Petunjuk

...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Barang siapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagain sisanya....

...(HR. Thabrani dan Hakim)...

***

Plak, suara tamparan mendarat di pipi Ardha, laki-laki itu memegangi pipinya yang mendadak panas. Ia tak terkejut, sebab sudah dipastikan perempuan didepannya pasti akan marah. Jelas, siapa yang tak marah jika diperlakukan seperti itu?

“Apa saya sehina itu sehingga kamu dengan mudahnya menawarkan pernikahan disaat saya sedang terpuruk?”

Meski dengan bibir yang bergetar, Elea mampu berujar dengan lantang. Dadanya sesak, cobaan macam apalagi yang harus ia jalani?

“Gue yang hina, meminta wanita solehah buat dijadikan ibu dari anak gue,” tutur Ardha yang tak kalah lantang. Matanya menyorot dengan dasar yakin tanpa cela kebohongan.

Bagai tombak yang menghantam, Elea kembali dibuat sesak. Bahkan kali ini ia merasa malu, pantaskan seorang pendosa sepertinya dianggap sebagai wanita solehah?

Jika laki-laki didepannya tau, Elea yakin pasti dia akan menarik kembali kata solehah yang terlontar.

“Jangan berharap lebih pada saya! Saya tak sebaik yang kamu pikirkan!”

“Dan lo juga ga seburuk yang gue lihat,” balas Ardha kembali.

Elea terbungkam, mulutnya terkatup rapat apalagi saat Ardha duduk bersimpuh didepannya sambil melepas cincin perak yang bersemat dijari kelingking.

Ardha menunduk dan menarik napas dalam lalu mendongak menatap manik mata Elea.

“Elea Anindhiya Dilla, gue mohon jadilah ibu sambung untuk anak gue!” kalimat yang terlontar dari seorang Ardhana Kavin. Tak ada kesan romantis seperti dalam sinetronnya.

Haruskah Elea bahagia? Tapi hatinya tak merasakan getaran apapun. Salahkah jika ia menginginkan pernikahan yang dilandasi dengan cinta?

“Gue mohon, demi anak gue!”

Deg,

Demi anak, Elea meremas ujung jilbabnya. Inikah karma atas dosa yang ia perbuat? Apakah ia tak pantas lagi menerima cinta dari seorang laki-laki?

Iya, Elea terlalu berharap sampai ia lupa jati diri. Ia bukan wanita yang berhak dicintai.

“Pikirkan kembali keinginan kamu! Saya tak ingin ada penyesalan dikemudian hari,”

Elea berujar sambil menatap lemari yang tepat berada disampingnya.

“Hm, pikirkan juga soal perkataan gue, jangan sampai ada penyesalan dikemudian hari,” balas Ardha membalik pernyataan Elea. Ia meletakkan cincin kepangkuan Elea dan beranjak melangkah meninggalkan Elea dengan pikiran yang berkecamuk.

**

Barang siapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibadahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah SWT dalam memelihara yang sebagain sisanya.

(HR. Thabrani dan Hakim)

Elea merabahkan tubuhnya diatas kasur, Ia diberi waktu satu malam untuk membereskan baju yang ia punya.

“Pernikahan itu perjanjian suci untuk melanjutkan hubungan yang halal. Terikat janji untuk menyatakan sudah siap untuk berumah tangga. Apa aku sanggup?”

“Mama…Mama…” teriak seorang anak kecil dengan baju putih, ia berlari menghampiri Elea. Pipinya chubby dengan rambut yang tergerai panjang.

Mata Elea berembun, ia rindu sosok kecil yang memanggilnya Mama. “Sayang, putri kecil Mamah. Sini sayang, sama Mama. Mama minta maaf sudah buat Bia sakit. Mama janji ga akan buat Bia sakit lagi, tapi Bia pulang sama Mama ya, Sayang,” Elea menggapai putri kecilnya. Putri yang sangat ia rindukan.

Gadis kecil dengan panggilan Bia itu menggeleng “Bia gak bisa ikut sama Mama,”

“Kenapa, Sayang? Bia masih marah sama Mama? Bia ga mau maafin Mama?” Elea mengusap rambut Bia berulang kali.

Tangannya beralih memeluk tubuh kecil putinya yang lebih berisi dari sebelumnya.

“Bia ga marah sama Mama, Bia sayang sama Mama, Tapi Bia ga bisa ikut sama Mama. Dunia Bia sama Mama sekarang beda,”

Elea menggeleng dengan keras “Bawa Mama, Sayang. Bawa Mama pergi sama Bia. Kita sama-sama lagi, ya Sayang, Mama kangen sama Bia,” Elea terisak dengan air mata yang berjatuhan.

