan apa pun. Jadi, Mama dan Papa tidak perlu khawatir.”
Papa, Agung Laksmana mendekat, duduk di tepian ranjang. Ingin ikut memberikan kehangatan untuk putrinya, Agung Laksmana membawa tubuh mungil Aulia ke dalam pelukannya. Tangan besar itu membelai rambut bagian belakang Aulia, menengadahkan wajahnya keatas agar tidak terlihat air mata di ujung matanya.
“Kamu ini sangat kerasa kepala. Kamu dan Mamamu sama saja. Kalian berdua tidak pernah mau mendengarkan ucapan Papa. Aulia, Papa sudah bilang, setiap kamu ingin pulang ke tanah air, harus memberi kabar ke Papa dan Mama, atau Om Tarjok, tante Ningrum.”
“Tapi Pa, aku ingin memberikan kejutan untuk Papa, Mama, dan lainnya. Dan…aku tidak ingin menjadi beban untuk Papa, Mama, dan lainnya,” sahut Aulia sambil membenamkan wajahnya ke bidang dada sang Papa, berharap tidak dimarahi.
Agung Laksmana melepaskan pelukannya, memegang kedua tangan Aulia, menatapnya dengan tatapan antara kehangatan sebagai kedua orang tua, dan terselip rasa cemas yang sulit diartikan.
“Sekarang kamu sudah sukses membuat kejutan untuk kami semua. Aulia, kamu bukanlah beban bagi kami semua. Kami sangat menyanyangimu lebih dari apa pun. Jadi, jangan buat kami cemas seperti ini lagi. Jika kamu terluka, maka kami semua akan ikut terluka.”
“Ok!” sahut Aulia seperti biasa, dengan salah satu mata menyipit.
Entah apa yang dicari Aulia, kini kedua matanya itu liar menyapu sekeliling ruang kamar, dan berhenti di pintu kamar. Di depan pintu kamar yang ada hanya Tarjok, dan Ningrum.
“Cari siapa Aulia?” tanya mereka serentak.
Mereka tahu bahwa Aulia sedang mencari pria yang begitu dirindukannya, namun para orang tua pura-pura bertanya, ingin melihat bagaimana reaksi Aulia. Aulia membalasnya dengan tertawa.
“Tidak cari siapa-siapa, kok!”
“Yakin?” tanya seorang pria dari balik tubuh Tarjok dan Ningrum.
...Bersambung…...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
Msd07
Siapa pria gentleman ini?
2024-03-06
0
Msd07
Benar, sesama wanita gak boleh kejam gitu
2024-03-06
0
Shandy
Penasaran siapa yang datang untuk menyelamatkan
2023-01-05
0