Menikah Sama Gue

...I.B.U.S.A.M.B.U.N.G.U.N.T.U.K.A.N.A.K.K.U...

...Jika Allah berkehendak untuk menyatukan dua hati, maka keduanya pasti akan bersatu walaupun diantaranya terbentang langit dan bumi....

...Syekh Mutawalli Asy-Sya'rawi...

***

Wangi bunga semerbak memenuhi ruangan. Warnanya yang cantik dan alami mendominasi.

Pagi itu sinar mentari membias, jalanan tak terlalu padat jika dilihat dari depan toko Elea karena posisinya masuk ke dalam gang beberapa meter. Elbia Florist, nama yang terpampang tinggi di depan toko.

Pengontrakan lahan toko telah berakhir beberapa hari yang lalu. Sesuai permintaan Sovia, setelah hari itu, Elea tak lagi menemui Cila meski Bi Mia berulang kali menghubunginya. Ia juga selalu menghindari hal-hal yang bisa membuatnya dan Ardha berpapasan.

Sedang Fatih, kini Elea menjadi lebih dekat. Tak jarang laki-laki itu mengiriminya makan siang ataupun makan malam.

Seperti saat ini seperti merpati yang tak pernah lupa akan rumahnya. aku pun juga begitu, tak pernah lupa untuk mengingatkanmu untuk makan. Selamat menikmati,bayarnya pakai royalti dengan jaminan jangan sakit.

Sebuah note tertempel diatas kotak penutup. Elea membuka, nasi padang kesukaannya dengan lauk ikan nila. Terlihat sederhana tapi penuh cinta dari Fatih.

Elea merasa tidak enak, berulang kali ia meminta Fatih untuk berhenti mengirimkan makanan namun laki-laki itu tetap tidak mendengarkan.

Besok siang, Elea janji temu dengan Fatih. Laki-laki itu meminta jawaban Elea. Setelah sholat istikharah, Elea telah memutuskan. Ia yakin, keputusan yang ia pilih adalah jalan terbaik.

Fatih sedang berada di Bandung. Ia dapat cutti karena sinetron yang dibintangi Ardha telah usai dengan ratting yang memuaskan.

“Mba El, ada tamu,” Rosa berada di ambang pintu dengan setangkai bunga tulip. Ia ingin merangkai buket bunga, namun kegiatannya terhenti saat…Ardha datang.

“Siapa?” Tanya Elea.

Rosa menengok saat sosok Ardha telah menerobos masuk ke dalam ruang kerja Elea.

Laki-laki itu tergopoh-gopoh dengan raut cemas. Keringat menetes di area pelipis.

“Gue perlu bantuan lo!” wajah Ardha pucat namun tak menghilangkan ketampanan yang selama ini ia miliki.

“Ba-bantuan apa? Saya ga ngerti,”

“Ikut gue sekarang! Kita ga punya banyak waktu,” ajak Ardha sambil menyeret lengan Elea. Ingin menepis, tapi tenaga Elea kalah jauh dengan Ardha.

“Mba El mau dibawa kemana?” Rosa menghadang dengan kedua tangan terbuka, meski masih dengan memegang bunga.

“Minggir!”

“Sebenarnya apa mau kamu?” sentak Elea melepaskan cekalan Ardha yang lumayan menyakiti tangannya.

“Ikut gue ke rumah sakit sekarang! Cila sedang dirawat, gue mohon temuin anak gue,” wajah Ardha memelas. Kekhawatiran tersirat jelas dengan ketakutan akan kehilangan.

Tak ada lagi pria arogan, dingin, dan sombong seperti biasa saat mereka bertemu. Yang Elea lihat sekarang sosok ayah yang sedang putus asa, meminta pertolongan untuk buah hatinya.

Elea mengangguk dan dengan tergesa mengambil tas yang ia letakkan di atas sofa.

“Kenapa bisa masuk rumah sakit?” Tanya Elea saat mereka menuju rumah sakit. Keringat juga mulai mentes meski ac mobil berfungsi dengan baik, Elea berusaha tidak panik.

