Jawaban

...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Jangan jadikan manusia sebagai alasan untuk kamu percaya dengan Tuhan dan jangan menaruh harapan pada manusia karena sejatinya manusia adalah tempat kecewa...

***

Mentari baru naik seperempatnya, namun seorang perempuan telah duduk sendiri disebuah caffe yang telah buka. Jari-jemari yang saling mengerat menandakan jika ia sedang gugup.

Elea, ia sedang merangkai kata agar tidak menyinggung perasaan seseorang yang sebentar lagi akan tiba.

Ya, Elea telah membuat janji dengan seorang laki-laki untuk memberikan sebuah jawaban. Hatinya sudah mantap, ia juga telah yakin dengan keputusannya.

15 menit telah berlalu, minuman yang Elea pesan lebih dulu sudah ia minum bahkan sudah habis untuk membasahi tenggorokan.

Tap tap tap

Langkah kaki terdengar dari belakang Elea dan dipastikan itu adalah seseorang yang telah Elea tunggu.

“Maaf membuat kamu menunggu,” tuturnya seraya duduk didepan Elea diakhiri dengan senyuman manis.

Elea mengangguk dan kembali menetralkan jantungnya yang tak karuan.

“Mau pesan minum lagi?” tanyanya yang melihat cangkir Elea yang kosong dan dibalas anggukan oleh Elea. Mereka memesan minuman dan camilan ringan.

“Gimana kabar kamu?”

“Baik, kalau kamu?” Tanya Elea mengulang pertanyaan yang sama.

“Baik, bahkan sangat baik. Dan aku mohon, berikan juga aku kabar yang baik,”

Deg,

Jantung Elea kembali berdetak bahkan lebih cepat dari sebelumnya. Elea tak berani bersitatap dengan laki-laki didepannya. Ia tak bisa menyakiti perasaan tulus laki-laki tersebut.

“Maaf,” lirih Elea pelan namun mampu didengan lawannya. “Saya ga bisa menerima lamaran kamu,”

Senyuman yang sedari tadi terukir mendadak sirna. Tatapan sendu terpancar saat perempuan didepannya terisak.

“Apa aku belum memenuhi kriteriamu? Katakan aku harus seperti apa agar kamu menerimaku?”

Elea tak mampu menjawab, bahkan pipinya sudah mengalir beberapa tetes air mata.

“Aku sudah mulai belajar ilmu agama. Aku berusaha agar menjadi pantas. Tak bisakah kamu memberi satu kesempatan?”

Fatih beralih mendekati Elea. Ia bersimpuh didekat kaki Elea yang semakin terisak. ya, orang yang Elea temui adalah Fatih.

“Jangan seperti ini, saya bukan orang yang berhak untuk kamu perjuangkan,”

“Tapi kamu orang yang sudah membuat aku dekat denganTuhan. Membuatku mulai percaya dengan keberadaannya. Membuatku percaya bahwa takdir tak salah memilih tempat,”

“Jangan jadikan saya sebagai alasan untuk kamu percaya dengan Tuhan dan jangan menaruh harapan pada saya karena sejatinya manusia adalah tempat kecewa.”

“Tapi aku mau berubah demi kamu, Elea.”

Elea menggeleng “Cara kamu salah!”

“Kamu menolakku karena itu. Karena aku tak pantas untuk kamu jadikan pendamping?”

Lagi-lagi Elea menggeleng” Ada seseorang yang sangat membutuhkan saya,”

“Siapa?”

“Kamu mengenalnya,”

“Ardha,” tebak Fatih.

Elea menunduk, Fatih langsung menebak dengan tepat. Rasa bersalah kembali menyelimuti pikiran. Ia bukan orang yang berhak memilih. Ia hanya wanita yang penuh dosa. Elea selalu menekan kalimat bahwa ia tak pantas.

“Aku juga membutuhkan kamu, Elea. Ini takdir kita, diantara miliaran manusia pasti Tuhan memiliki alasan mengapa kamu dan aku dipertemukan.”

“Kita memang ditakdirkan bertemu, tapi tidak untuk bersama,”

Lantas Fatih menggeleng, ia ingin memegang tangan Elea. Namun segera Elea menarik tangannya ke atas meja.

Hati Fatih kembali teriris “Kamu tau, ini sungguh sakit. Hatiku rasanya hancur, duniaku sirna. Elea, tak bisakah kamu memberiku kesempatan?”

“Maaf,”

“Jangan meminta maaf, maafmu malah membuatku merasa bersalah,” Fatih berdiri sambil mengusap wajahnya yang sudah berderai air mata.

Beruntung pengunjung caffe sedang sepi karena mereka datang sangat pagi.

“Aku pamit, biarkan aku egois,”

Fatih berlalu keluar caffe berjalan dengan lunglai. Membuka pintu mobil dan menenggelamkan wajah dibalik kemudi.

“Mengapa semesta begitu jahat? Menyuruhku untuk melepaskannya, padahal menggenggamnya saja aku belum pernah,”

**

Elea mengistirahatkan tubuh disebuah kasur sempit. Ia baru selesai berbenah, sebuah kontrakan kecil namu cukup nyaman untuk ditempati.

Mengamati sekitar, ternyata memang benar. semua hanya titipan dan sewaktu-waktu akan kembali padanya.

Hari ini sangat lelah, tubuh Elea rasanya remuk. Persedian tabungan pun menipis karena ia membayar gaji dan pesangon untuk beberapa karyawan kecuali Sheryl. Perempuan itu tak dapat Elea hubungi.