Ting, satu titik cahaya menyilaukan pandangan Elea. Sinar putih tepat berada dibelakang Bia membuat Elea menyerngit. Cahaya itu semakin membesar.

“Bia harus kembali, Mah.” Tutur Bia kembali membuat Elea semakin terisak. Enggan melepaskan pelukan pada putri kecilnya. Ia masih rindu, rengekan yang dulu sangat ia benci sekarang menjadi alunan yang sangat ia rindukan.

“Jangan tinggalin Mama, Sayang,” lirih Elea saat pelukan Bia perlahan mengendur.

Perlahan, jari jemari juga terlepas.Tubuh kecil itu terangkat bersamaan cahaya putih yang mengiringi.

“Biaaaaaaa,” teriak Elea, ia berlari sekuat tenaga mengejar tubuh Bia yang semakin tinggi.

Berulang kali Elea jatuh, tapi sekuat tenaga ia bangkit kembali. Bahkan sepatu yang ia pakai telah terlepas dari kaki. Rumput hijau tempat Elea berpijak sempat melukai karena hentakan keras saat Elea berlari.

“Mama cantik pakai jilbab,”ucapan terakhir Bia sebelum tubuhnya hilang bersaman dengan redupnya cahaya. Elea terduduk lemas seorang diri. Sepi, hening, Elea menangis sambil meraung-raung.

“Maafin, Mama Sayang,” Elea menelungkupkan wajah diatas lutut, bahunya bergetar.

Kakinya yang berdarah pun tak ia hiraukan. Ia hanya ingin putri kecilnya kembali kesisinya, bersamanya.

Membuat kisah baru antara ibu dan anak yang saling menyanyangi. Tapi, harapan Elea hanya sekedar angan yang tak mampu ia gapai.

“Jangan tinggalin Mama, Sayang--“ tangis Elea sesegukan.

“Bunah!"

Deg, tangan mungil mengelus pelan bahu Elea. Tangis Elea terhenti seketika.

“Bunah,” panggilnya lagi saat Elea hanya diam mematung. Tangan mungil itu beralih menggenggam tangan Elea membuat Elea mendongak untuk melihat wajah gadis kecil yang memanggilnya Bunda.

“Aaaauuuu!” pekik Elea karena wajah gadis kecil itu bercahaya, mengeluarkan sinar yang menyilaukan mata. Elea menutup mata karena biasnya.

“Bunaaaaaahhh!" Elea kembali membuka mata, namun sosok gadis kecil didepannya sudah hilang. Elea berdiri memutar tubuhnya mencari sosok yang terus saja memanggilnya Bunda.

“Bunah”

“Bunah,”

“Bunaaaaaahhh,”

Panggilan itu terus terngiang, memanggil bersahutan. Elea memandang Langit, ia merasa pandangannya buram. Langit pun terasa berputar.

“Bunaaaahh,” kembali panggilan gadis kecil itu memekik telinga Elea hingga membuatnya menutup telinga.

“Bunah,”

“Elea,”

Panggilan dari gadis kecil diiringi dengan suara berat laki-laki sedang melambai-lambai dengan sebuah kuda putih. Elea mendekat saat keduanya mengulurkan tangan dan naik ke atas kuda tersebut.

Angin menerpa kulit Elea,mereka mengendarai kuda dengan sangat kencang.

“Hahaha,”tawa gadis kecil itu terdengar renyah. Seolah kehadiran Elea sebagai sesuatu yang istimewa baginya.

Berulang kali ia menengok Elea karena memang posisi Elea paling belakang, gadis kecil itu berada di depan. Mereka ditengahi oleh sosok laki-laki yang Elea tak tau itu siapa.

Di depan sana, Elea melihat sebuah heksagram yang mengeluarkan sinar.

Elea berpegangan erat pada laki-laki yang wajahnya tak dapat ia lihat, mereka menembus dimensi dengan sangat cepat. Hingga Elea merasakan sakit yang luar biasa.

“Aaaaaaaa,” Elea berteriak mengamati sekitar dengan napas yang tak beraturan.

Jam 4 pagi, ternyata ia sedang bermimpi. Elea mengusap peluh yang menetes didahi.

Pertanda apa ini? tadi malam Elea melaksanakan sholat istikharah. Dan setelahnya Elea tertidur di atas sajadah dan masih memakai mukena.

Elea mencuci muka, dan ia menatap pantulan didepan cermin. Kembali mengamati tangannya, genggaman itu terasa nyata.

“Cila…” Elea mengenali tangan mungil dalam mimpinya. Tangan yang memiliki tanda dijari manis. Dan hanya Cila yang memanggilnya Bunda. lalu, laki-laki itu apakah Ardha?

“inikah petunjukmu, Tuhan? Inikah takdirku? ”

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!