Ardha mencengkram erat kemudi mobil, rahangnya mengeras.“Cila mengidap gagal ginjal,”

Deg,

Hanya beberapa kata namun mampu melululantakkan keseimbangan Elea. Tubuhnya merosot. Elea menutup mulut dengan kedua tangan “Ke-kenapa bisa terjadi?” Tanya Elea lagi.

Ardha hanya menggeleng.

“Sejak kapan?”

“Kata dokter sudah lama, tapi ga ada yang tau kalo Cila mengidap penyakit mengerikan itu ,” jelas Ardha.

Bibir Elea bergetar menahan isak. Bulir telah mengalir dipipi. Bagaimana bisa anak sekecil Cila menahan sakit sendirian?

Membayangkan saja membuat hati Elea sesak.

Ruang Vip tempat Cila dirawat. Tubuhnya yang kecil terkulai lemah di atas ranjang. Elea berdiri mematung di depan pintu yang sudah terbuka. Terlihat Mama Nira sedang tiduran disofa.

Perlahan mendekat meski rasanya sesak. Elea duduk dan menggenggam tangan mungil Cila.

“Bunah!” panggil Cila.

Ternyata sedari tadi Cila tidak tidur, ia hanya menutup mata sejenak.

“Iya, Sayang,” sahut Elea dengan suara bergetar. Wajah Cila terlihat pucat, matanya sayu.

“Bunah kenapa ga ke ke tekolah Tila? Tila nakal ya? Tila bikin Bunah malah ya?”

“Enggak Sayang, kata siapa Bunda marah sama Cila, Cila kan anaknya pintar. Bunda lagi banyak kerjaan, jadi ga bisa ke sekolah Cila. Maafin Bunda ya, Sayang,”

Cila tersenyum, senyuman yang semakin mendesak air mata Elea ingin keluar.

“Bunah!” panggil Cila lagi ”Tila tebenelnya tacit apa, Bunah?”

“Cila ga sakit apa-apa kok, Cila hanya kecapean,”

“Tapi kenapa Tila teling takit pelut, Bunah?”

“Cila sering sakit perut?”

Cila mengangguk.

“Kenapa ga bilang sama Papih atau Bi Mia?”

“Tila takut, kalau bilang tama Papih, nanti Papih khawatil, Tila nda mau bikin Papih khawatil,”dada Elea rasanya semakin sesak, tenggorokannya tercekat bagai dililit tali tak kasat mata. Elea susah untuk bernapas.

“Cila Sayang, dengerin Bunda. Nanti kalau Cila sakit, Cila bilang sama Bunda, Papih,Oma atau Bi Mia. Khawatir itu pasti, Sayang. Tapi sebagai orang yang sama Cila, Bunda, Papih, Oma atau Bi Mia akan sedih kalau Cila diam,”

“Apa Tila bakal ikut Mamah ke tulga?”

Runtuh sudah pertahanan Elea. Ia tak mampu lagi menahannya. Air mata yang sedari tadi ia tahan telah tumpah. Berulang kali Elea mengecup punggung tangan Cila.

“Enggak, Sayang. Cila akan tetap disini, sama Bunda. Cila ga boleh ninggalin Bunda. Cila sayangkan sama Bunda?”

Ardha memalingkan wajah, tak mampu melihat adegan di depannya. Hatinya teriris, teringat sosok Mita. Apa Cila juga akan meninggalkannya secepat ini? tanpa sadar, Ardha juga menangis.

Cila mengangguk “Tila tayang Bunah,” Cila menghapus jejak basah karena air mata di pipi Elea “Bunah tangan nangit, nanti Tila tedih,”

“Iya, Sayang. Bunda ga akan nangis lagi. Sekarang Cila tidur ya, istirahat yang cukup biar lekas sehat,”

Cila menggeleng,

“Kenapa, kok Cila ga mau tidur?”