Elea menangis, rasa tak ikhlas itu ada. Elea juga kasihan pada beberapa karyawannya yang mendadak menganggur. Namun Elea tak mampu berbuat banyak. Bahkan seisi rumah dan seisi tokonya, tak ada benda berharga yang bawa.

Ting, ting, ting

Dering ponsel beberapa kali, Elea mengambil ponsel yang ia letakkan didalam tas.

Beberapa pesan dari Ardha.

Lo dimana?

Cila nangis pengen ketemu sama lo

Beritahu lokasi lo sekarang, gue jemput!

Elea mengirim balasan bahwa ia akan ke rumah sakit sendiri dengan motornya.

Menunggu Ardha akan terlalu lama pikir Elea. Akan lebih mudah jika ia sendiri yang langsung ke rumah sakit.

Selama perjalanan, Elea berusaha untuk berpikir tenang dan jangan panik.

Tak lama, motor Elea telah memasuki area parker. Dengan sedikit tergesa melangkahkan kaki menuju tempat rawat Cila.

Dari luar, terdengar isakan Cila yang merengek untuk segera bertemu Elea. Tanpa menunggu,tangan Elea memutar knop pintu dan mengukir senyum saat matanya bersibobrok dengan Cila.

Raut yang sedari tadi muram sekarang berubah cerah karena sang pelita telah Nampak di depan mata. Cila ingin turun dari ranjang dan menghampiri Elea namun ditahan oleh Ardha.

“Bunah! Bunah datang!” Seru Cila dengan girang, tak memperdulikan infus yang melekat dipergelangan tangannya. Ardha menggeser tubuhnya saat Elea mendekat dan memeluk tubuh kecil Cila.

“Bawa Tila pelgi dali tini, Bunah! Tila nda tuka! Tila mau tekolah tama Bunah!” rengek Cila sembari bersembunyi dalam pelukan Elea.

Takut jika matanya menangkap wajah Ardha yang dipastikan akan marah karena ia minta pulang.

“Cila belum boleh pulang, Sayang. Cila masih harus dirawat disini biar sembuh. Cila maukan sekolah diantar sama Bunda?”

“Mau!” jawab Cila dengan wajah yang berbinar.

“Syaratnya Cila harus sembuh dulu,”

Cila mengangguk dan kembali bersua “Tila mau dilawat tini tampai tembuh, bial bita tekolah tama Bunah!”

Elea mengusap pelan rambut Cila, lalu mengambil sisir di atas nakas dan menyisir rambut Cila dengan perlahan. Sesekali mencubit pelan pipi Cila yang gembul dan kemerahan.

Cukup lama dua insan yang dulunya asing itu berbincang. Tak peduli pada sudut sofa ada Ardha yang terus memperhatikan.

Pemandangan yang hangat bisa Ardha rasakan. Rasa keinginan Cila akan hadirnya sosok seorang Ibu yang tak bisa Ardha berikan karena sedikitnya waktu yang ia punya.

Ardha melamun hingga tak sadar jika Cila sudah tidur dan Elea melangkahkan kaki dengan ragu ke arahnya.

Tanpa sadar Ardha menegakkan tubuh dan membenarkan posisi duduk.

“Ada yang ingin saya bicarakan!” Elea berujar setelah posisi mereka berhadapan dengan jarak 2 meter. Meski suara Elea sangat pelan, namun Ardha mampu menangkap dengan jalas.

“Silahkan!”

Elea mengengok ke arah Cila yang sedang berbaring. Takut jika pembicaraan mereka membangunkan gadis kecil yang baru saja menutup matanya.

“Cila ga akan dengar! Jadi katakan apa yang ingin lo bicarakan!”

“Ini,,,, “

“Soal lamaran?” Tanya Ardha yang sedang menatap Elea datar tanpa ekspresi. Elea mengangguk sebagai jawaban.

“Gue harap lo ambil keputusan yang tepat. Dilihat dari sifat lo, gue tau lo orang yang penuh pertimbangan,”

“Boleh saya bertanya sesuatu untuk memastikan jika keputusan yang saya ambil tak salah?”

“Ya!”

“Apa hubungan kamu sama Sovia?”

“Ga ada!” jawab Ardha cepat dan tanpa pertimbangan, seakan pertanyaan Elea adalah sesuatu yang sangat mudah untuk ia jawab.

“Bukan calon istri kamu?” Tanya Elea lagi.

Ardha mengamati wajah Elea. Sekarang ia mengerti kenapa Elea bertanya demikian. Pasti saja karena Sovia yang mengatakan kebohongan belaka.

“Jangan mudah percaya sama seseorang yang baru aja lo kenal tanpa bukti. Kalo dia calon istri gue, buat apa gue minta lo untuk menikah sama gue?”

Elea membenarkan perkataan Ardha, ia menarik napas sekarang keputusan memang sudah bulat.

“Jadi apa keputusan lo?”

“Sa-ya,” Elea berucap dengan suara bergetar. Entah mengapa suasana yang Elea rasa mendadak panas menjalar hingga tengkuk. Bahkan suara Elea semakin mengecil.

Ardha mengangkat satu alisnya menunggu kata demi kata yang keluar dari mulut Elea.

“Sa-ya mau menikah dengan kamu!” Elea meremat kedua tangannya sambil menunduk. Menetralkan perasaan yang entah seperti apa. sangat sulit untuk Elea rasakan.

“Demi Cila!”

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!