“Tila takut Bunah, Tila takut kalau Tila tidul nanti nda bita bangun,”

“Bunda akan disini, nemenin Cila tidur. Bunda yang akan jagain Cila,”

Sepuluh menit berlalu, nafas yang teratur menandakan Cila telah terlelap. Elea mengusap bulir yang lagi-lagi menetes. Entah mengapa, Elea merasa sangat takut kehilangan Cila.

Elea menengok saat benda penghalang terbuka menimbulkan sosok Bi Mia dengan tas besar. Elea terkejut saat bertatapan dengan Mama Nira, ternyata wanita itu sudah bangun.

Wajahnya tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Sedang Ardha, laki-laki itu duduk di sofa sambil menelungkupkan tangan menutup mata.

“Oma,” sapa Elea.

Mama Nira mendekat dan memeluk Elea “Terimaksih telah menyayangi cucu saya,” ucapnya terisak.

**

Malam itu, langit bertabur bintang. Cahanya indah meski kalah terang dengan cahaya bulan.

Keheningan melanda saat Ardha mengantar Elea pulang. Sibuk dengan pikiran masing-masing, namun sama-sama takut kehilangan. Rasa yang tanpa sadar membuat keduanya saling terikat.

Kendaran dengan roda empat telah sampai pada pekarangan rumah Elea. Suara deru mesin terhenti.

Elea menyerngit saat melihat 2 orang laki-laki seperti preman mengetuk keras pintu rumahnya.

“Siapa?” Tanya Ardha yang juga penasaran.

Ardha mengikuti Elea saat perempuan itu menggeleng, tak tahu siapa yang sudah bertamu.

“Heh, lo yang punya rumah?” Tanya pria dengan wajah tegas, kulitnya sawo matang dengan rambut yang diberi cat kuning.

“Iya, saya sendiri,”

“Sekarang gue minta beresin barang lo dan pergi dari sini!” tegasnya lagi.

Elea melotot tak paham situasi. Siapa mereka? Dan mengapa meminta Elea meninggalkan rumahnya sendiri?

“Kenapa dia harus pergi dari sini? Emang lo berdua siapa?” bela Ardha. Laki-laki itu menjadi tameng untuk Elea.

“Rumah ini telah digadaikan, dan sudah jatuh tempo dari yang sudah ditentukan!”

“Saya tidak pernah menggadaikan rumah ini! mungkin Abang-abang salah alamat,”

“Disini tertera bahwa peminjaman uang senilai 550 juta dengan jaminan toko dan rumah beserta isinya,”

“Lo mau nipu? Kelakuan lo berdua bisa gue laporin polisi,”

“Mau laporin polisi? Silahkan! Gue ga takut, gue punya bukti,”

Pria itu memberi kode pada laki-laki disebelahnya. Sebuah map berisi berkas telah berada ditangan Elea.

Elea merosot, tangannya bergetar. Bagaimana mungkin, seingatnya sertifikat rumah dan toko diletakkan dalam lemari yang ia tumpuk pakaian.

Dengan cepat Elea masuk ke dalam rumah dan memeriksa lemari. Pakaian berserakan di atas kasur, tetapi sertifikat tak juga ditemukan. Elea memeriksa sekali lagi, mungkin ia kurang teliti. Namun nihil, seakan hilang ditelan bumi.

Siapa? Siapa orang yang telah tega melakukan ini padanya. Elea menangis sesegukan, pikirannya melayang. Hasil kerja kerasnya lenyap dalam beberapa detik saja.

Memang benar, semua hanya titipan tapi mengapa rasanya Elea sulit untuk ikhlas.

“Sekarang saya harus tinggal dimana? Saya sekarang tidak punya apapun,” adu Elea tak sadar.

Ardha masuk dan duduk melipat kaki “Menikah sama gue,”

Jika Allah berkehendak untuk menyatukan dua hati, maka keduanya pasti akan bersatu walaupun diantaranya terbentang langit dan bumi.

Terpopuler

Comments

Elfrina Binelka

Elfrina Binelka

rutin up ya thor 😁

2022-07-03

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!